Pagi sudah kembali menyapa, suara gema takbir berkumandang sejak semalam hingga pagi. Semua muslim pada tidur tapi tidak dengan kami berempat. Aku, suami dan kedua anak laki-lakiku kini sedang berkutat di warung. Mulai jam dua dini hari, kami sudah mulai membakar ayam sejumlah 100 kotak. Ternyata kemarin itu, suamiku memesan ayam mentah hingga 300 ekor. Pantas saja kelelahan begitu terasa. Namun, semua terbayar lunas pagi ini. Ayam itu ludes habis tanpa sisa.Saat adan subuh semua pekerjaan membakar ayam sudah selesai. Maka kami pun bergantian untuk melaksanakan salat subuh. Eh, tidak dech. Hanya aku yang salat di rumah, sementara ketiga laki-laki dalam keluargaku pergi ke masjid terdekat. Mereka selalu melakukan ibadahnya dengan berjamaah di masjid. Khusus untuk wanita tidak wajib beribadah berjamaah di masjid. Bagi kami kaum wanita cukup melakukan ibadah salat lima waktu di rumah saja. Tidak wajih berjamaah di masjid. Aku mengikuti apa yang sudah diatur dalam agama."Umi, Zahra pa
Omset jualan ayam bakarku di lebaran ke dua pun masih ramai. Kedua anak tiriku pun masih aktif membantu, sedangkan Topan masih ingin libur. Untung masih ada Samuel. Pemuda itu hanya mengambil libur satu hari saat lebaran."Sam, jangan lupa ayamnya yang di presto 15 ya. Yang lainnya direbus saja," jawab Samuel.Aku pun segera pergi meninggalkan Samuel lalu aku kembali membungkus lalapan dan sambel. Stock sudah habis, maka dari itu aku langsung membukus apa yang sudah habis. Abdul pun juga ikut membantu dengan membuat kotak ayam bakar. Omset yang begitu ramai membuat tabungannya mengembung cukup banyak. "Selama lebaran sepertinya Mas Abdul banyak duit ya, Umi?" tanya Zahra sambil membantuku membungkus lalapan."Adik juga dikasih abah uang saku 'kan?" tanyaku."Iya, tetapi banyak Mas Abdul, Umi," keluh Zahra sedikit mengerucutkan bibirnya. Aku hanya menatapnya dengan senyum. Selama minggu ketiga, Abdul dan Adam selalu membantu semua mengenai penjualan ayam bakar. Bahkan sekarang kuliha
Akhirnya keluarga Yahya pun bisa hadir dalam acara halal bi halal keluarga besar Joesni. Keluarga dari ayahku. Memang semua saudara perempuanku sangat rukun dan tidak pernah ada perselisihan paham. Acara ini sangat ramai dengan hidangan yang sederhana. Para kaum muda saling berbicara, sedangkan kami sesama saudara hanya menyisakan empat orang."Bagaimana kabar kamu, Arini?" tanya kakak keduaku yang bernama Murtini."Sehat, Mbak. Semoga Mbak Mur juga sehat selalu," balasku dengan doa tulus."Bagaimana kabar hubunganmu dengan suami, aku kok ada kabar selentingan yang tidak baik?" kata kakak keduaku itu.Aku pun terdiam, tidak mungkin aku menceritakan aib suamiku. Aku harus bisa menjaga marwah suamiku apapun itu. Meski sakit aku harus mampu."Semua sudah ada takarannya, Mbak. Doa kan saja adikmu ini kuat," jawabku mencari jalan tengah."Semua sudah ada jalannya dan takarannya. Kamu pasti kuat, Arini!" kata kakak ketigaku yang lebih hangat.Aku pun mengulas senyum untuk menenangkan hati k
Aku masih menguping pembicaraan dari Yahya dengan seseorang di seberang. Saat aku masih asyik menguping kulihat Abdul mengangkat dagunya seakan sedang bertanya padaku. Aku hanya menempelkan jari pada mulutku sendiri agar si Abdul tidak banyak bicara dan untungnya anak itu menurut.Aku bernapas lega, akhirnya Abdul pun pergi menjauh. Dan aku melanjutkan menguping pembicaraan Yahya di telepon."Apa yang kamu mau, Sayang?" suara Yahya yang aku dengar.Hatiku terasa ngilu saat mendengar kata sayang terlontar pada lawan bicaranya itu. Sedangkan saat bersamaku tidak pernah sekali pun menggunakan kata itu. Jujur, dulu mungkin masih sesekali dia memanggilku dengan sebutan sayanh. Namun, saat ini hilang tanpa bekas."Iya, kamu pesan saja beberapa gamis yang berwarna salem. Dan nanti jika sudah datang aku ingin berjalan bersamamu dengan gamis itu, Sayang!" Sebuah kalimat permintaan yang aku dengar.Sungguh tega pria itu, aku yang bekerja hampir setiap hari bangun pagi menyiapkan segalanya dia y
Karena sudah tidak kuat lagi untuk mendengar apa yang sedang suamiku bicarakan, akhirnya aku melipir kembali ke dapur menuruskan masakanku yang tertunda. Segera kurampungkan semau menu makanan untuk sore nanti. Begitu terdengar adan asar aku segera mengambil air wudlu.Dengan penuh khitmad kulaksanakan ibadahku hanya pada Allah semau kuadukan sakitnya hati ini hanya pada-Nya. Hingga tanpa terasa air mata jatuh menerpa punggung tanganku.Suara perempuan itu sangat aku kenal, tetapi aku tidak berani untuk memulai perselisihan dengan wanita itu. Posisi suaminya sebagai kakak sepupuku lah yang menyebabkan hal itu menjadi pertimbanganku. Selain itu tidak ada sejarahnya anak dari Joesni menyalak pada wanita lain meski tersakiti."Ya Allah kuatkan hati ini, iklaskan hatiku jika memang mereka memiliki rasa. Namun, jika masih ada jodoh aku dan Yahya maka pisahkan keduanya dengan caramu!" doaku dalam isak tangis tertahan.Setelah semua kuadukan pada Allah, maka kubuka kitabku. Kulantunkan bebe
Aku pun duduk di deretan nomer dua sebelah kanan pas deretan bangku sopir. Aku dan Zahra duduk satu deret. Dan seharusnya suamiku duduk di tepat belakangku atau di samping kiri. Namun, hal itu tidak berlaku olehnya. Yahya justru memilih duduk di belakang bersama para pengurus lainnya. Aku hanya diam."Nanti kita jadi berenang ya, Umi?" tanya Zahra."Iya, Nak. Apapun maunya kamu, umi pasti ikuti asal kamu bisa jaga diri!" kataku dengan nada rendah.Perjalanan semakin terasa lama kala kudapati suamiku tidak kunjung datang menghampiri bangku kami. Zahra sampai mengeluh akan keberadaan abahnya, terdengar selentingan kabar yang membuatku panas. Namun, segera kuusap dadaku agar bisa mereda. Perjalanan cukup lancar dan sesuai waktu yang diperhitungkan, rombongan kami pun sampai.Zahra terlihat sangat gembira, aku pun mengikuti langkah putriku menuju wahana kolam renang. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan Yahya. Sunggu diluar dugaan, suamiku itu berjalan berdua dengan seorang wanita yang
Aku hanya diam tanpa berniat menoleh ke belakang. Aku hanya menjaga mata dan hatiku agar tidak terkontaminasi lagi. Sudah cukup bagiku kisah poligami Yahya selama ini. Mungkin sudah menjadi karakter lelaki itu untuk berpoligami, jika aku telaah lagi selama menikah tidak sekali pun aku menolaknya di ranjang.Kapan pun dan apa yang dia inginkan, aku selalu mencoba memberikan padanya tanpa terkecuali. Meski tubuhki terasa lemah dan letih, bagiku itu semua adalah ibadah serta baktiku pada suami agar mendapat ridho."Umi, kok abah masih duduk di belakang sana!" keluh Zahra sambil menatap abahnya."Biarkan saja, Ra. Nanti saja kamu panggil saat tujuan kedua sampai!" kataku pada Zahra."Tujuan kedua kemana, Umi?" tanya Zahra."Malioboro, Nak. Umi tidur dulu ya, Nak. Nanti bangunkan jika bis sudah sampai!" pesanku.Zahra hanya mengangguk. Sempat kulihat si Zahra sedang asyik bermain game pada ponselnya. Aku sengaja membiarkan putriku memegang ponselnya selama acara rekreasi kampung. Aku akhir
Yahya dan Zahra masih terus berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Sejauh mata memandang hanya ada pertokoan yang rapi. Pengamen jalanan juga tertata rapi, mereja mencari ruang yang cukup lebar untuk memberi sebuah pertunjukan saweran. Zahra tertegun sesaat kala ada beberapa pengamen yang menggunakan alat terbuat dari bambu. Kulihat anakku sedang duduk berpangku tangan sendirian. Lalu segera kuhampiri dia."Kok sendiri lho, Nak? Mana abah kamu?" tanyaku."Lho, tadi abah berdiri di sini, Umi! Di sampingku," jawab Zahra."Buktinya kamu duduk sendiri, Nak. Berarti abah kamu pergi dengan yang lain," jawabku.Aku pun memcari sosok suamiku itu. Bola mataku membeliak kala kulihat sebuah tangan memeluk pinggang Mbak Ana. Hatiku teriris, di depan umum mereka berani berbuat seperti itu. Aku hanya mendengus kasar sambil beristigfar."Kuatkan hatimu, Bu Arini. Mereka sudah biasa seperti itu, bahkan jika di kampung kita mereka berdua sering boncengan pakai motor Pak Yahya. Bu Anan memeluk erat pin