Aku hanya diam menatap kebersamaan mereka selama memilih varian bakpia. Mereka seakan tidak punya malu, aku yang istri sahnya berdiri di tempat yang sama. Dia, wanita itu dengan santainya berjalan beriringan menuju setiap rak untuk mengambil beberapa oleh-oleh khas Jogja. Bahkan beberapa teguran dari para panitia tidak mereka pedulikan. Aku hanya geleng kepala melihat semua perbuatan mereka berdua. Namun, yang aku heran kok masih ada yang membela kelakuan aneh kedua orang dewasa itu."Mbak Arini mungkin harus bersabar, karena mereka belum tentu selingkuh lho. Kan hanya berjalan bersama dan becanda doang, bagi saya selama tidak menjalar jauh masih tidak apa. Wajar dong seorang pria membelikan beberapa jajanan kecil seperti ini pada wanita!" kata Bu Endah.Hallo! Seperti itu dibilang wajar, lalu apakah artinya jika suami dia membelikan beberapa pakaian, jajan, bahkan lembaran uang pada wanita lain dia bisa berkata seperti itu? Oh, Tuhan. Kemana si bulu keket itu pikirannya. Sungguh aku
Bis akhirnya sampai juga di desaku, semua warga segera turun. Aku segera melangkah menuju ke arah pulang bersama Zahra. Putriku terlihat lelah dan beberapa kali menguap. "Zahra lelah sekali, Umi. Boleh ya jika besok aku tidak masuk sekolah?" lirihnya."Boleh, tapi janji lho tidak boleh main handpone jika meliburkan diri!" pintaku."Iya, Umi," jawabnya dengan nada lemah.Mata dan tenaganya seakan sudah lelah, untuk berjalan saja sedikit terhuyung karena kantuk yang teramat. Sedangkan kulihat suamiku masih berbincang dengan beberapa bapak-bapak yang seserver dengannya. Mengagungkan poligami. Di sana masih ada Yahya--suamiku, Rafi dan Surosa yang sama suka begadangan hanya membahas poligami. Hanya keduanya sudah duda meskipun ekonomi pas-pasan. Aku tidak habis pikir dengan pola pikir para kaum adam. Kita boleh berpoligami asal ekonomi mapan, mampu berbuat adil dalam segala hal sesuai porsinya.Selayaknya ustad ternama yang sudah almarhum, beliau mampu secara finansial dan semua hartany
Aku merasa tidak percaya akan pikiranku sendiri. Entah apa yang membuat rasaku saat ini sedikit berkurang, perhatiannya padaku sudah berkurang bahkan kasih sayangnya dulu kini juga berkurang. Apakah ini yang membuat rasaku juga berkurang. Entahlah."Bu, ayam bakarnya dua ya. Satu dipotong yang satu utuh!" kata seorang pembeli."Iya, Bu. Mohon tunggu sebentar!" jawabku.Lalu aku pun mulai membakar ayam tersebut. Tidak butuh waktu lama ayam pun sudah siap. Segera aku bungkus dengan rapi lalu masuk ke dalam tas kresek tidak lupa aku masukkan juga sebungkus lalapan."Ini ayamnya, Bu. Semua 190k," kataku.Pembeli itu pun mengangsurkan uang merah dua lembar. Segera kuterima uang tersebut dan mengambil uamg kertas yang lebih kecil nominalnya sebagai kembalian pembeli itu.Pagi ini sebelum Topan datang aku sudah menerima pelanggan sepuluh orang. Mereka sangat hafal akan cara penyajiannya. Aku hanya geleng kepala, mengingat sejak pagi aku yang lakukan penjualan ini.Jangan tanya padaku dimana
"O iya, Bu. Kemarin ada yang cariin bapak lho!" kata Topan."Siapa, Pan? Pria atau wanita?" tanyaku untuk memastikan."Wanita beranak satu," jawab Topan.Hatiku seketika mencelos mendengar jawaban Topan. Sungguh pikiranku sudah pergi kemana-mana mengingat kelakuan suamiku akhir-akhir ini. Sungguh rasanya trauma akan hubungan gelap yang selalu dijalin suamiku dengan berbagai wanita yang ujungnya tidak jelas.Topan menatapku sedih, entah aku merasa dekat banget dengan pemuda itu. Dia seperti adik bagiku yang bisa mengerti semua keluh kesahku. Bahkan terkadang dia aku suruh untuk antar jemput Zahra ketika aku merasa lelah. Mungkin tanpa Topan kegiatan jual ayam bakar akan susah."Bagaimana kabar orang tua kamu, Pan?" tanyaku sambil beraktifitas."Sehat, Bu. Bahkan beliau sekarang sudah merasa longgar dan dapat berjalan lagi setelah serangan jantung kemarin," jawab Topan.Aku terkejut saat mendengar apa yang dikatalan oleh Topan. Ibunya kena serangan jantung dan aku tidak tahu, sungguh te
Hari terus berjalan aku semakin sibuk dan tenggelam dalam semua kegiatan warung. Tidak sedikitpun waktu untukku sedikit melepas lelah, tetapi bagi suamiku hampir setiap waktu dia bermain game tanpa sekitar. Aku sungguh heran.Setiap hari hanya aku yang sering hadir di dalam warung sedangkan suamiku selalu sibuk akan game dan ranjang. Entah mungkin memang sudah bawaan dari lahir bahwa dia adalah seorang muda yang sombong dan banyak bicara yang tidak bermutu."Umi, apakah nanti Zahra ada yang jemput sekolah?" tanya Yahya."Belum sih, tetapi biasanya yaa aku yang menjemputnya. Memangnya ada apa lho?" tanyaku sambil mulai membolak balik ayam itu. Diam, kulirik apa yang dilakukan oleh Yahya. Gelengan kepala yang mampu aku tunjukkan. Entahlah, dan waktu terus berjalan. Semua karyawanku akhirnya pulang meninggalkan aku sendiri di warung. "Umi, minta uang lima ribu dong!" kata Zahra tiba-tiba sambik masuk ke dalam warung."Eeh, Adik. Buat apa?" tanyaku sedikit kaget, "abah lagi ngapain di d
Aku masih diam termangu akan semua kalimat yang terlontar dari bibir kakak sepupuku itu. Baru kali ini aku melihat amarahnya yang meletup. Namun, tidak salah juga sih jika beliau marah seperti itu. Apa yang sudah menjadi miliknya telah di goyang oleh pria lain. Sebagai suami yang selalu memberi nafkah lahir dan batin pada istri wajarlah jika dia marah seperti itu. Mungkin hanya aku perempuan yang masih bertahan akan sikap suami yang seperti itu.Akan tetapi semua sudah digariskan, aku memiliki anak tiri yang begitu paham akan agama. Kita hidup hanya sementara, di dunia hanya Allah lah tempat kita bergantung. Karena bergantung pada suami pun juga percuma, suami kita saja belum tentu kuat buat kita gantungi semua kebutuhan.Heemm, semua memang ada masanya. Jadi hanya kita lah yang akhirnya harus bisa memilih jalan untuk kita tempuh hingga ke jannah. Kembali ke Mas Antono. Pria itu masih mengumpat dan menyalahkan sikap dan tingkah Yahya pada istrinya."Apa kamu tidak melihat perjuangan
Kupapah tubuh suamiku yang terlihat lelah dan loyo. Terlukis di wajahnya beberapa memar kebiruan, dasar kulit wajah Yahya kuning langsat jadi jika dipukul pasti akan membekas. Aku bertanya dalam hati, apa yang terjadi di masjid itu hingga wajahnya memar seperti itu."Abah, kok wajahnya membiru seperti itu, kenapa?" tanya Zahra menatap pada abahnya yang terlihat meringis saat kuolesi obat luar."Abah tadi di serang preman pasar, Adik!" jawab Yahya.Aku terdiam, meskipun hati ini sakit melihat semua tingkahnya yang sering menikah siri bahkan bermesraan dengan wanita lain rasanya tidak tega melihat dia terluka. Jika hati ini buatan pabrik mungkin sudah lama membusuk. Setelah kuobati semua kuka memarnya, aku beranjak keluar rumah guna memasukkan kendaraan roda dua suamiku yang baru. Iya aku lupa belum bercerita mengenai kendaraan roda dua baru itu. Yahya menginginkan montor ber-CC besar dengan bemper besar pula. Motor yang lagi tren saat ini. Alhamdulillah, apa yang diinginkan suami sel
Setiap hari aku masih berkutat dengan pembakaran dan perebusan. Suamiku sejak peristiwa pemecatan dia menjadi imam masjid kini mulai aktif membantu proses jual belu ayam. Dia sekarang yang mengacur keuangan ayam bakar seutuhnya. Mulai pemesanan ayam setiap harinya hingga uang masuk dia yang terima. Aku hanya menyiapkan semua bahan untuk jual setiap pagi. Untuk urusan jumlah ayam yang diorder sudah menjadi tanggung jawabnya. Saat ini kerjaanku sedikit berkurang di warung ayam bakar. Selain itu ku buang pikuran negatif tentang suamiku itu."Semoga ini adalah yang terbaik, Ya Allah!" doaku.Seiring berjalannya waktu, rupanya suamiku mulai nyaman ibadah berpindah tempat. Rasa malu akibat perbuatannya perlahan mulai menghilang. Malu yang di torehkan sendiri hanya dua bulan, selebihnya suamiku berhasil menguasai lagi harga dirinya. Meskipun namanya di lingkungan masih kurang baik, tetapi seiring berjalannya waktu mereka bungkam sendiri.Hanya pihak wanita yang tidak berani main di wilayah