Aku merasa tidak percaya akan pikiranku sendiri. Entah apa yang membuat rasaku saat ini sedikit berkurang, perhatiannya padaku sudah berkurang bahkan kasih sayangnya dulu kini juga berkurang. Apakah ini yang membuat rasaku juga berkurang. Entahlah."Bu, ayam bakarnya dua ya. Satu dipotong yang satu utuh!" kata seorang pembeli."Iya, Bu. Mohon tunggu sebentar!" jawabku.Lalu aku pun mulai membakar ayam tersebut. Tidak butuh waktu lama ayam pun sudah siap. Segera aku bungkus dengan rapi lalu masuk ke dalam tas kresek tidak lupa aku masukkan juga sebungkus lalapan."Ini ayamnya, Bu. Semua 190k," kataku.Pembeli itu pun mengangsurkan uang merah dua lembar. Segera kuterima uang tersebut dan mengambil uamg kertas yang lebih kecil nominalnya sebagai kembalian pembeli itu.Pagi ini sebelum Topan datang aku sudah menerima pelanggan sepuluh orang. Mereka sangat hafal akan cara penyajiannya. Aku hanya geleng kepala, mengingat sejak pagi aku yang lakukan penjualan ini.Jangan tanya padaku dimana
"O iya, Bu. Kemarin ada yang cariin bapak lho!" kata Topan."Siapa, Pan? Pria atau wanita?" tanyaku untuk memastikan."Wanita beranak satu," jawab Topan.Hatiku seketika mencelos mendengar jawaban Topan. Sungguh pikiranku sudah pergi kemana-mana mengingat kelakuan suamiku akhir-akhir ini. Sungguh rasanya trauma akan hubungan gelap yang selalu dijalin suamiku dengan berbagai wanita yang ujungnya tidak jelas.Topan menatapku sedih, entah aku merasa dekat banget dengan pemuda itu. Dia seperti adik bagiku yang bisa mengerti semua keluh kesahku. Bahkan terkadang dia aku suruh untuk antar jemput Zahra ketika aku merasa lelah. Mungkin tanpa Topan kegiatan jual ayam bakar akan susah."Bagaimana kabar orang tua kamu, Pan?" tanyaku sambil beraktifitas."Sehat, Bu. Bahkan beliau sekarang sudah merasa longgar dan dapat berjalan lagi setelah serangan jantung kemarin," jawab Topan.Aku terkejut saat mendengar apa yang dikatalan oleh Topan. Ibunya kena serangan jantung dan aku tidak tahu, sungguh te
Hari terus berjalan aku semakin sibuk dan tenggelam dalam semua kegiatan warung. Tidak sedikitpun waktu untukku sedikit melepas lelah, tetapi bagi suamiku hampir setiap waktu dia bermain game tanpa sekitar. Aku sungguh heran.Setiap hari hanya aku yang sering hadir di dalam warung sedangkan suamiku selalu sibuk akan game dan ranjang. Entah mungkin memang sudah bawaan dari lahir bahwa dia adalah seorang muda yang sombong dan banyak bicara yang tidak bermutu."Umi, apakah nanti Zahra ada yang jemput sekolah?" tanya Yahya."Belum sih, tetapi biasanya yaa aku yang menjemputnya. Memangnya ada apa lho?" tanyaku sambil mulai membolak balik ayam itu. Diam, kulirik apa yang dilakukan oleh Yahya. Gelengan kepala yang mampu aku tunjukkan. Entahlah, dan waktu terus berjalan. Semua karyawanku akhirnya pulang meninggalkan aku sendiri di warung. "Umi, minta uang lima ribu dong!" kata Zahra tiba-tiba sambik masuk ke dalam warung."Eeh, Adik. Buat apa?" tanyaku sedikit kaget, "abah lagi ngapain di d
Aku masih diam termangu akan semua kalimat yang terlontar dari bibir kakak sepupuku itu. Baru kali ini aku melihat amarahnya yang meletup. Namun, tidak salah juga sih jika beliau marah seperti itu. Apa yang sudah menjadi miliknya telah di goyang oleh pria lain. Sebagai suami yang selalu memberi nafkah lahir dan batin pada istri wajarlah jika dia marah seperti itu. Mungkin hanya aku perempuan yang masih bertahan akan sikap suami yang seperti itu.Akan tetapi semua sudah digariskan, aku memiliki anak tiri yang begitu paham akan agama. Kita hidup hanya sementara, di dunia hanya Allah lah tempat kita bergantung. Karena bergantung pada suami pun juga percuma, suami kita saja belum tentu kuat buat kita gantungi semua kebutuhan.Heemm, semua memang ada masanya. Jadi hanya kita lah yang akhirnya harus bisa memilih jalan untuk kita tempuh hingga ke jannah. Kembali ke Mas Antono. Pria itu masih mengumpat dan menyalahkan sikap dan tingkah Yahya pada istrinya."Apa kamu tidak melihat perjuangan
Kupapah tubuh suamiku yang terlihat lelah dan loyo. Terlukis di wajahnya beberapa memar kebiruan, dasar kulit wajah Yahya kuning langsat jadi jika dipukul pasti akan membekas. Aku bertanya dalam hati, apa yang terjadi di masjid itu hingga wajahnya memar seperti itu."Abah, kok wajahnya membiru seperti itu, kenapa?" tanya Zahra menatap pada abahnya yang terlihat meringis saat kuolesi obat luar."Abah tadi di serang preman pasar, Adik!" jawab Yahya.Aku terdiam, meskipun hati ini sakit melihat semua tingkahnya yang sering menikah siri bahkan bermesraan dengan wanita lain rasanya tidak tega melihat dia terluka. Jika hati ini buatan pabrik mungkin sudah lama membusuk. Setelah kuobati semua kuka memarnya, aku beranjak keluar rumah guna memasukkan kendaraan roda dua suamiku yang baru. Iya aku lupa belum bercerita mengenai kendaraan roda dua baru itu. Yahya menginginkan montor ber-CC besar dengan bemper besar pula. Motor yang lagi tren saat ini. Alhamdulillah, apa yang diinginkan suami sel
Setiap hari aku masih berkutat dengan pembakaran dan perebusan. Suamiku sejak peristiwa pemecatan dia menjadi imam masjid kini mulai aktif membantu proses jual belu ayam. Dia sekarang yang mengacur keuangan ayam bakar seutuhnya. Mulai pemesanan ayam setiap harinya hingga uang masuk dia yang terima. Aku hanya menyiapkan semua bahan untuk jual setiap pagi. Untuk urusan jumlah ayam yang diorder sudah menjadi tanggung jawabnya. Saat ini kerjaanku sedikit berkurang di warung ayam bakar. Selain itu ku buang pikuran negatif tentang suamiku itu."Semoga ini adalah yang terbaik, Ya Allah!" doaku.Seiring berjalannya waktu, rupanya suamiku mulai nyaman ibadah berpindah tempat. Rasa malu akibat perbuatannya perlahan mulai menghilang. Malu yang di torehkan sendiri hanya dua bulan, selebihnya suamiku berhasil menguasai lagi harga dirinya. Meskipun namanya di lingkungan masih kurang baik, tetapi seiring berjalannya waktu mereka bungkam sendiri.Hanya pihak wanita yang tidak berani main di wilayah
"Anak-anak semakin besar tentunya keperluan juga akan semakin meningkat. Bagaimana jika kita mulai buka cabang, Umi?" tanya Yahya sore itu.Aku terdiam, otakku berpikir jika yang di sini saja aku lebih banyak berperan lalu di cabang nanti bagaimana? Sungguh tidak bisa aku prediksi operasionalnya nanti seperti apa. Namun, semua itu bertujuan baik jadi aku setuju saja. Memang benar apa yang dikatakan oleh suamiku itu. Adam saja saat ini usianya sudah mendekati seperempat abat. Sebentar lagi akan berusia 26 tahun. Sebenarnya beberapa bulan lalu Adam sudah dilamar oleh orang tua asal dari luar pulau.Adam diinginkan untuk jadi menantu orang tersebut. Namun, saat itu Adam masih merasa kecil jadi sia meminta waktu satu atau dua tahun lagi agar ilmunya mampu membimbing istrinya kelak."Boleh saja jika buka cabang, tetapi nanti yang tanggung jawab operasionalnya siapa lho, Bi?" tanyaku langsung ke pokoknya, "sedangkan yang di sini saja hampir semua aku yang pegang, Abi jarang sekali masuk ke
"Aku pesan sepuluh ya, Bu. Yang lima dipotong sisanya utuh," kata pembeliku."Baik, Pak. Akan saya tulis dengan nama siapa?" tanyaku."Pak Aldi, saya bayar lunas sekarang ya, Bu! Karena besok yang ambil mungkin anak saya," kata Pak Aldi."Boleh, semua 950k. Perkotak ayam 95k," jelasku.Kemudian pria itu menyodorkan sepuluh lembar uang ratusan ribu padaku. Aku segera membuatkan kwitansi sebagai tanda bukti saat pengambilan esok hari. Ini sengaja aku lakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Setelah selesai kuberikan kwitansi sekaligus dengan uang kembalian yang 50k itu."Baiklah terima kasih, Bu. Permisi dan selamat malam!" pamitnya, lalu pria itu melajukan kendaraan roda duanya menjauh.Aku segera melanjutkan menutup warungku. Setelah yakin sudah tertutup sempurna, maka aku pun melangkah masuk ke rumah. Di dalam kulihat Yahya sedang menungguku di kursi khusus miliknya. Tanpa banyak bicara ke taruk selembar kertas laporan keluar masuk uang berserta seikat uang dari hasil pe
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,