Aku masih diam termangu akan semua kalimat yang terlontar dari bibir kakak sepupuku itu. Baru kali ini aku melihat amarahnya yang meletup. Namun, tidak salah juga sih jika beliau marah seperti itu. Apa yang sudah menjadi miliknya telah di goyang oleh pria lain. Sebagai suami yang selalu memberi nafkah lahir dan batin pada istri wajarlah jika dia marah seperti itu. Mungkin hanya aku perempuan yang masih bertahan akan sikap suami yang seperti itu.Akan tetapi semua sudah digariskan, aku memiliki anak tiri yang begitu paham akan agama. Kita hidup hanya sementara, di dunia hanya Allah lah tempat kita bergantung. Karena bergantung pada suami pun juga percuma, suami kita saja belum tentu kuat buat kita gantungi semua kebutuhan.Heemm, semua memang ada masanya. Jadi hanya kita lah yang akhirnya harus bisa memilih jalan untuk kita tempuh hingga ke jannah. Kembali ke Mas Antono. Pria itu masih mengumpat dan menyalahkan sikap dan tingkah Yahya pada istrinya."Apa kamu tidak melihat perjuangan
Kupapah tubuh suamiku yang terlihat lelah dan loyo. Terlukis di wajahnya beberapa memar kebiruan, dasar kulit wajah Yahya kuning langsat jadi jika dipukul pasti akan membekas. Aku bertanya dalam hati, apa yang terjadi di masjid itu hingga wajahnya memar seperti itu."Abah, kok wajahnya membiru seperti itu, kenapa?" tanya Zahra menatap pada abahnya yang terlihat meringis saat kuolesi obat luar."Abah tadi di serang preman pasar, Adik!" jawab Yahya.Aku terdiam, meskipun hati ini sakit melihat semua tingkahnya yang sering menikah siri bahkan bermesraan dengan wanita lain rasanya tidak tega melihat dia terluka. Jika hati ini buatan pabrik mungkin sudah lama membusuk. Setelah kuobati semua kuka memarnya, aku beranjak keluar rumah guna memasukkan kendaraan roda dua suamiku yang baru. Iya aku lupa belum bercerita mengenai kendaraan roda dua baru itu. Yahya menginginkan montor ber-CC besar dengan bemper besar pula. Motor yang lagi tren saat ini. Alhamdulillah, apa yang diinginkan suami sel
Setiap hari aku masih berkutat dengan pembakaran dan perebusan. Suamiku sejak peristiwa pemecatan dia menjadi imam masjid kini mulai aktif membantu proses jual belu ayam. Dia sekarang yang mengacur keuangan ayam bakar seutuhnya. Mulai pemesanan ayam setiap harinya hingga uang masuk dia yang terima. Aku hanya menyiapkan semua bahan untuk jual setiap pagi. Untuk urusan jumlah ayam yang diorder sudah menjadi tanggung jawabnya. Saat ini kerjaanku sedikit berkurang di warung ayam bakar. Selain itu ku buang pikuran negatif tentang suamiku itu."Semoga ini adalah yang terbaik, Ya Allah!" doaku.Seiring berjalannya waktu, rupanya suamiku mulai nyaman ibadah berpindah tempat. Rasa malu akibat perbuatannya perlahan mulai menghilang. Malu yang di torehkan sendiri hanya dua bulan, selebihnya suamiku berhasil menguasai lagi harga dirinya. Meskipun namanya di lingkungan masih kurang baik, tetapi seiring berjalannya waktu mereka bungkam sendiri.Hanya pihak wanita yang tidak berani main di wilayah
"Anak-anak semakin besar tentunya keperluan juga akan semakin meningkat. Bagaimana jika kita mulai buka cabang, Umi?" tanya Yahya sore itu.Aku terdiam, otakku berpikir jika yang di sini saja aku lebih banyak berperan lalu di cabang nanti bagaimana? Sungguh tidak bisa aku prediksi operasionalnya nanti seperti apa. Namun, semua itu bertujuan baik jadi aku setuju saja. Memang benar apa yang dikatakan oleh suamiku itu. Adam saja saat ini usianya sudah mendekati seperempat abat. Sebentar lagi akan berusia 26 tahun. Sebenarnya beberapa bulan lalu Adam sudah dilamar oleh orang tua asal dari luar pulau.Adam diinginkan untuk jadi menantu orang tersebut. Namun, saat itu Adam masih merasa kecil jadi sia meminta waktu satu atau dua tahun lagi agar ilmunya mampu membimbing istrinya kelak."Boleh saja jika buka cabang, tetapi nanti yang tanggung jawab operasionalnya siapa lho, Bi?" tanyaku langsung ke pokoknya, "sedangkan yang di sini saja hampir semua aku yang pegang, Abi jarang sekali masuk ke
"Aku pesan sepuluh ya, Bu. Yang lima dipotong sisanya utuh," kata pembeliku."Baik, Pak. Akan saya tulis dengan nama siapa?" tanyaku."Pak Aldi, saya bayar lunas sekarang ya, Bu! Karena besok yang ambil mungkin anak saya," kata Pak Aldi."Boleh, semua 950k. Perkotak ayam 95k," jelasku.Kemudian pria itu menyodorkan sepuluh lembar uang ratusan ribu padaku. Aku segera membuatkan kwitansi sebagai tanda bukti saat pengambilan esok hari. Ini sengaja aku lakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Setelah selesai kuberikan kwitansi sekaligus dengan uang kembalian yang 50k itu."Baiklah terima kasih, Bu. Permisi dan selamat malam!" pamitnya, lalu pria itu melajukan kendaraan roda duanya menjauh.Aku segera melanjutkan menutup warungku. Setelah yakin sudah tertutup sempurna, maka aku pun melangkah masuk ke rumah. Di dalam kulihat Yahya sedang menungguku di kursi khusus miliknya. Tanpa banyak bicara ke taruk selembar kertas laporan keluar masuk uang berserta seikat uang dari hasil pe
Pagi hari tiba dengan sinarnya yang mulai memanas. Aku kembali disibukkan dengan aktifitas yang seperti biasa. Dan seperti biasa juga, suamiku masih bergelung dengan selimut. Sepertinya semangatnya sudah berkurang lagi setelah mendapat oersetujuan dariku untuk buka cabang.Apakah salah jika aku selalu memiliki prasangka yang negatif setiap dia aktif membantu di warung? Jadi inilah tujuannya selama ini ikut terjun dalam perputaran jualan ayam bakarku. Dia sedang inginkan sebuah cabang baru dengan modal 20 juta dari tabungan yang berhasil disishkan setiap harinya dari hasil penjualan.Aku ingin sekali bercerita, tetapi pada siapa? Tidak mungkin juga aku bercerita pada Topan yang seorang pria. Tentunya dia akan membela Yahya sesama laki-laki. Akhirnya aku pun menelepon Adam, putra tiri pertamaku. Panggilanku langsung tersambung."Asaalamualaikum, Umi!" sapa Adam."Waalaikumsalam, Adam. Apakah kamu hati ini sibuk? Umi ingin cerita sedikit biar beban ini sedikit berkurang," kataku."Selalu
Pagi kembali menyapa, aku pun juga seperti biasanya. Dua hari ini suamiku berkeliling kota mencari tempat yang pas untuk dia buka cabang. Kuharap segera mendapat tempat yang pas."Umi, Zahra berangkat sekolah di antar siapa?" tanya Zahra tiba-tiba sambil berjalan mendekatiku.Aku tersenyum dan langsung beranjak dari dudukku. Kemudian kuberesjan lebih dulu beberapa bungkusan sambal yang sudah jadi. Lalu kubereskan juga dompet khusus uang penjualan. Setelahnya kuhampiri putriku dan mengajaknya untuk segera bersiap."Yuuk, biar umi yang antar kamu sekolah, Nak!" ajakku.Zahra pun mengangguk, lalu dia mengikutiku dan naik diboncengan. Setelah putriku siap, aku segera melajukan kendaraan roda dua. Sepanjang jalan hanya hening yang tercipta, seakan tidak ada bahasan yang harus di ungkap. Namun, saat tiba di depan sekolah barulah Zahra berucap."Umi, ada bawa uangkah? Kok Zahra lupa belum ada uang saku!" keluh Zahra."Ah, iya. Maaf umi tadi lupa. Sebentar!" jawabku.Kuraba beberapa saku yang
Kutunggu jawaban dari Yahya atas pertanyaanku itu. Lelakiku masih diam karena dia sedang menyeruput kopinya dan mulai menyalakan rokoknya. Helaan napas halus aku dengar keluar dari bibirnya, lalu asap rokok mengiringi helaan itu."Lumayan mahal sih, Umi. Tapi abi suka dengan tempat itu, selain di daerah itu pelanggan kita cukup banyak tempatnya juga strategis kok," ungkap Yahya."Iya tidak apa kok, Abi. Aku hanya ingin tahu saja berapa jumlah uang kontraknya," balasku."Satu tahunnya tujuh juta, abi sudah pesan untuk dua tahun dam tunai kemarin," jawabnya.Seketika mataku membola, uang sebanyak itu sudah berani dia keluarkan untuk dua tahun. Aku tidak menyangka dan terkejut akan keberaniannya memulai usaha dengan harga sewa yang begitu besar. Hal ini membuatku penasaran akan tempat itu. Semoga saja usahanya berkah dan diridhoi Allah, aamiin. Aku menelan makanan sedikit susah akibat mnedengarkan semua yang dia ungkapkan. Sungguh aku terkejut, ah semoga saja dia akan berubah seiring wa