Kutunggu jawaban dari Yahya atas pertanyaanku itu. Lelakiku masih diam karena dia sedang menyeruput kopinya dan mulai menyalakan rokoknya. Helaan napas halus aku dengar keluar dari bibirnya, lalu asap rokok mengiringi helaan itu."Lumayan mahal sih, Umi. Tapi abi suka dengan tempat itu, selain di daerah itu pelanggan kita cukup banyak tempatnya juga strategis kok," ungkap Yahya."Iya tidak apa kok, Abi. Aku hanya ingin tahu saja berapa jumlah uang kontraknya," balasku."Satu tahunnya tujuh juta, abi sudah pesan untuk dua tahun dam tunai kemarin," jawabnya.Seketika mataku membola, uang sebanyak itu sudah berani dia keluarkan untuk dua tahun. Aku tidak menyangka dan terkejut akan keberaniannya memulai usaha dengan harga sewa yang begitu besar. Hal ini membuatku penasaran akan tempat itu. Semoga saja usahanya berkah dan diridhoi Allah, aamiin. Aku menelan makanan sedikit susah akibat mnedengarkan semua yang dia ungkapkan. Sungguh aku terkejut, ah semoga saja dia akan berubah seiring wa
"Umi, oh Umi!" teriak Yahya memanggilku kala pagi hari dengan nada ceria."Apa sih Abi ini teriak di pagi hari!" Hentakku.Yahya malah tersenyum lalu memelukku dari belakang, perlahan tubuhku dia balik agar bisa menghadap padanya. Jemarinya yang panjang dan halus menyibak cadarku, lalu dia melepas kaitnya. Deru napasnya terasa di wajahku. Aroma yang khas berbau mint mulai melenakan anganku.Kepala Yahya semakin mendekat dan sudah teleng ke kanan. Dekat, makin dekat dan dengan lembut di sesapnya bibirku. Gelenyar aneh tiba-tiba hadir menyapa relung hati terdalam. Rasa yang sudah lama hilang kini hadir kembali."Abi!" lirihku.Namun, suaraku seakan lenyap terbawa angin dari putaran kipas. Iya saat itu aku sedang berdiri menyeterika seragam sekolah Zahra. Aroma gosong menyapa hidungku. Seketika aku membola dan berbalik badan. "Huft, syukurlah bukan seragam Zahra. Abi sih, noh lihat semua karena kelakuan Abi!" sungutku sambil bola mataku berputar jengah.Ada rasa malu dan kesal yang berb
"Aku di sini saja, Bi. Males buat nginap di sana," jawabku."Iya, sudahlah jika seperti itu inginnya Umi," balas Yahya dan seketika tangannya berhenti memijat kakiku. Aku tersenyum melihat sikap suamiku yang ternyata sikap manisnya itu ada niat terselubung. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku membantu Topan di warung. Pemuda itu menatapku heran, tidak biasanya aku keluar di jam istirahat."Napa, Topan?" tanyaku."Tidak apa, Bu. Hanya heran saja, kok tidak biasanya," jawab Topan."Entah, Pan. Rasanya kok jadi males untuk memulai buka lapak baru," lirihku."Harus kuat dan jalan itu lapak, Bu. Semua untuk anak," kata Topan.Aku diam, mencoba menelaah apa yang dikatakan oleh Topan. Secara memang apa yang dikatakan oleh Topan ada benarnya, tapi semua kembali pada niat Yahya untuk membuka jalannya lapak itu. Yang utama itu saja dulu, aku hanya mendukung apa yang menjadi niat suamiku."Sepertinya itu saja dulu, Pan. Mendukung apa yang sudah menjadi niat suamiku. Tetap dukung ya, Pan!" pinta
Lapak baru yang dijalankan oleh suamiku mulai dibuka hari ini. Setelah kemarin siang melalui drama lebih dulu, pagi ini aku sudah menyiapkan sesuai pesan Yahya--suamiku. Jam sembilan semua harus sudah siap, karena di jam itulah dia akan memulai usaha.Aku mulai mengatur jadwal kegiatanku, mulai bungkusi lalapan dan sambal sebelum Topan datang. Kali ini aku tidak mau keteter dalam mempersiapkab semua. Tepat jam setengah delapan pagi Topan sudah datang. Dia segera mengerti tugasnya.Hal inilah yang membuatku bisa bernapas lega memiliki pekerja yang bisa melaksanakan dan mengingat semua pekerjaannya tanpa aku mengulang perintah. Beberapa saat kemudian Samuel pun juga sudah berjalan menuju ke warung."Apakah ayam mentah sudah sampai, Bu?" tanya Samuel."Waduh, maaf Sam. Hari ini aku tidak order ayam mentah. Ini persediaan masih banyak lho. Ada sekitar 25 ayam. Tunggu ini sedikit berkurang. Mungkin besok baru mbedah ayamnya," jelasku."Baiklah jika seperti itu, saya balik pulang dan tidur
Pak Amir kulihat menunduk, pria paruh baya itu tidak berani menatapku. Dia tetap diam tanpa banyak kata. Bibirnya bungkam hingga aku ulang pertanyaanku baru lah dia menjawab dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.Aku diam termangu, rupanya wanita itu mengaku bahwa dia bukanlah istri dari Yahya jadi tidak mau membayar pisang yang jelas ada di teras rumahnya itu. Justru dari wanita itulah Pak Amir tahu alamat rumahku. "Jadi wanita itu yang menyuruh Bapak untuk menagih uang pisang sajanjang?" tanyaku untuk lebih yakin lagi."Benar, Bu. Maaf!" balasnya.Aku pun berdiri menuju ke warung untuk mengambil dompetku pribadi. Setelahnya segera kuambil sejumlah uang harga pisang itu dan kuserahkan langsung pada Pak Amir."Terima kasih, Bu. Semoga usaha Ibu lancar, saya permisi!" pamit Pak Amir."Iya, Pak. Sama-sama," jawabku.Pria itu akhirnya meninggakkan warungku, terlihat wajah yang penuh senyum. Aku yang melihat langkahnya penuh semangat menjadi terenyuh. Apakah bapakku juga seperti it
Adam pun melangkah meninggalkan rumah bersama dengan abahnya. Aku hanya menatapnya dengan sendu. Putra sulungku harus menyeberang laut dengan pesawat sendiri guna bertemu calon mertua dan warga sekitarnya.Ada rasa bangga buat Adam, anakku itu sudah bisa memberi tausiah untuk kalangan kecil. Mungkin kelebihan ini yang membuat orang tua Halimah menginginkan menantu yang baik secara akhlak dan rupa. Memang Adam terbilang pemuda yang tampan, aku yang sebagai ibu tirinya saja mengakui jika dia tampan. Selama aku menikah dengan Yahya, kedua anak tiriku selalu mendukungku dalam segala hal. Apalagi jika abahnya sudah berjalan sedikit serong, maka mereka berdualah yang selalu menenangkan kerisauan hatiku. Punggung Adam sudah tidak kulihat lagi, lalu aku pun melanjutkan aktifitas yang lain."Umi, Zahra berangkat diantar siapa?" tanya Zahra."Sudah siapkah? Ayok biar umi yang antar!" ajakku.Kulihat Zahra segera bersiap dengan menggenakan sepatunya, lalu tas dia cangklong pada kedua bahunya. G
Aku kembali masuk ke rumah, tapi baru beberapa langkah terdengat suara ponsel berdering. Dan Topan pun meneriaki aku bahwa ada panggilan dari Adam. Gegas aku berbalik badan dan melangkah kembali ke warung."Ini ponselnya, Bu!" kata Topan sambil menyerahkan ponsel itu padaku.Aku menerima ponsel itu, lalu kubawa masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam segera ku dial tombol hijaunya agar tersambung dengan Adam."Hallo, Assalamualaikum, Adam!" kataku mengawali percakapan."Waalaikumsalam, Umi. Adam sudah sampai di bandara, tadi sama abah aku cuma diantar ken terminal bis Madiun lho, Umi. Jadi Abah ndak ikut ke Surabaya." Kalimat itu yang aku dengar langsung dari putraku."Laah, kok sampai jam segini abah kamu belum sampai rumah ya, Dam. Apa yang terjadi?" tanyaku."Nah, Adam gak tanggung jawab lho Umi. Semua sudah Adam kabarkan, semoga si abah tidak lupa jalan pulang lagi!" doa Adam.Aku hanya mengaminkan doa putra tiriku itu. Selanjutnya kami pun saling berbincang hingga pesawat yang aka
"Semoga Abah kamu tidak salah jalan lagi, Zahra!" doaku yang di aamiinkan putriku itu.Aku segera menyuruh Zahra untuk naik ke boncengan karena Topan sudah tiba jam pulangnya. Zahra pun kulihat menganggukkan kepala dan dia juga segera naik."Sudah, Umi!" kata Zahra.Setelah yakin bahwa putriku naik dengan benar, maka kulajukan kendaraanku roda dua. Zahra terlihat lelah seharian berada di sekolah. Aku sebenarnya kasian dengan anak sekolah masa sekarang. Dia berangkat jam 6.45 hingga jam 15.15. Waktu yang sangat panjang untuk anak usia sekolah dasar.Namun, semua itu sesuai kurikulum merdeka yang mengharuskan sekolah full day hingga hari jumat. Untuk sabtu sekolah sudah libur. Aku selalu menyiapkan vitamin penambah daya tahan tubuh. Beruntungnya aku, Zahra anak yang penurut dan tidak banyak membantah."Sudah sampai!" kataku agar Zahra segera turun.Putriku itu tidak segera masuk rumah, dia malah duduk di teras rumah sambil melepas sepatunya. Gadis kecil itu mulai berceloteh menceritakan
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,