Lapak baru yang dijalankan oleh suamiku mulai dibuka hari ini. Setelah kemarin siang melalui drama lebih dulu, pagi ini aku sudah menyiapkan sesuai pesan Yahya--suamiku. Jam sembilan semua harus sudah siap, karena di jam itulah dia akan memulai usaha.Aku mulai mengatur jadwal kegiatanku, mulai bungkusi lalapan dan sambal sebelum Topan datang. Kali ini aku tidak mau keteter dalam mempersiapkab semua. Tepat jam setengah delapan pagi Topan sudah datang. Dia segera mengerti tugasnya.Hal inilah yang membuatku bisa bernapas lega memiliki pekerja yang bisa melaksanakan dan mengingat semua pekerjaannya tanpa aku mengulang perintah. Beberapa saat kemudian Samuel pun juga sudah berjalan menuju ke warung."Apakah ayam mentah sudah sampai, Bu?" tanya Samuel."Waduh, maaf Sam. Hari ini aku tidak order ayam mentah. Ini persediaan masih banyak lho. Ada sekitar 25 ayam. Tunggu ini sedikit berkurang. Mungkin besok baru mbedah ayamnya," jelasku."Baiklah jika seperti itu, saya balik pulang dan tidur
Pak Amir kulihat menunduk, pria paruh baya itu tidak berani menatapku. Dia tetap diam tanpa banyak kata. Bibirnya bungkam hingga aku ulang pertanyaanku baru lah dia menjawab dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.Aku diam termangu, rupanya wanita itu mengaku bahwa dia bukanlah istri dari Yahya jadi tidak mau membayar pisang yang jelas ada di teras rumahnya itu. Justru dari wanita itulah Pak Amir tahu alamat rumahku. "Jadi wanita itu yang menyuruh Bapak untuk menagih uang pisang sajanjang?" tanyaku untuk lebih yakin lagi."Benar, Bu. Maaf!" balasnya.Aku pun berdiri menuju ke warung untuk mengambil dompetku pribadi. Setelahnya segera kuambil sejumlah uang harga pisang itu dan kuserahkan langsung pada Pak Amir."Terima kasih, Bu. Semoga usaha Ibu lancar, saya permisi!" pamit Pak Amir."Iya, Pak. Sama-sama," jawabku.Pria itu akhirnya meninggakkan warungku, terlihat wajah yang penuh senyum. Aku yang melihat langkahnya penuh semangat menjadi terenyuh. Apakah bapakku juga seperti it
Adam pun melangkah meninggalkan rumah bersama dengan abahnya. Aku hanya menatapnya dengan sendu. Putra sulungku harus menyeberang laut dengan pesawat sendiri guna bertemu calon mertua dan warga sekitarnya.Ada rasa bangga buat Adam, anakku itu sudah bisa memberi tausiah untuk kalangan kecil. Mungkin kelebihan ini yang membuat orang tua Halimah menginginkan menantu yang baik secara akhlak dan rupa. Memang Adam terbilang pemuda yang tampan, aku yang sebagai ibu tirinya saja mengakui jika dia tampan. Selama aku menikah dengan Yahya, kedua anak tiriku selalu mendukungku dalam segala hal. Apalagi jika abahnya sudah berjalan sedikit serong, maka mereka berdualah yang selalu menenangkan kerisauan hatiku. Punggung Adam sudah tidak kulihat lagi, lalu aku pun melanjutkan aktifitas yang lain."Umi, Zahra berangkat diantar siapa?" tanya Zahra."Sudah siapkah? Ayok biar umi yang antar!" ajakku.Kulihat Zahra segera bersiap dengan menggenakan sepatunya, lalu tas dia cangklong pada kedua bahunya. G
Aku kembali masuk ke rumah, tapi baru beberapa langkah terdengat suara ponsel berdering. Dan Topan pun meneriaki aku bahwa ada panggilan dari Adam. Gegas aku berbalik badan dan melangkah kembali ke warung."Ini ponselnya, Bu!" kata Topan sambil menyerahkan ponsel itu padaku.Aku menerima ponsel itu, lalu kubawa masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam segera ku dial tombol hijaunya agar tersambung dengan Adam."Hallo, Assalamualaikum, Adam!" kataku mengawali percakapan."Waalaikumsalam, Umi. Adam sudah sampai di bandara, tadi sama abah aku cuma diantar ken terminal bis Madiun lho, Umi. Jadi Abah ndak ikut ke Surabaya." Kalimat itu yang aku dengar langsung dari putraku."Laah, kok sampai jam segini abah kamu belum sampai rumah ya, Dam. Apa yang terjadi?" tanyaku."Nah, Adam gak tanggung jawab lho Umi. Semua sudah Adam kabarkan, semoga si abah tidak lupa jalan pulang lagi!" doa Adam.Aku hanya mengaminkan doa putra tiriku itu. Selanjutnya kami pun saling berbincang hingga pesawat yang aka
"Semoga Abah kamu tidak salah jalan lagi, Zahra!" doaku yang di aamiinkan putriku itu.Aku segera menyuruh Zahra untuk naik ke boncengan karena Topan sudah tiba jam pulangnya. Zahra pun kulihat menganggukkan kepala dan dia juga segera naik."Sudah, Umi!" kata Zahra.Setelah yakin bahwa putriku naik dengan benar, maka kulajukan kendaraanku roda dua. Zahra terlihat lelah seharian berada di sekolah. Aku sebenarnya kasian dengan anak sekolah masa sekarang. Dia berangkat jam 6.45 hingga jam 15.15. Waktu yang sangat panjang untuk anak usia sekolah dasar.Namun, semua itu sesuai kurikulum merdeka yang mengharuskan sekolah full day hingga hari jumat. Untuk sabtu sekolah sudah libur. Aku selalu menyiapkan vitamin penambah daya tahan tubuh. Beruntungnya aku, Zahra anak yang penurut dan tidak banyak membantah."Sudah sampai!" kataku agar Zahra segera turun.Putriku itu tidak segera masuk rumah, dia malah duduk di teras rumah sambil melepas sepatunya. Gadis kecil itu mulai berceloteh menceritakan
Aku sudah tidak mau memikirkan kemana dan dengan siapa suamiku bermalam. Kini aku hanya bisa mengadu pada Robb-ku. PadaNya aku selalu mengadu dan berharap yang terbaik untuk rumah tanggaku. Meskipun suamiku sering berpoligami, dia tetap imam yang baik secara agama.Entahlah, begitu sulit aku melepasnya meski beberapa luka berhasil dia torehkan dalam hatiku. Hingga terkadang terbersit sebuah kalimat "kau peras peluhku demi madu", mungkin seperti itu nasibku. Aku yang bekerja setiap hari mulai pagi hingga malam, hasilnya sering digunakan untuk mencari istri lagi oleh suamiku itu.Namun, mengapa semua istri siri si Yahya memiliki latar belakang yang buruk ya. Yang pertama bekas istri kedua orang, lalu bekas penjaja tubuh yang sudah sadar, dan yang terakhir istri orang. Aku pun sampai heran, kok bisa dia bernasib seperti itu.Pengen poligami tetapi status dan derajatnya masih dibawahku. Bukan nya aku menyombongkan diri, tetapi inilah kenyataannya. Nafsu mengalahkan logika, bak seekor bina
Aku terdiam akan ucapan pembeli itu. Pikiranku melayang pada kata wanita cantik itu bagaimana? Kuhempas napas panjang dan sedikit kasar. Kupaksakan agar aku bisa tersenyum merespon kalimat si pembeli."Ini pesanannya sudah siap, Bu!" kataku sambil menyerahkan pesanannya."Wah, terima kasih, Bu. Total semua 190k ya?" tanya ibu itu sambil menyodorkan uang pas."Iya, ini sudah pas ya, Bu. Terima kasih atas kepercayaannya pada kami!" kataku.Dan pembeli itu tersenyum lalu berbalik badan meninggalkan warungku. Aku kembali terduduk di bawah meja sambil melamun. Otakku memutar kembali mengingat apaa yang dikatakan oleh ibu tadi. Sungguh semua diluar kehendakku.Disaat harus mulai menabung untuk persiapan pernikahan Adam, abahnya kembali bertingkah. Aku tidak habis pikir, dimana sih otak Yahya itu. Pusing jika kita fokus memikirkan polah suamiku itu. Tiba-tiba kudengar dering telepon, segera kuangkat dengan menatik ikon hijau pada ponsel."Ah, rupanya dari Adam," lirihku. "Assalamualaikum, S
Kulihat pandangam suamiku menghindar dari tatapanku. Zahra yang melihat abahnya tidak segera menjawab tanyaku semakin bingung. Gadis kecilku itu kembali menyentuh dahi abahnya."Lho, kok tiba-tiba sudah dingin ya!" kata Zahra heran.Aku juga bingung saat mendengar apa yang dikatakan oleh putriku. Sekali lagi kutatap manik cokelat terang milik Yahya dan lelaki itu kembali menghindar menatap ke arah Zahra. Dia meraih tangan putrinya untuk dicium."Abah tidak apa, Sayang. Sudah sana segera ganti baju lalu mandi sekalian biar badan segar!" ujar Yahya pada Zahra.Memdengar kalimat Yahya untuk Zahra, aku semakin penasaran sebenarnya apa yang disembunyikan oleh suamiku selama ini. Selama dia mulai membuka lapak baru. Mungkinkan lapak tersebut untuk usaha istri mudanya yang lain? Berbagai tanya muncul di otakku.Kulihat Zahra langsung menjalankan apa yang dikatakan oleh abahnya. Gadis kecil itu pun berjalan menuju ka kamar mandi meninggalkan kami berdua. Ini kesempatan bagiku untuk membahas m