Aku terdiam akan ucapan pembeli itu. Pikiranku melayang pada kata wanita cantik itu bagaimana? Kuhempas napas panjang dan sedikit kasar. Kupaksakan agar aku bisa tersenyum merespon kalimat si pembeli."Ini pesanannya sudah siap, Bu!" kataku sambil menyerahkan pesanannya."Wah, terima kasih, Bu. Total semua 190k ya?" tanya ibu itu sambil menyodorkan uang pas."Iya, ini sudah pas ya, Bu. Terima kasih atas kepercayaannya pada kami!" kataku.Dan pembeli itu tersenyum lalu berbalik badan meninggalkan warungku. Aku kembali terduduk di bawah meja sambil melamun. Otakku memutar kembali mengingat apaa yang dikatakan oleh ibu tadi. Sungguh semua diluar kehendakku.Disaat harus mulai menabung untuk persiapan pernikahan Adam, abahnya kembali bertingkah. Aku tidak habis pikir, dimana sih otak Yahya itu. Pusing jika kita fokus memikirkan polah suamiku itu. Tiba-tiba kudengar dering telepon, segera kuangkat dengan menatik ikon hijau pada ponsel."Ah, rupanya dari Adam," lirihku. "Assalamualaikum, S
Kulihat pandangam suamiku menghindar dari tatapanku. Zahra yang melihat abahnya tidak segera menjawab tanyaku semakin bingung. Gadis kecilku itu kembali menyentuh dahi abahnya."Lho, kok tiba-tiba sudah dingin ya!" kata Zahra heran.Aku juga bingung saat mendengar apa yang dikatakan oleh putriku. Sekali lagi kutatap manik cokelat terang milik Yahya dan lelaki itu kembali menghindar menatap ke arah Zahra. Dia meraih tangan putrinya untuk dicium."Abah tidak apa, Sayang. Sudah sana segera ganti baju lalu mandi sekalian biar badan segar!" ujar Yahya pada Zahra.Memdengar kalimat Yahya untuk Zahra, aku semakin penasaran sebenarnya apa yang disembunyikan oleh suamiku selama ini. Selama dia mulai membuka lapak baru. Mungkinkan lapak tersebut untuk usaha istri mudanya yang lain? Berbagai tanya muncul di otakku.Kulihat Zahra langsung menjalankan apa yang dikatakan oleh abahnya. Gadis kecil itu pun berjalan menuju ka kamar mandi meninggalkan kami berdua. Ini kesempatan bagiku untuk membahas m
"Kok sudah tutup lho, Umi?" Kudengar suara Yahya yang sudah berdiri di belakanku." Aku sudah capek dan lelah, Bi," jawabku."Iya sudah, tutup saja!" respon Yahya.Aku pun segera membersihkan semua barang yang berserakan. Setelah semua terlihat bersih dan rapi, aku pun masuk ke rumah. Setelah di dalam segera ku ambil wudlu dan salat mahgrib berjamaah dengan Zahra. Sedangkah suamiku dia pergi ke masjid."Umi, Zahra langsung tidur ya, rasanya lelah sekali!" pinta Zahra.Aku menyarankan agar dia membongkar tasnya untuk diisi dengan jadwal esok hari. Zahra pun mengangguk menyetujui sasanku. Setelah melepas mukena dan meletakkan kembali sesuai tempatnya, Zahra langsung menuju meha belajarnya. Aku melipat kembali mukena dan meletakkan pada tempatnya. Setelah melakukan salat kulihat Yahya sudah duduk di kursi malasnya. Aku melewatinya begitu saja tanpa berkata sedikitpun ingin menguji sejauh mana empati yang dia miliki atas tubuh ini.Meski lelah dan ingin segera memejamkan mata, aku tidak
Akhirnya aku melangkah meninggalkan suamiku dengan kesakitan di hati. Begitu sakitnya melihat suami yang masih tidak memedulikan semua kebutuhan keluarga, yang dia pedulikan hanya kemalasan saja. Sering dia mengeluh badannya sakit semua, iya mana tidak sakit jika badan itu dia biarkan terus tanpa berniat untuk melatihnya bergerak. Bahkan sejak warung ayam bakar mulai memiliki omset yang lumayan lelakiku itu semakin malas buat menjalankan dakwah. Biasanya meski dia tidak berdakwah selalu ada saja yang menyuruhnya untuk menjadi imam di masjid tertentu. Namun, sejak peristiwa dilabrak oleh saudara sepupuku itu lah kariernya sebagai seorang ustad tercemar. Dalam kegundahan hati, kurebahkan tubuhku yang lelah di sebelah Zahra."Sayangnya umi, mimpi indah ya. Semoga bahagia selalu menyertaimu!" Kupanjatkan doa terbaik untuk Zahra.Sungguh semangatku hanya Zahra, karena hanya dia yang aku punya selain saudaraku yang lain. Semoga semua menjadi baik dam sesuai dengan ridho-Nya. Lama kelamaa
Semakin hari penjualan ayam bakar makin bertambah. Apalagi hari pernikahan Adam semakin dekat. Aku bersyukur Allah memberikan jalan yang terbaik atas masalahku meski aku harus bersusah lebih dulu. Semua berusaha kujalani dengan iklas tanpa mengeluh.Sesuai pesananku, ayam mentah pun dikirim oleh Pak Roni sebanyak 25 ekor. Samuel dan Topan menjadi saling pandang dengan jumlah ayam mentah yang aku pesan. Aku hanya tersenyum melihat tatapan kedua karyawanku itu."Sudah jangan saling pandang seperti itu, segera kerjakan saja. Semoga jualan kita semakin ramai!" kataku."Aamiin," jawab mereka berdua.Selanjutnya mereka berdua terlihat kompak dalam melakukan pekerjaan tanpa ada saling salah. Aku tersenyum bahagia dengan melihat keakraban dan kerukunan kedua keryawanku itu. Bahkan mereka berdua saling kerja sama tanpa adanya perbedaan.Mereka berdua mempersiapkan ayam rebus dan aku mulai membungkusi sambal dan lalapan. Topan sesekali melempar guyonan ala pelawak Precil yang lumayan diminati p
Semakin hari omset penjualanku semakin bertambah. Aku mulai curiga akan pesatnya omset yang masuk, secara akan ada acara di keluarga kecilku jadi membutuhkan banyak dana. Allah memang maha adil, disaat hambanya sedang membutuhkan maka inilah jalan untukku.Semua sudah ada yang atur kita sebagai manusia hanya sebagai pelaku saja. Untuk itulah aku selalu berpikir positif akan semua musibah yang aku alami. Bagiku sebuah minset diri itu sangat berpengaruh untuk menambah semangat kita dalam menjalani cerita hidup."Bu, ada telepon dari Mas Adam!" teriak Topan lantang agar aku bisa mendengarnya.Gegas aku melangkah ke warung tanpa memedulikan suamiku yang terlihat asyik bermain game. Sampai di warung segera kuraih ponsel yang sudah dalam keadaan tersambung dari tangan Topan."Maaf, Bu, aku tadi tidak baca nama yang tertera jadi aku kira pembeli!" ungkap Topan penuh rasa kecewa dan permintaan maaf."Tidak apa, Pan. Ya sudah aku bawa masuk dulu ya, mungkin ini berita penting!" kataku.Topan p
"Aku tidak mau mengeluarkan semua tabunganku untuk acara pernikahan Adam, Bi!" lirihku sambil berjalan menyentak meninggalkan priaku.Aku terus berjalan kembali ke warung dengan tidak memedulikan teriakan Yahya--suamiku. Dengan aura yang sedikit gelap aku pun membungkus sambal dengan menggila. Topan yang melihatku tidak berani mengajak aku berbincang. Pemuda itu kulirik masih sesekali menatapku penuh tanya.Namun, aku masih tidak memedulikan semua yang dikerjakan oleh dua karyawanku. Aku sudah percaya dengan kinerja mereka meskipun aku tidak menyuruh mereka sembarangan. Mereka sudah paham akan tugasnya masing-masing. "Bu, uang recehnya sudah tipis. Ini hanya masih ada beberapa buat kebalian para pembeli yang lainnya." Topan menjelaskan mengenai stok uang receh."Bentar aku ambilkan dari dalam!" kataku dengan nada dingin.Segera aku melangkah masuk ke dalam untuk mengambil uang receh yang kusimpan di tempat yang berbeda. Setelah kuambil dua ikat yang artinya jumlah uang receh itu 200k
Tidak butuh waktu lama, kendaraanku akhirnya sampai di depan warung ayam bakar. Kulihat Topan sangat sibut dan sedikit kuwalahan melayani para pembeli. Zahra segera duduk di teras rumah untuk melapas lelah, kulihat dia tersenyum lalu menepuk sisi kosong agar aku segera duduk bersamanya.Seperti biasa, gadisku itu selalu meminta ditemani saat dia melepas sepatu. Dan yang pasti dia akan bercerita seharian selama di sekolah. Aku selalu jadi pendengar di setiap ceritanya."Ada apa, Zahra?" tanyaku."Umi tadi bilang jika ada kejutan buat Zahra, ayo, ayo cerita!" pinta Zahra dengan binar bahagia."Eemm, Zahra mau tidak naik pesawat?" tanyaku."Mau, mau, Umi!" jawab Zahra bersemangat.Aku tersenyum simpul, ingin hati memberitahunya saat malam menjelang tidur. Namun, saat melihat binar bahagia di sorot mata cokelat membuatku tidak tega. Akhirnya aku oun perlahan memberitahunya kabar gembira itu."Besak Zahra, abah dan umi naik pesawat ke Sulawesi," kataku."Sulawesi? Ngapain, Umi?" tanya Zahr
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,