"Aku tidak mau mengeluarkan semua tabunganku untuk acara pernikahan Adam, Bi!" lirihku sambil berjalan menyentak meninggalkan priaku.Aku terus berjalan kembali ke warung dengan tidak memedulikan teriakan Yahya--suamiku. Dengan aura yang sedikit gelap aku pun membungkus sambal dengan menggila. Topan yang melihatku tidak berani mengajak aku berbincang. Pemuda itu kulirik masih sesekali menatapku penuh tanya.Namun, aku masih tidak memedulikan semua yang dikerjakan oleh dua karyawanku. Aku sudah percaya dengan kinerja mereka meskipun aku tidak menyuruh mereka sembarangan. Mereka sudah paham akan tugasnya masing-masing. "Bu, uang recehnya sudah tipis. Ini hanya masih ada beberapa buat kebalian para pembeli yang lainnya." Topan menjelaskan mengenai stok uang receh."Bentar aku ambilkan dari dalam!" kataku dengan nada dingin.Segera aku melangkah masuk ke dalam untuk mengambil uang receh yang kusimpan di tempat yang berbeda. Setelah kuambil dua ikat yang artinya jumlah uang receh itu 200k
Tidak butuh waktu lama, kendaraanku akhirnya sampai di depan warung ayam bakar. Kulihat Topan sangat sibut dan sedikit kuwalahan melayani para pembeli. Zahra segera duduk di teras rumah untuk melapas lelah, kulihat dia tersenyum lalu menepuk sisi kosong agar aku segera duduk bersamanya.Seperti biasa, gadisku itu selalu meminta ditemani saat dia melepas sepatu. Dan yang pasti dia akan bercerita seharian selama di sekolah. Aku selalu jadi pendengar di setiap ceritanya."Ada apa, Zahra?" tanyaku."Umi tadi bilang jika ada kejutan buat Zahra, ayo, ayo cerita!" pinta Zahra dengan binar bahagia."Eemm, Zahra mau tidak naik pesawat?" tanyaku."Mau, mau, Umi!" jawab Zahra bersemangat.Aku tersenyum simpul, ingin hati memberitahunya saat malam menjelang tidur. Namun, saat melihat binar bahagia di sorot mata cokelat membuatku tidak tega. Akhirnya aku oun perlahan memberitahunya kabar gembira itu."Besak Zahra, abah dan umi naik pesawat ke Sulawesi," kataku."Sulawesi? Ngapain, Umi?" tanya Zahr
Setelah sedikit berdebat dan meminta kesabaran dari Topan, akhirnya pemuda itu mau aku titipi warung ayam bakarku. Sungguh susah mendapatkan hati seorang Topan bila hatinya terluka akan perkataan kasar suamiku. Pemuda itu berkata mau datang esok hari. Semoga saja!Sudah berulang kali aku katakan pada suamiku bahwa kenyamanan pekerja itu juga penting untuk membangun mood kerja mereka, apalagi kita masih membutuhkan pekerja yang loyal seperti Topan. Namun, dasar si Yahya saja yang susah di atur dan lemot dalam berpikir. Huft, aku sungguh ekstra sabar dalam menghadapi semua sikap dan polah suamiku itu. Semua sudah menjadi pilihanku, maka aku pun harus bisa menguasai hati dan pikiran agar tidak terbawa emosi. Pagi ini semua sudah aku siapkan termasuk beberapa nasi kotak untuk dibagikan pada para tetangga atas kabar baik ini.Aku bangun lebih awal pagi itu, pesawatku terbang sore hari jadi masih ada waktu untuk aku buatkan nasi kotak sebanyak 50. Semua itu untuk para tetangga. Kabar perni
"Akhirnya kalian datang juga!" kataku penuh dengan kelegaan akan datangnya dua karyawanku itu."Hehe, iya Bu. Rasanya tidak mungkin jika aku tidak datang tanpa alasan," jawab Samuel."Apalagi aku, Sam. O iya Bu, jam berapa berangkatnya kok belum siap?" tanya Topan sambil memandang tumpukan kotak, "dan ini kapan dibagikan?" lanjut Topan."Satu jam lagi mobil jemputan online datang, Pan. Lalu nasi kotak ini tolong kamu bagikan dulu sebelu aku berangkat."Kedua pemuda itu mengangguk dan mulai memasukkan beberapa kotak nasi ke tas kresek berukuran besar sehingga muat untuk sepuluh kotak nasi. Kulihat mereka berbagi tugas dalam membagi kotak tersebut."Kami berangkat membagi kotak ini dulu ya, Bu!" pamit Topan."Iya, silahkan!" Setelah keduanya berangkat, Yahya datang menghampiriku. Dia meminta agar aku segera bersiap tetapi sebelumnya aku disuruh untuk menyiapkan menu sarapan. Tanpa banyak bicara aku pun segera menyiapkan sepiring nasi beserta lauknya. Setelah semua siap sedia maka ku an
Aku segera keluar di taksi saat kendaraan sudah berhenti. Sopir itu pun segera mengeluarkan semua barang bawan kami dari bagasi. Setelah semua keluar, barulah kulihat Yahya mengeluarkan uang kertas dua lembar berwarna merah. Setelahnya kami mengucapkan terima kasih."Saya pamit undur diri dulu, Pak Yahya. Dan terima kasih orderannya, jika saat pulang nanti boleh hubungi saya lagi. Saya siap!" jawab Anwar--pemilik mobil itu."Baik, Pak. Terima kasih," jawab Yahya.Lalu kami berjalan beriringan memasuki lobi bandara domestik. Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah Yahya dari belakang. Pria itu berjalan tanpa memedulikan kami--anak istrinya hingga Zahra harus berteriak melepaskan kesal di dadanya."Abah!" Yahya yang mendengar teriakan putrinya segera mneghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pada kami. Aku menatap sendu dan penuh harap pada manik cokelat milik Yahya. Ada rasa terabaikan yang menguar dari sorot mata Zahra, rasa kecewa yang kian menghujam relung hati gadisku membuatku
Pesawat yang aku dan keluarga naiki harus transit lebih dulu di Makasar. Bukan karena cuaca memang jadwal pembelian tiket harus transit selama dua jam. Waktu yang lumayan lama bagiku, tetapi perlakuan hangat suamiku mampu mengusir kebosananku."Kok melamun di sini, Umi? Zahra ke mana?" tanya Yahya."Lagi ingin melihat orang berseliweran ke sana ke mari, Bi. Rasanya sudah lama aku tidak keluar rumah berjalan-jalan sekedarnya," jawabku."Maafkan abi ini ya, Umi. Selama ini mungkin sering membuatmu terluka, tetapi abi mempunyai keinginan tambah generasi yang saleh dan shalehah. Satu lagi terkadang harus abi tinggal untuk berdakwah," ungkap Yahya lalu meraih jemariku dan menggenggamnya lembut.Aku menatap penuh tanya pada manik matanya, ingin kulihat apakah ada kebohongan di binar mata itu. Namun, hingga kukerjabkan kedua mataku kebohongan itu yidak sedikitpun tampak. Aku mendengus lirih, bukan kecewa tetapi juga bukan merasa lega. Entah rasa apa yang menyeruak menusuk hingga ke jantung.
Aku seketika langsung bingung harus bagaimana, hanya duduk diam sambil melihat sekitar mencari sosok suami dan anakku. Kemudian kulihat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke arahku, senyum Zahra kulihat masih mengembang sambil menenteng paper bag bertuliskan brand makanan.Rasanya, hatiku terenyuh melihat senyum yang tercetak di bibir putriku. Sungguh gadis kecil itu terlihat bagitu bahagia, aku tidak sanggup untuk membuat senyumnya hilang. Senyum yang hampir tidak pernah muncul."Umi, ini abah belikan nasi padang. Umi pasti lapar, ayo kita makan!" ajak Zahra."Umi udah makan roti dan minum air mineral tadi ada petugas yang membagikan ini," kataku."Siapa?" tanya Yahya.Aku memandang wajah suamiku yang penuh tanya. Langsung saja kuceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi selama mereka berdua pergi. Yahya seketika terdiam. Lelaki itu, kulihat mengaktifkan ponselnya dan serius menatap layar. Jarinya sibuk menscrol aplikasi hijau, kemudian mengkliknya untuk melakukan panggilan. Zah
"Zahra ngantuk, Umi!" kata putriku."Iya sudah tidur lah, nanti jika kita berangkat akan umi bangunkan!" kataku.Zahra pun mulai membaringkan tubuh kecilnya. Sungguh waktu yang masih panjang untuk bisa sampai ke 12 jam ke depan. Ku tepuk paha samping Zahra agar dia segera terlelap dalam tidurnya. Tidak butuh waktu lama, mata Zahra terlihat terpejam sempurna."Selamat tidur sayang!" lirihku"Umi tidak ikut tidurkah?" tanya Yahya"Belum, ngantuk akunya, Bi. O iya besok kita akan terbang jam berapaa lho?" tanyaku."Sekitar jam lima waktu sini, Umi. Tidur saja yuukk, sini biar abi peluk sambil tiduran!" ajak Yahya.Aku tersipu malu, mungkin semu merah akan terlihat oleh suamiku. Hanya dengan menundukkan wajah lah semua malu itu sedikit tertutup. Namun, sebuah tangan telah membuka kait cadarku. Maka terpampanglah wajah asliku."Umi, masih cantik seperti dulu. Semua ini milik abi. Jadi sampai kapanpun aka teyap sama meskipun ranjangku akan ada wanita lain sebagai penghangat malamku," kata
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,