Setelah sedikit berdebat dan meminta kesabaran dari Topan, akhirnya pemuda itu mau aku titipi warung ayam bakarku. Sungguh susah mendapatkan hati seorang Topan bila hatinya terluka akan perkataan kasar suamiku. Pemuda itu berkata mau datang esok hari. Semoga saja!Sudah berulang kali aku katakan pada suamiku bahwa kenyamanan pekerja itu juga penting untuk membangun mood kerja mereka, apalagi kita masih membutuhkan pekerja yang loyal seperti Topan. Namun, dasar si Yahya saja yang susah di atur dan lemot dalam berpikir. Huft, aku sungguh ekstra sabar dalam menghadapi semua sikap dan polah suamiku itu. Semua sudah menjadi pilihanku, maka aku pun harus bisa menguasai hati dan pikiran agar tidak terbawa emosi. Pagi ini semua sudah aku siapkan termasuk beberapa nasi kotak untuk dibagikan pada para tetangga atas kabar baik ini.Aku bangun lebih awal pagi itu, pesawatku terbang sore hari jadi masih ada waktu untuk aku buatkan nasi kotak sebanyak 50. Semua itu untuk para tetangga. Kabar perni
"Akhirnya kalian datang juga!" kataku penuh dengan kelegaan akan datangnya dua karyawanku itu."Hehe, iya Bu. Rasanya tidak mungkin jika aku tidak datang tanpa alasan," jawab Samuel."Apalagi aku, Sam. O iya Bu, jam berapa berangkatnya kok belum siap?" tanya Topan sambil memandang tumpukan kotak, "dan ini kapan dibagikan?" lanjut Topan."Satu jam lagi mobil jemputan online datang, Pan. Lalu nasi kotak ini tolong kamu bagikan dulu sebelu aku berangkat."Kedua pemuda itu mengangguk dan mulai memasukkan beberapa kotak nasi ke tas kresek berukuran besar sehingga muat untuk sepuluh kotak nasi. Kulihat mereka berbagi tugas dalam membagi kotak tersebut."Kami berangkat membagi kotak ini dulu ya, Bu!" pamit Topan."Iya, silahkan!" Setelah keduanya berangkat, Yahya datang menghampiriku. Dia meminta agar aku segera bersiap tetapi sebelumnya aku disuruh untuk menyiapkan menu sarapan. Tanpa banyak bicara aku pun segera menyiapkan sepiring nasi beserta lauknya. Setelah semua siap sedia maka ku an
Aku segera keluar di taksi saat kendaraan sudah berhenti. Sopir itu pun segera mengeluarkan semua barang bawan kami dari bagasi. Setelah semua keluar, barulah kulihat Yahya mengeluarkan uang kertas dua lembar berwarna merah. Setelahnya kami mengucapkan terima kasih."Saya pamit undur diri dulu, Pak Yahya. Dan terima kasih orderannya, jika saat pulang nanti boleh hubungi saya lagi. Saya siap!" jawab Anwar--pemilik mobil itu."Baik, Pak. Terima kasih," jawab Yahya.Lalu kami berjalan beriringan memasuki lobi bandara domestik. Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah Yahya dari belakang. Pria itu berjalan tanpa memedulikan kami--anak istrinya hingga Zahra harus berteriak melepaskan kesal di dadanya."Abah!" Yahya yang mendengar teriakan putrinya segera mneghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pada kami. Aku menatap sendu dan penuh harap pada manik cokelat milik Yahya. Ada rasa terabaikan yang menguar dari sorot mata Zahra, rasa kecewa yang kian menghujam relung hati gadisku membuatku
Pesawat yang aku dan keluarga naiki harus transit lebih dulu di Makasar. Bukan karena cuaca memang jadwal pembelian tiket harus transit selama dua jam. Waktu yang lumayan lama bagiku, tetapi perlakuan hangat suamiku mampu mengusir kebosananku."Kok melamun di sini, Umi? Zahra ke mana?" tanya Yahya."Lagi ingin melihat orang berseliweran ke sana ke mari, Bi. Rasanya sudah lama aku tidak keluar rumah berjalan-jalan sekedarnya," jawabku."Maafkan abi ini ya, Umi. Selama ini mungkin sering membuatmu terluka, tetapi abi mempunyai keinginan tambah generasi yang saleh dan shalehah. Satu lagi terkadang harus abi tinggal untuk berdakwah," ungkap Yahya lalu meraih jemariku dan menggenggamnya lembut.Aku menatap penuh tanya pada manik matanya, ingin kulihat apakah ada kebohongan di binar mata itu. Namun, hingga kukerjabkan kedua mataku kebohongan itu yidak sedikitpun tampak. Aku mendengus lirih, bukan kecewa tetapi juga bukan merasa lega. Entah rasa apa yang menyeruak menusuk hingga ke jantung.
Aku seketika langsung bingung harus bagaimana, hanya duduk diam sambil melihat sekitar mencari sosok suami dan anakku. Kemudian kulihat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke arahku, senyum Zahra kulihat masih mengembang sambil menenteng paper bag bertuliskan brand makanan.Rasanya, hatiku terenyuh melihat senyum yang tercetak di bibir putriku. Sungguh gadis kecil itu terlihat bagitu bahagia, aku tidak sanggup untuk membuat senyumnya hilang. Senyum yang hampir tidak pernah muncul."Umi, ini abah belikan nasi padang. Umi pasti lapar, ayo kita makan!" ajak Zahra."Umi udah makan roti dan minum air mineral tadi ada petugas yang membagikan ini," kataku."Siapa?" tanya Yahya.Aku memandang wajah suamiku yang penuh tanya. Langsung saja kuceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi selama mereka berdua pergi. Yahya seketika terdiam. Lelaki itu, kulihat mengaktifkan ponselnya dan serius menatap layar. Jarinya sibuk menscrol aplikasi hijau, kemudian mengkliknya untuk melakukan panggilan. Zah
"Zahra ngantuk, Umi!" kata putriku."Iya sudah tidur lah, nanti jika kita berangkat akan umi bangunkan!" kataku.Zahra pun mulai membaringkan tubuh kecilnya. Sungguh waktu yang masih panjang untuk bisa sampai ke 12 jam ke depan. Ku tepuk paha samping Zahra agar dia segera terlelap dalam tidurnya. Tidak butuh waktu lama, mata Zahra terlihat terpejam sempurna."Selamat tidur sayang!" lirihku"Umi tidak ikut tidurkah?" tanya Yahya"Belum, ngantuk akunya, Bi. O iya besok kita akan terbang jam berapaa lho?" tanyaku."Sekitar jam lima waktu sini, Umi. Tidur saja yuukk, sini biar abi peluk sambil tiduran!" ajak Yahya.Aku tersipu malu, mungkin semu merah akan terlihat oleh suamiku. Hanya dengan menundukkan wajah lah semua malu itu sedikit tertutup. Namun, sebuah tangan telah membuka kait cadarku. Maka terpampanglah wajah asliku."Umi, masih cantik seperti dulu. Semua ini milik abi. Jadi sampai kapanpun aka teyap sama meskipun ranjangku akan ada wanita lain sebagai penghangat malamku," kata
Setelah melaksanakan ibadah subuh berjamaah, segera aku membereskan semua barang dan memasukkan lagi dalam koper. Zahra ikut membantuku untuk membereskan peralatan mandi dan ibadahnya sendiri. Kemudian kami pun melakukan cek out dari hotel tersebut.Jarak hotel dan bandara cukup dekat, hal ini memudahkan penumpang yang delay segera sampai dan naik ke pesawatnya. Begitu juga keluargaku. Kali ini kulihat wajah suamiku lebih berseri, sesekali senyumnya terlukis pada bibir tipis yang memerah."Tampan!" lirihku."Umi bilang apa?" tanya Yahya lembut sambil meraih jemariku."Ah, tidak. Hanya sekedar memuji," jawabku jengah."Memuji siapa?" tanya Yahya.Aku menggelengkan kepala dan menunduk diam. Zahra yang berjalan di samping kiriku segera mengaitkan jemarinya pada kelima jariku. Kulihat gadis kecil itu mendongak tersenyum manis."Jika setiap hari seperti ini, mungkin Zahra akan bahagia, Umi, Abah," kata Zahra."Apa maksud kamu setiap hari naik pesawat, Gitu?" tanya Yahya dengan nada rendah.
Setelah menempuh perjalanan udara selama satu jam, akhirnya pesawat yang aku naiki pun mendarat. Pendaratan sangat mulus hingga Zahra tidak merasa jet lag. Putriku itu begitu mesin pesawat berhenti dia seketika menjerit lirih penuh kelegaan."Masih takut ya, Dik?" tanya seorang ibu yang melewati bangku kami."Iya, Bu. Maklum ini pertama kali dia naik pesawat," jawabku sopan."Was, bersyukur sekali lho Adik ini. Seusia Adik sudah bisa naik pesawat," kata Ibu itu lagi."Terima kasih, Bu!" jawab Zahra sambil menundukkan kepalanya.Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang mengenakan gamis model arabian. Lalu wanita itu pun pamit untuk keluar lebih dulu. Aku dan Yahya hanya mempersilahkan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Setelah jalan keluar sedikit sepi, suamiku pun mengajak aku dan Zahra segera keluar dari deret bangku menuju jalan keluar pesawat."Selamat tinggal pesawat, jumpa lagi minggu depan!" ujar Zahra yang mampu membuatku terkekeh lirih."Kau itu, ada-ada saja, Ra, Zahra