Malam semakin larut membawaku ke alam mimpi. Malam yang penuh dengan kesunyian hati membangunkan aku pada sepertiga malam yang terakhir. Segera kuambil wudlu dan melaksanakan ibadah salat malam. Kali ini dengan hati yang begitu rapuh kutengadahkan kepala dan tanganku hanya memohon pada Robbku."Ya Allah, ya Rahman, hanya Engkaulah penguasa alam dan seisinya. Aku berserah hanya padamu, mengadu juga padamu, jika ini takdirku maka iklaskanlah hati ini, sabarkanlah lidahku dalam berlisan. Hanya padaMu aku berserah diri." Lantunan doa yang menguras air mata aku panjatkan pada Robbku.Pada njunjunganku nabi besar Muhammad SAW. Padanya aku bersholawat untuk mendapatkan syafaat yang baik. Malam ini aku diam memutar ulang kisah hidupku. Timbul sebuah tanya apakah ini karma dari perbuatanku masa silam.Seperti kata pepatah jawa lama bahwa apa yang kamu tanam maka akan kamu panen suatu saat nanti. Mungkinkah saat lalu aku pernah melakukan hal keji hingga mendapat cobaan seperti ini? Kucoba ingat
Sinar mentari mulai menyengat kulit padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini Topan Ijin tidak masuk kerja karena badanya terasa sakit. Aku yang sedari pagi sudah wara-wiri untuk melakukan proses perebusan merasa lelah. Untuk sesaat kuistirahatkan badanku dengan duduk di badukan, bangku yang terbuat dari semen menempel pada dinding."Zahra sekolah hari ini diantar siapa, Umi? Kak Topan tidak masukkah?" tanya Zahra sambil berjalan menuji ke warung, lalu dia duduk di sampingku sambil memakai sepatu."Sebentar ya, Sayang. Umi mau tanya abah kamu dulu," jawabku."Iih, abah mah apa mau antar aku sekolah!" decih Zahra.Aku tersenyum mendengar keluhan putriku. Namun, selang beberapa menit suamiku terlihat keluar dengan pakaian layak dan menstater montor buntutku. Dengan senyum dia pun mulai melajukan perlahan lalu berhenti di depan Zahra."Yuukk, biar abah yang antar!" ucap Yahya.Zahra pun menatapku seakan dia meminta ijin atas kepergiannya ke sekolah. Suamiku melihat Zahra s
"Umi, kok teriak seperti itu. Ada apa?" tanya Yahya dengan nada sedikit terkejut.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu dengan pelan aku ungkap semua, suamiku ikut senang. Maka segera dia meraih gawai untuk memesan ayam gembungan. Aku mengernyitkan dahi."Jika pesan gembungan nanti siapa yang akan bedah, Abi?" tanyaku dengan nada ragu."Biar aku saja yang bedah itu ayam, Umi. Nanti aku kerjakan dua kali," jawab Yahya.Aku mendengus lirih dalam hati jika dia yang ngerjain pembedahan ayam nanti pasti malamnya akan mengeluh kecapaian. Hedeh! Sudah bisa aku bayangkan betapa lelahnya jiwa ragaku nanti pada hari itu. Aku berharap semoga si Topan masuk pada hari itu.Aku pun hanya menggelengkan kepala menolak dalam hati tidak ingin terucap agar tidak menyinggung hati suamiku. Setelah mendapat jawaban dari pemasok ayam, Yahya kembali masuk ke dalam rumah. Kulihat dia memegang gawainya untuk main game."Huft huu, sampai kapan hal seperti ini aku lalui. Kuatkan hatiku ya Robb!" lirihku sambil meneguk
Hari terus berjalan dan usaha ayam bakar kami mulai merangkak dan dikenal oleh sebagian warga sekitar bahkan sampai ke luar kecamatan. Aku sangat bahagia atas pencapaian ini. Sungguh sebuah kenikmatan yang tidak terhingga. Masih sama dengan hari biasanya, setiap sore setelah aku melakukan penghitungan untuk laba hasilnya selalu diminya oleh suamiku. Aku tidak diberi uang hasil penjualan sedikitpun. Uang yang aku pegang masih sama asalnya yaitu dari penjualan kaki dan uritan ayam. Masih untung bagiku bagian ayam yang itu tidak dia minta sekalian. Dengan begitu aku bisa memegang uang. Andaikata semua penjualan ayam dia ambil maka aku pasti gigit jari. Beberapa hari ini orderam ayam bakar terbilang sangat ramai, dalam satu minggu ini laba yang terkumpul cukup banyak. Suatu malam, Yahay datang mendekat padaku, lali duduk tepat di sampingku."Umi, kita beli sepeda montor, Yuuk!" ajaknya "Lalu yang ada itu bagaimana?" tanyaku."Biarkan saja, itu sudah rongsok. Abi ingin beli motor baru,"
Sore hari pun tiba, hati ini kembali berdebar. Tanganku sedikit bergetar saat menghitung jumlah uang dari hasil jualanku. Tepat jam 16.30 Topan pamit pulang karena jam kerjanya telah usai. Dan aku pun mulai menghitung keseluruhan uang yang masuk.Hari ini ayam terjual cukup banyak, 50 ekor. Jumlah yang tidak sedikit. Harusnya uang yang masuk sebanyak 5juta. Harga ayam mentah naik sehingga harga jualku pun juga aku naikkan. Hal ini sudah biasa menjelang hari raya islam. Setelah kuhitung beberapa kali akhirnya tetap sama, uang yang masuk ada 4,5 juta dengan menyisakan ayam sejumlah lima ayam. Aku kembali berpikir dan mengulang semua peristiwa, keperluan belanja harian untuk warung pasti di angka dua ratus ribu. Untuk biaya makan seratus ribu dan untuk rokok dia? Secara keseluruhan jumlah yang keluar ada 350k. Sisanya ini kemana? Rasanya kepalaku mau pecah. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa aku pun masuk ke dalam untuk menyerahkan uang tersebut pada Yahya."Ini semua hasil penjua
Aku pun mulai beraktifitas pagi hari di warung ayam bakar. Semua harus siap sebelum Topan datang. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, waktunya Zahra bersiap berangkat ke sekolah. Beberapa hari yang lalu sebelum rencana Yahya mencuat, dialah yang mengantar jemput Zahra. Kini setelah uang dan rencana itu pasti, si Yahya kembali ke rutinitasnya.Aku hanya mendesah lirih, seperti itukah? Disaat dia inginkan sesuatu geraknya ceoat dan cekatan ikut turun membantu kelancaran usaha ayam bakar. Namun, kala keinginannya sudah terpenuhi maka tenaganya kembali untuk keasyikan dia bermain game."Iya, sudahlah! Zahra, ayo berangkat sekolah. Umi tunggu di depan, Ya!" kataku memanggil Zahra.Kutunggu putriku berbenah dan mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Zahra sudah aku didik menjadi anak yang mandiri dan tidak manja. Dan semua itu berhasil. Gadis itu tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri."Zahra sudah siap, Umi!" teriak Zahra, "Abah, aku pamit berangkat sekolah dulu," lanjut
Laju kendaraan buntutku akhirnya sampai juga di sebuah dealer sepeda montor yang diinginkan oleh suamiku. Merknya masih diurutan kedua dari pasaran peminat sepeda montor di desaku. Sebenarnya mesinnya lumayan bandel dan harga terjangkau, tetapi jika dijual lagi harga akan turun. Itu sih apa yang aku dengar dari para pembeli di warungku."Abah, nanti Zahra yang pilih warnanya boleh?" tanya Zahra.Kulihat suamiku tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh putrinya. Pandangannya memindai deretan kendaraan roda dua yang masih bercahaya. Aku tersenyum masam kala kulihat wajah putriku yang sendu. Sungguh rasa sesak menghampiri dadaku lagi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pelayan dealer."Saya butuh kendaraan keluaran terbaru dengan harga terjangkau tetapi lajunya lumayan, Mbak!" kata Yahya."Mari ikut saya, Pak!" ajak karyawan itu.Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah karyawan itu. Sedangkan Yahya sudah lebih dulu berdiri pada sebuah kendaraan yang berwarna ungu muda. Telapak tangan
Aku pun segera memarkirkan kendaraanku, laku segera kuhampiri Topan untuk memastikan sebab apa dia kok belum pulang. Topan pun segera menyambutku dengan senyumnya dan dia menyodorkan laporan sore itu sangat detail. Bahkan uang jajan yang biasanya aku belikan untuknya dia tulis."Semua sudah aku bersihkan, Bu Arini. Bahkan ayamnya sudah aku panasi, sengaja aku pulang terlambat karena menunggu Ibu dan Bapak pulang sesuai pesan Pak Yahya," jawab Topan.Aku termangu mendengar apa yang dikatakan oleh Topan. Suamiku berpesan seperti itu? Apa maksudnya? Bukankah sudah waktunya dia pulang, mengapa harus ditahan hingga salah satu dari kami pulang.Akhirnya aku ijinkan Topan untuk pulang, kemudian aku pun menunggu warung hingga suami dan putriku pulang. Namun, hingga adan mahgrib tidak kulihat mereka pulang. Aku menjadi khawatir. Lama aku menunggu mereka pulang hingga waktu menjelang isya barulah kudengar deru montor memasuki halaman.Aku yang masih berada di warung segera keluar, kulihat wajah