Share

40. Ojek Online

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-07-26 19:20:57

Zahra masuk kamar lagi, tetapi dia kulihat masih melamun. Kuhampiri dia dan duduk di sebelahnya. Kuusap pelan lengannya sambil mencium ujung kepala.

"Jangan banyak melamun, Nak. Ingat sebaik-baiknya orang akan lebih baik kamu berserah diri pada sang khalik. Padanya lah kita harus bergantung," kataku dengan nada rendah.

"Zahra ingin jumpa abah, Umi. Apakah beliau malam ini pulang?" tanya Zahra sambil mendekap lenganku manja.

"Bukankah abah kamu pagi tadi menikah lagi, Nak. Mungkin malam ini dia akan tidur di rumah istrinya yang baru itu," jawabku.

Zahra pun akhirnya merebahkan tubuhnya, aku mengusap pelan punggungnya. Lalu aku teringat akan permintaan suamiku mengenai ojek online. Belum aku beranjak dari dudukku, sudah kudengar sebuah notif adanya chat masuk. Gegas kubuka layar gawaiku dan benar memang ada chat masuk dari Yahya, suamiku.

[Sampai kapan aku harus menunggu pakaianku di sini, Arini? Apa kau ingin membuatku menjamur?]

Aku termangu membaca isi chat dari Yahya. Sungguh tidak
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   41. Kembali Pulang

    Malam semakin larut membawaku ke alam mimpi. Malam yang penuh dengan kesunyian hati membangunkan aku pada sepertiga malam yang terakhir. Segera kuambil wudlu dan melaksanakan ibadah salat malam. Kali ini dengan hati yang begitu rapuh kutengadahkan kepala dan tanganku hanya memohon pada Robbku."Ya Allah, ya Rahman, hanya Engkaulah penguasa alam dan seisinya. Aku berserah hanya padamu, mengadu juga padamu, jika ini takdirku maka iklaskanlah hati ini, sabarkanlah lidahku dalam berlisan. Hanya padaMu aku berserah diri." Lantunan doa yang menguras air mata aku panjatkan pada Robbku.Pada njunjunganku nabi besar Muhammad SAW. Padanya aku bersholawat untuk mendapatkan syafaat yang baik. Malam ini aku diam memutar ulang kisah hidupku. Timbul sebuah tanya apakah ini karma dari perbuatanku masa silam.Seperti kata pepatah jawa lama bahwa apa yang kamu tanam maka akan kamu panen suatu saat nanti. Mungkinkah saat lalu aku pernah melakukan hal keji hingga mendapat cobaan seperti ini? Kucoba ingat

    Last Updated : 2023-07-26
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   42. Ikut Bantu.

    Sinar mentari mulai menyengat kulit padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini Topan Ijin tidak masuk kerja karena badanya terasa sakit. Aku yang sedari pagi sudah wara-wiri untuk melakukan proses perebusan merasa lelah. Untuk sesaat kuistirahatkan badanku dengan duduk di badukan, bangku yang terbuat dari semen menempel pada dinding."Zahra sekolah hari ini diantar siapa, Umi? Kak Topan tidak masukkah?" tanya Zahra sambil berjalan menuji ke warung, lalu dia duduk di sampingku sambil memakai sepatu."Sebentar ya, Sayang. Umi mau tanya abah kamu dulu," jawabku."Iih, abah mah apa mau antar aku sekolah!" decih Zahra.Aku tersenyum mendengar keluhan putriku. Namun, selang beberapa menit suamiku terlihat keluar dengan pakaian layak dan menstater montor buntutku. Dengan senyum dia pun mulai melajukan perlahan lalu berhenti di depan Zahra."Yuukk, biar abah yang antar!" ucap Yahya.Zahra pun menatapku seakan dia meminta ijin atas kepergiannya ke sekolah. Suamiku melihat Zahra s

    Last Updated : 2023-07-28
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   43. Mulai Aktif

    "Umi, kok teriak seperti itu. Ada apa?" tanya Yahya dengan nada sedikit terkejut.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu dengan pelan aku ungkap semua, suamiku ikut senang. Maka segera dia meraih gawai untuk memesan ayam gembungan. Aku mengernyitkan dahi."Jika pesan gembungan nanti siapa yang akan bedah, Abi?" tanyaku dengan nada ragu."Biar aku saja yang bedah itu ayam, Umi. Nanti aku kerjakan dua kali," jawab Yahya.Aku mendengus lirih dalam hati jika dia yang ngerjain pembedahan ayam nanti pasti malamnya akan mengeluh kecapaian. Hedeh! Sudah bisa aku bayangkan betapa lelahnya jiwa ragaku nanti pada hari itu. Aku berharap semoga si Topan masuk pada hari itu.Aku pun hanya menggelengkan kepala menolak dalam hati tidak ingin terucap agar tidak menyinggung hati suamiku. Setelah mendapat jawaban dari pemasok ayam, Yahya kembali masuk ke dalam rumah. Kulihat dia memegang gawainya untuk main game."Huft huu, sampai kapan hal seperti ini aku lalui. Kuatkan hatiku ya Robb!" lirihku sambil meneguk

    Last Updated : 2023-07-28
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   44. Ternyata

    Hari terus berjalan dan usaha ayam bakar kami mulai merangkak dan dikenal oleh sebagian warga sekitar bahkan sampai ke luar kecamatan. Aku sangat bahagia atas pencapaian ini. Sungguh sebuah kenikmatan yang tidak terhingga. Masih sama dengan hari biasanya, setiap sore setelah aku melakukan penghitungan untuk laba hasilnya selalu diminya oleh suamiku. Aku tidak diberi uang hasil penjualan sedikitpun. Uang yang aku pegang masih sama asalnya yaitu dari penjualan kaki dan uritan ayam. Masih untung bagiku bagian ayam yang itu tidak dia minta sekalian. Dengan begitu aku bisa memegang uang. Andaikata semua penjualan ayam dia ambil maka aku pasti gigit jari. Beberapa hari ini orderam ayam bakar terbilang sangat ramai, dalam satu minggu ini laba yang terkumpul cukup banyak. Suatu malam, Yahay datang mendekat padaku, lali duduk tepat di sampingku."Umi, kita beli sepeda montor, Yuuk!" ajaknya "Lalu yang ada itu bagaimana?" tanyaku."Biarkan saja, itu sudah rongsok. Abi ingin beli motor baru,"

    Last Updated : 2023-07-29
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   45. 500 Ribu

    Sore hari pun tiba, hati ini kembali berdebar. Tanganku sedikit bergetar saat menghitung jumlah uang dari hasil jualanku. Tepat jam 16.30 Topan pamit pulang karena jam kerjanya telah usai. Dan aku pun mulai menghitung keseluruhan uang yang masuk.Hari ini ayam terjual cukup banyak, 50 ekor. Jumlah yang tidak sedikit. Harusnya uang yang masuk sebanyak 5juta. Harga ayam mentah naik sehingga harga jualku pun juga aku naikkan. Hal ini sudah biasa menjelang hari raya islam. Setelah kuhitung beberapa kali akhirnya tetap sama, uang yang masuk ada 4,5 juta dengan menyisakan ayam sejumlah lima ayam. Aku kembali berpikir dan mengulang semua peristiwa, keperluan belanja harian untuk warung pasti di angka dua ratus ribu. Untuk biaya makan seratus ribu dan untuk rokok dia? Secara keseluruhan jumlah yang keluar ada 350k. Sisanya ini kemana? Rasanya kepalaku mau pecah. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa aku pun masuk ke dalam untuk menyerahkan uang tersebut pada Yahya."Ini semua hasil penjua

    Last Updated : 2023-07-30
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   46. Dealer 1

    Aku pun mulai beraktifitas pagi hari di warung ayam bakar. Semua harus siap sebelum Topan datang. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, waktunya Zahra bersiap berangkat ke sekolah. Beberapa hari yang lalu sebelum rencana Yahya mencuat, dialah yang mengantar jemput Zahra. Kini setelah uang dan rencana itu pasti, si Yahya kembali ke rutinitasnya.Aku hanya mendesah lirih, seperti itukah? Disaat dia inginkan sesuatu geraknya ceoat dan cekatan ikut turun membantu kelancaran usaha ayam bakar. Namun, kala keinginannya sudah terpenuhi maka tenaganya kembali untuk keasyikan dia bermain game."Iya, sudahlah! Zahra, ayo berangkat sekolah. Umi tunggu di depan, Ya!" kataku memanggil Zahra.Kutunggu putriku berbenah dan mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Zahra sudah aku didik menjadi anak yang mandiri dan tidak manja. Dan semua itu berhasil. Gadis itu tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri."Zahra sudah siap, Umi!" teriak Zahra, "Abah, aku pamit berangkat sekolah dulu," lanjut

    Last Updated : 2023-07-31
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   47. Dealer 2

    Laju kendaraan buntutku akhirnya sampai juga di sebuah dealer sepeda montor yang diinginkan oleh suamiku. Merknya masih diurutan kedua dari pasaran peminat sepeda montor di desaku. Sebenarnya mesinnya lumayan bandel dan harga terjangkau, tetapi jika dijual lagi harga akan turun. Itu sih apa yang aku dengar dari para pembeli di warungku."Abah, nanti Zahra yang pilih warnanya boleh?" tanya Zahra.Kulihat suamiku tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh putrinya. Pandangannya memindai deretan kendaraan roda dua yang masih bercahaya. Aku tersenyum masam kala kulihat wajah putriku yang sendu. Sungguh rasa sesak menghampiri dadaku lagi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pelayan dealer."Saya butuh kendaraan keluaran terbaru dengan harga terjangkau tetapi lajunya lumayan, Mbak!" kata Yahya."Mari ikut saya, Pak!" ajak karyawan itu.Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah karyawan itu. Sedangkan Yahya sudah lebih dulu berdiri pada sebuah kendaraan yang berwarna ungu muda. Telapak tangan

    Last Updated : 2023-08-01
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   48. Kemana

    Aku pun segera memarkirkan kendaraanku, laku segera kuhampiri Topan untuk memastikan sebab apa dia kok belum pulang. Topan pun segera menyambutku dengan senyumnya dan dia menyodorkan laporan sore itu sangat detail. Bahkan uang jajan yang biasanya aku belikan untuknya dia tulis."Semua sudah aku bersihkan, Bu Arini. Bahkan ayamnya sudah aku panasi, sengaja aku pulang terlambat karena menunggu Ibu dan Bapak pulang sesuai pesan Pak Yahya," jawab Topan.Aku termangu mendengar apa yang dikatakan oleh Topan. Suamiku berpesan seperti itu? Apa maksudnya? Bukankah sudah waktunya dia pulang, mengapa harus ditahan hingga salah satu dari kami pulang.Akhirnya aku ijinkan Topan untuk pulang, kemudian aku pun menunggu warung hingga suami dan putriku pulang. Namun, hingga adan mahgrib tidak kulihat mereka pulang. Aku menjadi khawatir. Lama aku menunggu mereka pulang hingga waktu menjelang isya barulah kudengar deru montor memasuki halaman.Aku yang masih berada di warung segera keluar, kulihat wajah

    Last Updated : 2023-08-02

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   162. Anak Salma

    Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   161. Bulan Puasa Tiba

    Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   160. Menjemput Zahra

    "Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,

DMCA.com Protection Status