"Umi!" panggil Abdul lagi. Aku menghela napas panjang, kemudian aku berdiri dan membuka almari khusus untuk menyimpan hasil laba penjualan setiap hari ini. Dalam hati kuucapkan maaf pada suami dan Robbku. Sebenarnya almari ini hanya suamiku yang berhak membuka dan dia selalu berpesan jika aku tidak boleh membuka isi dari almari itu.Namun, keadaan ini begitu mendesak untuk keperluan sekolah Abdul. Apakah keputusan ini sudah benar, muncul lagi beberapa pertanyaan yang membuatku bimbang. Biasanya semua keuangan hanya dia yang mengatur bahkan untuk uang sekolah dari tangannya."Umi, ini sudah siang. Jika tidak ada titipan dari abi untuk bayar infak lebih baik tidak usah. Biar aku tunggu abi pulang saja!" pinta Abdul dengan suara agak lantang agar aku bisa mendengar.Aku pun keluar, tidak jadi mengambil uang tersebut. Meskipun aku memiliki tabungan sendiri, aku tidak mau memberikan uang itu. Bukan karena dia anak tiri, tetapi semua kebutuhan sekolah dan anak-anak sudah menjadi kewajibann
"Bu, Bu!" panggil Topan.Aku seketika terhenyak dari lamunan dan menatap Topan penuh tanya. Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku sehingga tidak sadar jika pembeli itu tidak memberi harga ayam tadi. "Bagaimana sih Ibu lupa jika pembeli itu belum membayar harga ayamnya?" tanya Topan padaku."Entah, Pan," jawabku. Aku lalu duduk kembali ke tempatku semula untuk membungkus lalapan, lalu kupotong kubis untuk lalapan dan mulai membungkus. Setelah membungkus lalapan akupun berganti membungkus sambal. Semua sudah siap dan aku segera beranjak dari dudukku, berdiri sejenak memindai semua sudut ruangan itu.Pandanganku melihat seakan mengabsen apa yang mungkin kurang atau belum benar cara peletakannya. Namun, semua terlihat rapi. Meskipun pegawaiku seorang pria muda, dia sangat cekatan dan suka kebersihan. Hal ini terbukti pada kondisi warungku."Mas, beli ayam bakar!" pesan seorang pembeli."Iya, Bu. Buat kapan?" tanya Topan ramah."Sekarang, Mas. Harganya berapa?" tanya pemb
Dua bulan sudah suamiku berdakwah di negeri lain, semalam dia mengirim pesan bahwa malam itu dia mulai melakukan perjalanan pulang. Hatiku berdebar membayangkan wajahnya yang kuning. Belum lagi senyumnya yang sudah memenjarakan hati dan jiwaku untuk terus berjuang bersamanya di jalan islam.Zahra sangat antusias kala aku beri tahu bahwa abahnya akan sampai hari ini. Tetapi berbeda dengan Abdul, dia hanya biasa saja menanggapi kabar kepulangan abahnya. Sungguh sangat berbeda watak keduanya."Umi, jam berapa abah nanti sampai rumah?" tanya Zahra disela makannya."Iih, jangan bicara Adik, lanjutkan makan kamu dalam diam!" ucap Abdul dengan nada sedikit tegas.Kulihat Zahra langsung menunduk, lalu tangan mungilnya mulai menyendok nasi dan memasukkan dalam mulut. Putri kecilku melirikku, bibirnya mengerucut. Aku tersenyum dan mengangguk agar dia menuruti apa yang dikatakan oleh kakaknya itu."Aku sudah selesai, Umi. Pamit undur diri, aku ada pertandingan bole dengan kawan di lapangan kelur
"Assalamualaikum, Umi!" sapa Yahya saat berbalik menghadap padaku.Aku menatap tidak percaya dengan penampilan suamiku, dia begitu terlihat lebih bercahaya. Sinar matanya mampu membuatku terdiam membisu. Begitu juga dengan Zahra. Putriku itu masih termangu akan wajah abahnya."Abah!" panggil Zahra ragu.Zahra menatap padaku penuh tanya, aku pun menganggukkan kepala tanda membenarkan apa yang ada di pikirannya. Kemudian gadis kecilku tersenyum dan mulai melangkah mendekati abahnya. Kedua lengan Yahya terentang menyambut kedatangan putri kami."Assalamualaikum, Zahra Cantik!" ucap Yahya lembut. "Abah, apa kabar?" tanya Zahra."Alhamdulillah, sehat," jawab Yahya.Zahra pun mengalungkan kedua tangannya pada leher abahnya, gadis kecilku terlihat begitu bahagia. Senyumnya masih terbit dibibir tipis mungil miliknya. Hal itu membuatku ikut tersenyum melihat sinar bahagia.Abdul pun tidak mau kalah dengan adik tirinya. Kulihat dia berjalan mendekat pada Yahya untuk mencium punggung tangan san
Setelah membersihkan diri, aku pun keluar dari kamar. Kulihat kedua anakku sedang asyik mewarna. Abdul begitu telaten membelajari Zahra cara menulis dan membaca. Bahkan terkadang Abdul sangat telaten dalam memberi contoh adiknya. Makanya jika aku pisah keduanya seakan aku tidak tega, tetapi itu akhirnya harus terjadi apalagi saat ini Abduk kelas empat. Dua tahun lagi aku harus memasukkan dua anak ke sekolah. Abdul dikirim abahnya ke pondok sedangkan Zahra harus masuk play group. Dalam hati, aku berkata harus lebih giat bekerja dan berdzikir. Lebih mendekatkan diri pada Robbku. "Umi, lihat gambaran Zahra!" pinta Zahra sambil menyodorkan kertas gambar padaku.Aku menerima kertas itu dan melihatnya dengan seksama. Sebuah gambar rumah bercat biru laut dengan ayunan kecil di teras rumah. Abdul menatapku lalu menganggukkan kepalanya. "Bagus ya, Umi?" tanya Abdul."Benar, bagus sekali!" kataku.Zahra terlihat begitu bahagia, dia memeluk kakiku erat dengan kepala mendongak ke atas menatapk
Hari terus berganti, waktu terus berjalan sesuai kehendakNya. Aku pun masih terus berkutat di dapur ayam bakar setiap hari. Dan kehidupan keluargaku semakin meningkat. Ridwan dan Abdul sudah masuk ke pondok, sedangkan Zahra sudah duduk di bangku SD kelas satu. Hampir selama tiga tahun kehidupan rumah tanggaku terada adem ayem. Hingga suatu hari, suamiku ingin berbincang serius denganku."Duduk sini sebentar, Umi!" pinta suamiku."Tapi ini sudah malam, Abi. Apakah tidak besok pagi saja, rasanya tubuhku sudah sangat lelah?!" jawabku."Ini juga penting untuk kelangsungan keturunanku dan masa depan kita," kekeh Yahya dengan tatapan penuh harap.Aku mendesah lirih, menguarkan rasa sesakku. Tidak sedikitpun pandangan priaku beralih padaku. Hanya benda pipih yang dia tatap. Bahkan terkadang senyumnya terukir di bibir tipis itu. Aku hanya menelan ludah, pikiranku melayang pada masa yang sama saat dia terlena akan sentuhan wanita lain. Mungkinkah masa itu akan menyapaku kembali? Sungguh suasa
Bagai disambar petir, hati dan jiwaku seketika nelangsa. Malam ini aku begitu terpuruk, suami sendiri meminta ijin untuk poligami. Sakit teramat sakit, bagai jatuh dari lantai 13. Hancur, remuk dan sesak. Berulang aku ambil napas panjang, hal ini aku lakukan untuk melonggarkan sesaknya dada. Lama, lama aku terdiam akan kalimat suamiku dengan kata poligami. Sempat terpikir olehku untuk menolak, tetapi kuulang lagi kalimat suamiku. Kata janda kembali terdengar. Dengan berat akupun menggelengkan kepala."Mengapa harus poligami, Abi? Tidakkah kamu berbagi hanya menyantuni anak yatim itu?" kataku."Rasanya tidak puas dan nikmat jika hanya menyantuni, Umi. Aku tidak bisa bebas memberi mereka segalanya termasuk ajaran agamaku," kata suamiku membela dirinya.Aku terdiam, bibirku bungkam tetapi otakku berpikir akan kalimat suamiku itu. Masih terbayang saat dia memeluk gadis itu, istri sirinya waktu lalu. Sakit yang dulu sempat kurasa kini hadir kembali, akankah rasa itu sama seperti waktu itu
Apa yang aku rasakan ternyata belum bisa hilang sepenuhnya. Yahya masih kekeh ingin berpoligami selayaknya tutunan Rosulullah, bahwa harta yang berlebih bisa kita gunakan untuk menyantuni anak yatim. Dan jalan yang dipilih suamiku adalah poligami. Saat ini poligami sedang santer dikalangan pada alim ulama yang bergelar Syeh. Tidak urung suamiku ikut terbawa arus berpoligami. Apalagi usaha ayam bakarku sudah terlihat lebih maju dan memadai. Tetapi dia lupa, siapa yang berjasa dibalik kesuksesan yang diperolehnya Sesuai syariat islam, dibalik kesuksesan seorang pria ada dua seorang ibu, istri dan anak-anak sholeh. Salah satu dari doa itulah yang membawa kebaikan. Dengan sombongnya dia bersuara di antara para sanak saudara dan handai taulan, bahwa semua usaha itu tidak bisa lepas dari usahanya yang setiap hari selalu bangun pagi dan berdzikir.Aku hanya diam kala mendengar para tetangga yang memuji kepiawaian dia dalam mengelola bisnis ayam bakar. Hanya beberapa yang paham akan kinerj