Share

2. Sebuah Ide

Penulis: Shaveera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-29 20:35:02

Saat aku tersadar, tubuh ini sudah berada di atas ranjang ruangan serba putih. Kuedarkan pandanganku. Dan kudapati sosok lelaki yang tidak lain adalah Yahya, suamiku. Kulihat dia tertidur di kursi dengan bersandarkan dinding. Dengan pelan kupanggil namanya.

"Abi!" lirihku.

Perlahan ada gerakan kecil pada anggota tubuh suamiku itu. Kemudian bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah nan tipis. Sesaat aku terlena, senyum yang hampir tidak tampak itu mampu menggetarkan seluruh nadiku. Perlahan kakinya mulai digerakkan mengikis jarak denganku.

Senyum itu belum pudar, masih terlukis di bibirnya. Aku menjadi sedikit malu, kemudian dia pun menarik kursi agar bisa duduk di dekatku. Dengan lirih aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan minum, tenggorokanku terasa kering. Setelah kuterima gelas berisi teh hangat, gegas kuteguk pelan dan segera kukembalikan gelas tersebut.

"Terima kasih!" ucapku.

"Iya, Umi haris sehat. Di sini sudah ada buah hati kita, dijaga ya, Umi!" pintanya lembut sambil mengusap perutku yang masih datar.

Aku termangu mendengar kalimatnya dan gerakan tangannya yang lembut mengusap perut datarku. Dia, lelakiku itu kembali tersenyum. Kemudian kudengar langkah kaki mendekat ke brangkarku. Kulihat sekilas ternyata suster datang dengan membawa hasil laporanku.

"Selamat siang, Ibu Arini!" sapanya.

"Siang, Sus," balasku.

"Ini suamianya Ibu Arini, 'Kan? Begini, Pak, janin yang ada di kandungan Ibu Arini tumbuh kembangnya tidak sehat. Dokter menyarankan agar segera dikuret untuk kesehatan ibu, istri Bapak. Bagaimana, Pak?" papar suster tersebut.

Bagai petir di malam hari saat aku terlelap dalam mimpi. Sebuah kenyataan yang menamparku, bagaimana bisa aku saja belum merasakan gerakannya sang dokter sudah memberi vonis tumbung kembang calon anakku tidak bagus. Tuhan, takdir apa lagi yang harus aku jalani. Aku hanya mampu diam menatap sendu wajah sang suster.

"Baik, Sus, kami akan musyawarah dulu mengenai hal ini," jelas suamiku.

"Baik, Pak. Segera kabari kami jika kalian setuju agar semua bisa disiapkan secepatnya," ucap Suster tersebut.

Aku masih diam dan menerawang. Baru saja kabar suka aku dapat dari suami, kini kabar itu seakan langsung menguap terbang bersama angin siang. Aku menatap sendu pada suamiku, tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi. Ujung jari yang kuning mengusap pipiku dengan lembut.

"Sudahlah, Umi. Kita iklaskan saja. Jika memang masih ada kepercayaan Allah untuk kita, maka semua akan dipermudah," kata Yahya menenangkan perasaanku.

"Yang kita pikirkan untuk saat ini adalah biayanya, Umi. Semua tidak murah dan gratis," lanjut suamiku.

Kembali aku terdiam, kualihkan pandanganku pada tempat lain. Nyeri di hati makin terasa perih. Baru saja kemarin aku jual gelas emasku untuk menebus anak tiriku yang ketiga, kini haruskah kujual lagi gelangku yang lain. Sungguh semua begitu sulit.

"Umi!" panggil Yahya dengan nada rendah

Aku bergeming, tangan Yahya meraih tapak tanganku. Kemudian diciumnya tanganku dengan lembut. Perlakuannya yang lembut inilah yang mampu membuatku luluh dan akhirnya aku pun menoleh padanya. Wajah itu terkadang membuatku jengah, tetapi terkadang juga membuatku kesal. Semua rasa membaur menjadi satu.

Mungkin jika aku bercermin, akan terlihat nyata kekesalan dan kekecewaanku pada pria yang ada di depanku ini. Namun, walau bagaimanapun dia adalah suamiku. Aku harus tunduk dan nurut dengan semua perintahnya.

"Umi, masih ada simpanan beberapa gelang emas, 'Kan? Pakai saja dulu. Nanti jka semua usaha abi menemui jalan sukses akan abi ganti," ucapnya dengan lembut sambil memandangku penuh harap, "dan lagi ini semua juga untuk Umi," lanjutnya.

Aku tidak mampu berkata, hanya anggukan kecil yang aku beri. Saat melihat anggukanku itu, suamiku tersebut seketika melebarkan bibirnya mengulas senyum manis. Terpaksa aku membalas senyumnya meski dalam hati ada kekecewaan. Bagaimana tidak baru saja bulan kemarin aku menjual gelas emas seberat 10 gram untuk menebus Abdurahman putra ketiga dari istri pertama Yahya.

Abdur kecil yang diasuh oleh kakak iparku yang beragama lain itu harus ditebus sebesar lima juta rupiah jika suamiku ingin mengasuhnya kembali. Dengan sedikit menguacapkan sesuatu akhirnya aku pun luluh dan terjual lah gelang itu. Sekarang saat aku mengalami keguguran, dia pun juga memintaku untuk menjual kembali gelangku yang lain.

Apa aku ini begitu lemah, Ya. Hingga apa yang dia katakan selalu saja aku ikuti tanpa sedikitpun menetang atau berkata kasar. Mungkin inilah jalan takdirku. Aku harus iklas menjalani semua agar mendapat ridho dari Robbku

"Terima kasih, Umi. Semoga semua usahaku memenuhi inginmu!" ucap Yahya lembut.

Aku tidak bisa berkata, akhirnya surat dari suster tersebut pun ditandatangani oleh suamiku. Dan dia, lelakiku pun beranjak dari duduknya berjalan keluar dari ruang rawatku saat ini. Aku hanya memandang punggungnya hingga hilang dari balik pintu.

"Maafkan umi ya, Dek. Semua bukan inginnya umi, semoga kamu lebih bahagia di atas sana bersama sang khalik," gumamku sambil mengusap pelan perutku yang masih datar.

Hari terus berlalu, dan kesehatanku sudah kembali pulih. Kini suamiku hanya diam di rumah. Setiap hari dia selalu pergi berdakwah bersama dengan kelompoknya, sedangkan aku mulai bosan tinggal sendiri di rumah. Sesekali datang ponakanku, anak dari kakak perempuanku. Mereka melihat keadaanku dan mengajakku berbincang sebentar.

"Bagaimana kabarnya, Bulek?" tanya Andi, ponakan lelakiku.

"Baik, Ndi. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik.

"Alhamdulillah, baik. Heemm, Bulek, boleh tidak jika emper rumah sebelah barat itu aku gunakan untuk jualan ayam bakar. Akan tetapi aku tidak punya modal, hanya tenaga," keluh Andi.

Aku diam, pikiranku menerawang mencoba mencari solusi akan ide ponakan. Kemudian senyumku mengembang kala aku ingat bahwa aku masih punya simpanan di bank daerah. Simpanan itu belum aku ungkap pada Yahya, suamiku. Mungkin tabungan itu cukup untuk modal usahaku dengan bantuan Andi.

"Aku masih ada modal sedikit kok, Ndi. Namun, itu usaha atas nama siapa?" tanyaku.

"Aku hanya sekedar kegiatan kok, Bulek. Semua akan kembali pada Bulek. Cukup beri aku upah setiap hari agar aku bisa membeli rokok," paparnya.

"Hanya itu, Ndi?" tanyaku sedikit bimbang.

Kulihat Andi mengangguk, sungguh ponakanku itu begitu perhatian pada kehidupanku. Meskipun dia sendiri belum cukup mapan, tetapi dia mampu membuatku sedikit bersemangat menjalani kehidupan. Perlahan aku tersenyum membayangkan usaha ayam bakar dan berdoa semoga semua lancar hingga menuju kesuksesan.

40 hari sudah waktu yang digunakan suamiku untuk berdakwah, dia kembali dengan beberapa pakaian kotor. Setelah mengucapkan salam, dia pun segera masuk ke dalam rumah untuk bebersih diri. Semua barang bawaannya yang kotor itu dibiarkan menumpuk di pojok tempat cucian baju, sedangkan lelakiku itu langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.

Aku hanya menghela napas panjang, dengan berbesar hati dan menyemangati diri kuambil semua pakaian kotor dan mulai mencuci. Dengan bersholawat kulalui hariku mencoba iklas. Ternyata begitu berat menjalani peran sebagai istri dari duda beranak tiga. Wajah dan kesopanan tidak bisa menjadi tolak ukur seorang pria. Semua sudah terlanjur, aku harus iklas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Sedih sama nasib Arini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   3. Usaha Mulai Berkembang

    Ide dari ponakanku itu akhirnya aku utarakan pada suamiku, lama lelaki itu termenung memikirkan untung dan ruginya. Dua hari aku baru mendapat persetujuan darinya. Akhirmya usaha ayam bakar pun mulai aku rintis bersama ponakanku tersebut. Setiap pagi Andi sudah datang untuk menyembelih ayam merah atau sering disebut ayam petelur.Sempat aku bertanya mengapa harus ayam itu pada Andi, dia menjawab bahwa daging ayam tersebut terasa legit dan tebal. Jika kematangannya pas maka rasanya tidak kalah dengan Ayam kampung. Maka aku pun setuju saja dengan semua argumentnya itu. Untuk awal Andi menyarankan memasak lima ekor saja dulu, nanti jika sudah mulai berjalan barulah ditambah jumlah ayamnya."Sepeerti itu ya, Ndi. Baik, aku ikut saja apa yang kamu katakan," jawabku dengan nada rendah.Kebetulan posisi rumahku ada di pinggir jalan besar, jadi lumayan ramai dilewati banyak orang. Bahkan Andi sangat optimis usaha ini akan berjalan lancar. Mungkin tidak perlu waktu lama ayam bakar yang di olah

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   4. Kabar Burung

    Hari ini aku bangun agak kesiangan, suamiku pun ternyata tidak pulang semalam. Segera kubasuh tubuhku dengan mandi air hangat. Entah ada apa dengan tubuh ini, rasanya begitu berat untuk memulai hari. Setelah selesai ibadah salat subuh, akupun membuka pintu utama rumah dan warung ayam bakar. Warungku cukup sederhana, berukuran 4x6. Pagi itu aku pun segera membakar tiga ayam pesanan yang akan diambil jam tujuh pagi. Kebersihan bagiku adalah hal utama. Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti di depan warung, ada seorang wanita yang memanggil nama suamiku. Aku pun segera bangkit dari posisi duduk."Iya, Bu, mau beli ayam bakarkah?" tanyaku pada wanita tersebut."Benar ini rumahnya Yahya Sulaiman?" tanyanya."Iya, benar. Ada apa ya, Bu?" tanyaku lagi."Ini anaknya sedang masuk ke rumah sakit sedangkan dia semalam tidak pulang," papar wanita itu.Aku terhenyak dan terkejut. Anaknya masuk rumah sakit dan dia tidak pulang ke rumah semalam. Muncul sebuah pertanyaan di otakku. Anak yang m

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-04
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   5. Kenyataan

    Dua malam sudah suamiku tidak pulang kerumah. Sejak hari jumat selepas ashar dia pamit keluar hingga senin pagi selepas subuh dia pulang. Saat yang pas untuk aku membuka warungku. Usia kandunganku menginjak sembilan bulan, masa yang rawan untuk bekerja berat. Namun, aku selalu berusaha semangat melalui semua aktifitasku. Entah apa yang ada dalam pikiran Yahya, suamiku itu."Assalamualaikum, Umi!" ucapan salam aku dengar dari depan warung, suara khas milik suamiku.Aku pun bangkit dari posisi dudukku yang sedang membungkus sambal bakal jual ayam bakar satu hari ini. Kulihat suamiku sedang memarkirkan sepeda motor buntut hasil warisan uang pensiun ayahku yang terakhir. Sepeda itu sangat bermanfaat untukku. Terapi sejak aku usaha warung ayam bakar ini motor buntut itu dipakai oleh suamiku."Waalaikumsalam, Abi. Kok baru pulang setelah tiga hari, apakah semua urusan sudah selesai termasuk si Bungsu yang katanya masuk rumah sakit?" tanyaku sambil menatapnya sedikit sinis."Tidak baik jika

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-04
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   6. Kenyataan Semakin Pahit

    Usapan dan bisikan lembut diutarakan oleh suamiku. Gelenyar aneh muncul direlung hati, sedikit kecewa tetapi apalah dayaku. Aku hanya seorang istri yang suaranya sangat sulit di dengar oleh kaum adam, terutama suami. Jadi apa yang dikatakan oleh suami harus dituruti dan jangan membantah. Istri penurut jaminan surga. Selalu itu yang terucap dari lisannya Yahya, suamiku.Waktu terus berputar, adan luhur pun terdengar. Aku beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan suamiku yang masih terdiam di posisinya. Aku bersikap acuh dan dingin, kubiarkan dia seperti itu tanpa memintanya berdiri. Entah, hatiku masih terasa sakit dan perih. Segera ku ambil wudlu dan bersiap menghadap sang khalik.Di atas sajadah, kuadukan semua kisah sedihku hari itu. Aku begitu tersiksa, disaat hamil tua harus mendengar suami sendiri bertutur ingin poligami. Namun, hal itu sudah dia lakukan selama tiga bulan. Selama itu pula akulah yang selalu bekerja di warung ayam bakar kami. Si Yahya hanya memantau saja dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-07
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   7. Kelahiran Tanpa Suami

    "Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran. "Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa."Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   8. Pulang ke Rumah

    Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku."Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya."Tiga hari yang lalu," jawabku datar."Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi. Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut."Zaenab As Syari," lirih suamiku."Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu. Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun seger

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   9. Kisah Anak Tiri

    "Umi, jangan marahi Abdul ya!" lirih anak tiriku."Buat apa? Memangnya Abdul bikin salah apa hingga umi marah?" tanyaku."Abdul tadi minta Kak Andi uang untuk beli nasi pecel," ungkapnya lirih, aku seketika terhenyak.Anak sekecil itu begitu peka akan perasaan yang serba salah. Aku berlalu masuk ke kamar, bukan berniat hendak meninggalkan dia tetapi lebih pada lelahku yang sejak datang belum duduk. Aku yang ada di dalam kamar mendengar suara dari luar, sepertinya suara dari Abdul. Kutajamkan pendengaranku."Umi, keluarlah! Ini Abdul sudah bikin teh hangat sebagai permintaan maafku," ucap Abdul.Aku terharu, setelah kurebahkan tubuh mungil Zahra putriku aku pun beranjak dari ranjang. Kulihat Abdul berdiri di samping pintu kamarku yang terdapat meja makan. Anak tersebut masih menunduk sedih. Kutangkup wajahnya dan menaikkan agar aku bisa melihat sorot mata anak tersebut."Terima kasih atas teh nya, umu tidak marah. Wajar saja jika kamu minta uang untuk beli nasi. Bukankah Abdul sedang l

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-25
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   10. Sentuhan Suami

    "Arini, bangun yuuk! Sudah sore menjelang mahgrib lho," bisik suara yang aku kenal.Perlahan aku membuka mata, yang pertama kulihat wajah suamiku yang begitu dekat. Ingin aku menyentak tubuh lelakiku itu, tetapi kembali teringat akan ceramah seorang ustadzah bahwa suami itu imam kita dan kita tidak boleh melawan. Iklas saja selama dia masih memberi nafkah lahir dan batin juga masih menjalankan ibadahnya.Kuusap wajahku sebanyak tiga kali agar kesadaranku kembali. Kulihat Yahya mengangkat tubuh mungil Zahra dan mendekapnya penuh kasih. Dikumandangkan adan pada indera putrinya, aku terharu. Rasanya kecewaku perlahan luntur akan belaian kasihnya pada putriku. "Sebaiknya kamu mandi dulu, biar Zahra bersamaku. Aku ingin berbicara serius denganmu, Arini!" kata Yahya padaku dengan nada sedikit datar dan dingin.Tanpa membalas apa yang dia ucapkan aku berlalu begitu saja menuju almari pakaian. Setelah kuambil satu gamis, segera kutinggalkan dia bersama Zahra. Ketika aku keluar kulihat Abdul

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-26

Bab terbaru

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   162. Anak Salma

    Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   161. Bulan Puasa Tiba

    Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   160. Menjemput Zahra

    "Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,

DMCA.com Protection Status