Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku."Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya."Tiga hari yang lalu," jawabku datar."Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi. Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut."Zaenab As Syari," lirih suamiku."Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu. Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun seger
"Umi, jangan marahi Abdul ya!" lirih anak tiriku."Buat apa? Memangnya Abdul bikin salah apa hingga umi marah?" tanyaku."Abdul tadi minta Kak Andi uang untuk beli nasi pecel," ungkapnya lirih, aku seketika terhenyak.Anak sekecil itu begitu peka akan perasaan yang serba salah. Aku berlalu masuk ke kamar, bukan berniat hendak meninggalkan dia tetapi lebih pada lelahku yang sejak datang belum duduk. Aku yang ada di dalam kamar mendengar suara dari luar, sepertinya suara dari Abdul. Kutajamkan pendengaranku."Umi, keluarlah! Ini Abdul sudah bikin teh hangat sebagai permintaan maafku," ucap Abdul.Aku terharu, setelah kurebahkan tubuh mungil Zahra putriku aku pun beranjak dari ranjang. Kulihat Abdul berdiri di samping pintu kamarku yang terdapat meja makan. Anak tersebut masih menunduk sedih. Kutangkup wajahnya dan menaikkan agar aku bisa melihat sorot mata anak tersebut."Terima kasih atas teh nya, umu tidak marah. Wajar saja jika kamu minta uang untuk beli nasi. Bukankah Abdul sedang l
"Arini, bangun yuuk! Sudah sore menjelang mahgrib lho," bisik suara yang aku kenal.Perlahan aku membuka mata, yang pertama kulihat wajah suamiku yang begitu dekat. Ingin aku menyentak tubuh lelakiku itu, tetapi kembali teringat akan ceramah seorang ustadzah bahwa suami itu imam kita dan kita tidak boleh melawan. Iklas saja selama dia masih memberi nafkah lahir dan batin juga masih menjalankan ibadahnya.Kuusap wajahku sebanyak tiga kali agar kesadaranku kembali. Kulihat Yahya mengangkat tubuh mungil Zahra dan mendekapnya penuh kasih. Dikumandangkan adan pada indera putrinya, aku terharu. Rasanya kecewaku perlahan luntur akan belaian kasihnya pada putriku. "Sebaiknya kamu mandi dulu, biar Zahra bersamaku. Aku ingin berbicara serius denganmu, Arini!" kata Yahya padaku dengan nada sedikit datar dan dingin.Tanpa membalas apa yang dia ucapkan aku berlalu begitu saja menuju almari pakaian. Setelah kuambil satu gamis, segera kutinggalkan dia bersama Zahra. Ketika aku keluar kulihat Abdul
Pagi hari yang cerah, tetapi hatiku terasa sepi. Suami yang seharusnya ada di sisi kini sedang menjalani tugasnya untuk berdakwah. Ada bahagia yang menyusup relung kalbu bila ingat masa setiap suami syiar agama. Entah karena apa, jika dia melakukan perjalanan dakwah selama 40 hari penjualanku meningkat. Mungkin ini karena ladang pahala yang dibuka oleh-Nya, hanya dari Roob ku."Umi, kok Om Andi belum datang ya. Apakah dia ijin tidak masuk?" tanya Abdul yang tiba-tiba masuk rumah setelah aku suruh melihat ke warung."Mungkin agak terlambat datangnya, Dul. Dia kemarin ada bilang sama umi akan mengurus surat-surat untuk acara pernikahannya," jelasku pada Abdul."Trus yang bantu Umi nanti siapa? Aku rasanya belum mampu, Umi, maafkan!" lirihnya sambil menunduk.Aku terdiam mengingat bahwa sebentar lagi Andi akan menikah dan dia akan ikut istrinya ke kota sebelah. Mengapa baru terpikir olehku siapa tenaga bantu yang akan menggantikan dia. Aku mulai berpikir sejenak, rasanya sudah tidak ada
Sejak pagi hingga sore tidak ada pembeli, kulihat Andi dan Topan hanya duduk saja sambil bermain gane di ponsel mereka. Aku mendengus lirih, sementara Zahra menjadi sering nagis. Aku sendiri menjadi bingung menghadapi suasana seperti ini. Abdul hanya menatapku sendu, sesekali aku melihat dia mencuri pandang padaku."Umi, boleh aku minta uang untuk bayar iuran sekolah?" tanya Abdul padaku."Berapa?" tanyaku dengan nada lirih."Hanya sepuluh ribu, Umi. Iuran buat menjenguk guru yang sedang masuk rumah sakit," jawab Abdul sambil melihatku.Aku pun berdiri mengambil dompet, kuambilkan uang kertas selembar berwarna ungu. Setelahnya aku sodorkan pada Abdul, anak itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian dia sedikit bercanda dengan adiknya yang masih terjaga setelah menangis karena kehabisan susu formula."Kamu jaga dulu adik ya, Dul. Umi ke depan dulu melihat ke warung," pamitku."Iya, Umi," jawarnya.Aku pun keluar untuk melihat kondisi warung yang sepi. Saat aku mulai dekat seke
Aku terbangun dalam keadaan basah, tubuhku masih berkeringat. Mimpi itu membuatku tidak bisa memejamkan mata kembali padahal jam masih menunjukan pukul 03.00, dini hari. Segera aku berdiri dan berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di luar kamar dekat dapur."Lebih baik aku ambil air wudlu saja, mimpi yang sungguh aneh," batinku sambil mengingat keseluruhan mimpiku itu."Tetapi apa arti dari mimpiku itu, semua terlihat nyata. Mayat itu belum sempat aku buka, kira-kira mayat siapa dan mengapa terbujur di rumah ini?" aku bergumam sambil berjalan menuju kamarku.Gegas kuambil mukena dan melaksanakan salat malam dua rakaat, berharap agar mendapat pencerahan dari Robb ku. Lama aku bersujud ke hadapan yang khalik, ku lantunkan doa untuk keselamatan suami dan anak tiriku. Setelah beberapa saat lega terasa dalam pikirku hanya pada-Nya tempat aku mengadu dan meminta, Tuhan segala pencipta alam.Tangis Zahra terdengar lirih, segera kulipat mukenaku dan meletakkan pada tempatnya. Kulihat putrik
Bola mataku mengerjab berulang kali untuk memastikan noda merah yang berbentuk bibir. Aku sangat yakin jika itu adalah noda lipstik bukan mainan. Aku masih mengendapkan emosi akibat noda tersebut. Namun, pandanganku sudah enggan untuk melihat wajah suamiku tersebut. Terkadang sesal datang menyapa kala tubuhku terasa penat. Semua kerjaan aku yang mengerjakan tetapi tiap tutup warung semua hasil jual harus aku serahkan padanya dengan perincian pengeluaran dan pemasukkan. Jika ada selisih pasti ada saja kalimat yang terlontar dari bibirnya. Seperti malam itu."Ini mengapa uang hasil jual dan sisa ayam kok jauh berbeda, kemana yang lain? Jadi istri itu yang pandai berhitung jangan seperti ini. Jika terus begini mau kaya dari mana, Hah!" Hentak Yahya padaku dengan bola mata membulat.Tanpa banyak kata, aku langsung berbalik badan dan meninggalkan begitu saja si Yahya dengan segala kata umpatannya. Masih sempat kudengar beberapa kallimat yang tidak pantas didengar oleh anak kecil."Dasar
Mendengar rintihan dan ucapan Halimah membuat hatinya ngilu. Gadis itu bisa merasakan bahkan melihat sosok tidak kasat mata hadir di depannya. Aku tidak menyangka sama sekali dengan kelebihan anak gadis tiriku. Diusianya yang sudah 14 tahun dan dia belum mengalami menstruasi membuat dia masih suci. Halimah terlihat berkeringat, segera kudekati dan kuraba dahinya. Suhu tubuh anak itu begitu panas, aku terhentak. Gegas kuambilkan kain kompres khusus milik Zahra. Halimah menatapku sendu."Umi, apakah sakitku ini akan membawaku ke jannah?" tanya Halimah padaku dengan nada rendah.Begitu pelannya suara gadis itu hingga terdengar samar pada indera pendengaranku. Aku pun mendekatkan cuping pada wajahnya. Jemari kecilnya yang putih terangkat, kemudian keduanya membingkai wajahku. Perlahan bibir gadis itu mulai bergerak. Aku terus menatap manik mata yang mulai redup itu."Umi, badan aku terasa ringan sekali. Bahkan seperti melayang. Mengapa baru sekarang aku bisa berdekatan denganmu, Umi?" ta