Saat tegang aku terselamatkan dengan adanya telepon dari Bandung, lebih tepatnya dari Adam. Segera ku angkat panggilan itu yang ternyata panggilan vidio call."Asslaamualaikum, Umi! Ini Halimah sudah lahiran, anak kami laki-laki bernama Arkan," kata Adam dengam rona wajah yang bahagia."Waalaikumsalam, wah tampan banget!" pujiku saat kamera di hadapkan pada bayi merah."Tetapi maaf ya, Umi. Lebaran nanti mungkin Adam dan keluarga tidak pulang lagi, nunggu Arkan besar sekitar sembilan bulan usianya. Boleh ya, Umi?""Iya, tidak apa, Adam. Jaga baik keluargamu, komunikasi penting. Nanti jika ada rezeki lebih umi datang ke Bandung!""Iya, Umi. Terima kasih," balas Adam.Aku melihat pada wajah suamiku yang penasaran akan cucunya. Dia yang ayah kanndung tidak dihubungi secara pribadi, justru anaknya memilih menghubungiku lebih dulu. Inilah kekuatan istri dan ibu yang sabar juga iklas. Semua pasti ada balasannya tanpa kita pinta."Berapa berat badan dan tingginya, Adam? Lalu kesehatan Halima
AAku tiDAk mYangka jika kehidupan bisa secepat ini berubah, dulu aku begitu polosnya kini sedikit lebih berani meski dalam batas tertentu. Mungkin karena rasa sakit yang sering aku rasakan akibat perbuatan yang dilakukan oleh Yahya.Memang sekilas apa yang aku rasakan adalah hal yang biasa bagi sebagian orang yang paham akan ilmu polligami. Tetapi bagiku poligami tetaplah hal yang menyakitkan. apalgi maduku itu terbialng masih muda dan janda dengan anak enam. Rasanya begitu tidak iklasnya aku akan harta yang selalu dia bawa untuk istri mudanya.Bukan karena alasan yang sipel yaitu tidak iklas, malainkan betapa tidak sopannya Yahya membawa hasil keringatku untuk menafkahi istri mudanya itu. Secara ilmu agama semua kebutuhan istri adalah kewajiban suami untuk penuhi hingga akhir hayat."Sudahlah semua sudah disuratkan dalam kisah hidupku," batinku.Semua masih diluar nalar yang tidak bisa terjangkau oleh pola pikir manusia pada umumnya. Tetapi aku selalu berusaha ikla
Kuberanikan diri untuk melangkah ke warung dimana tercium aroma ayam bakar. jika ada asap pasti ada apinya dan pelaku. "Alhamdulillah Adam! Umi kira siapa, kok sudah ada di rumah sih," kataku saat kulihat Adam mulai pembakaran ayam yang entah yang keberapa."Hehe, maaf Umi! Adam pulang tidak memberi kabar lebih dulu. Ini sengaja aku lakukan sekedar ingin membuktikan apa yang Umi ceritakan selama ini. Bukannya Adam tidak percaya apa yang Umi katakan," papar Adam."Iya umi maklum. Secara Yahya kan dia abah kamu. Bagaimana pun pasti ada pembelaan kecil yang kamu lakukan, umi tidak apa kok, Adam."Sesaat Adam menatapku penuh tanya, sorot matanya mengisyaratkan bahwa dia pun sedikit ragu akan perkataanku itu."Kok seperti itu menatap ke umi lho, Dam. Ada apa sebenarnya?" tanyaku."Tidak apa, Umi. Aku hanya penasaran saja sama tingkah abah. Masak ada menantu juga akan seperti itu," balas Adam."Kita lihat saja, bagaimana sikap abah kamu itu, Dam. Eehh, ini artinya Arkan ikut juga dong?"
Sudah tiga hari Adam dan keluarga kecilnya ada di rumah, tetapi suamiku belum terlihat pulang. Sudah aku hubungi lewat chat bahkan kutelepon juga masih tidak ada respon. Adam sampai geleng kepala. Terakhir suamiku meminta ijin hendak berdakwah di sekitar Tambaksari yang kebanyakan kaum tuna susila."Apakah abah sering seperti ini, Umi?" tanya Adam suatu hari.Aku tidak menjawab secara lisan, hanya anggukan kepala. Hari itu hari sabtu, biasanya week end sepeerti ini jualanku akan ramai. Selain itu hari sekolah Zahra libur, jadi putriku itu bisa bermain sepuasnya dengan Arkan."Jangan di gendongin ae, Zahra! Kasian nanti Mbak Halimahnya," kataku pada Zahra yang gemas ingin gendong Arkan."Habis gemesin lho, Umi. Mana adik bayinya sudah pandai merangkak," kata Zahra.Aku tersenyum simpul, kemudian kutinggalkan saja mereka bermain bersama Arkan. Kulanjutkan langkahku menuju ke warung, tadi terlihat ramai. Alasan itu yang membuat aku beranjak dari dudukku."Umi ke warung dulu, mau bantu Mb
Langkahku tidak mampu mengejar suamiku, dia lebih dulu membuka gagang pintu. Namun, tidak terlihat keterkejutam di wajah datar Yahya. Aku sedikit bingung, yang datang itu anak kandung dia sendiri bahkan bersama istri dan anaknya. Berarti cucu dia, tetapi wajahnya masih sama, datar."Assalamualaikum, Abi!" sapaku sambil ikuti langkahnya memasuki kamar pribadi kami."Waalaikumsalam," balasnya, "Ada perlu apa lagi mereka pulang hari ini, Umi? Dam kamu, mengapa tidak memberi kabar padaku?" cercanya padaku.Aku hanya tersenyum sambil menerima sodoran pakaian yang sudah dia lepaskan. Kulihat tubuhnya direbahkan dengan perlahan, sangat jelas jika suamiku itu lelah. Entah apa yang membuatnya selelah itu. Hal yang tidak pernah aku lihat, tubuhnya begitu kelelahan yang amaat sangat."Tidak boleh seperti itu, Abi. Bagaimana pun dia adalah pembuka pintu rezeki kita, jadi jangan sia-siakan. Tidak baik itu!" kataku mencoba melunakkan perasaannya yang sedikit kaku."Bukan menyiakan mereka, Umi. Hany
Aku diam mematung akan bisikan suamiku. Sungguh rasanya begitu nyeri hati ini. Bagai tertusuk sembilu, perih. Entah apa sebabnya hanya bisikan ajakan bercinta saja bisa membuat hatiku nyeri dan perih. Sesaat kuremas kain gamisku yang menutupi dada, remasan tanganku tidak terlihat karena berada dibalil hijabku. Biasanya aku tidak pakai hijab bila berada di dalam rumah, karena semua yang ada di dalam rumah adalah mahrom bagiku tanpa kecuali. Bahkan dengan Adam pun tekadang aku tidak pakai hijab. Namun, sejak suamiku melakukan poligami aku merasa dia adalah orang lain."Kok diam saja, Umi. Dan ini, sejak kapan jila di rumah Umi selalu pakai hijab. 'Kan abi jadi tidak bisa leluasa mengecup dan menyesap tengkuk Umi. Jujur abi kangen!" bisik suamiku sambil tapak tangannya menelusup ke balik hijabku.Perlakuan suamiku membuat aku bergidik dan merinding. Aku masih diam, melihatku yang masih diam pun Yahya mulai memberanikan berbuat lebih. Tangannya mulai menelusup masuk ke balik hijabku. Aku
Semua terselamatkan saat kudengar adan asar, maka segera kuingatkan pada suamiku agar dia menajamkan pendengarannya. Suamiku tipikal tidak bisa meninggalkan ibadah jamaah di masjid. Jadi begitu dia mendengar adan maka pekerjaan apa pun segera ditinggalkan. Hal ini lah yang menjadi penyelamatku."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!" batinku."Sialan kau, Arini!" Satu kasar lolos dari bibir suamiku, aku hanya diam dan menatap pada lain tempat. Sungguh begitu banyak perubahan yang terlihat nyata pada suamiku. Tutur kata yang sopan, gerak yang lembut seketika hilang. Aku seperti memghadapi sosok pria yang berbeda dalam wujud yang sama."Maka tunggu aku nanti malam, semua akan aku kuasai tubuhmu, Arini. Ingat, hanya milikku!" geram Yahya sambil memakai pakaiannya.Semua pergerakannya hanya aku lihat sesaat, setelah dia keluar dari kamarku segera kupungut gamisku. Tanpa kurasa bulir bening jatuh di punggung tanganku. Segera kusapu pipiku untuk menghilangkan jejaknya."Kau telah banyak be
"Apa ini maksudnya, Umi?" tanya suamiku."Iya itu semua daftar uang masuk dan keluar, Abi," jawabku Suamiku terlihat menggelengkan kepala berulang membuat dadaku makin berdegup kencang. Aku sudah koreksi laporanku itu berkali-kali tetapi sepertinya belum memuaskan."Lihat ini, Umi. Bagaimana uang sebanyak ini habis untuk masuk perut, apa tidak bisa nahan itu mulut?" tanya Yahya padaku dengan nada tinggi."Maksud Abi apa sih, wajar dong jika aku makan sedikit mahal sedangkan Abi yang tidak bekerja saja dengan santainya ambil uang seratus ribu. Untuk apa?" cercaku."Hai, aku kepala keluarga ya. Ingat itu!" "Lalu jika kepala keluarga boleh ya siksa istri sedemikian rupa?" "Umi!" kata Yahya lantang, "Apa kamu mau jadi istri yang durhaka?"Suamiku pun segera bangkit dan menyeretku masuk ke kamar. Dihempaskan tubuhku di atas ranjang king size yang baru saja aku beli dua bulan yang lalu. Tubuhku seketika memantul. Kedua tungkaiku dia tarik hingga ke tepian ranjang, kemudian di bukanya leb