Semua terselamatkan saat kudengar adan asar, maka segera kuingatkan pada suamiku agar dia menajamkan pendengarannya. Suamiku tipikal tidak bisa meninggalkan ibadah jamaah di masjid. Jadi begitu dia mendengar adan maka pekerjaan apa pun segera ditinggalkan. Hal ini lah yang menjadi penyelamatku."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!" batinku."Sialan kau, Arini!" Satu kasar lolos dari bibir suamiku, aku hanya diam dan menatap pada lain tempat. Sungguh begitu banyak perubahan yang terlihat nyata pada suamiku. Tutur kata yang sopan, gerak yang lembut seketika hilang. Aku seperti memghadapi sosok pria yang berbeda dalam wujud yang sama."Maka tunggu aku nanti malam, semua akan aku kuasai tubuhmu, Arini. Ingat, hanya milikku!" geram Yahya sambil memakai pakaiannya.Semua pergerakannya hanya aku lihat sesaat, setelah dia keluar dari kamarku segera kupungut gamisku. Tanpa kurasa bulir bening jatuh di punggung tanganku. Segera kusapu pipiku untuk menghilangkan jejaknya."Kau telah banyak be
"Apa ini maksudnya, Umi?" tanya suamiku."Iya itu semua daftar uang masuk dan keluar, Abi," jawabku Suamiku terlihat menggelengkan kepala berulang membuat dadaku makin berdegup kencang. Aku sudah koreksi laporanku itu berkali-kali tetapi sepertinya belum memuaskan."Lihat ini, Umi. Bagaimana uang sebanyak ini habis untuk masuk perut, apa tidak bisa nahan itu mulut?" tanya Yahya padaku dengan nada tinggi."Maksud Abi apa sih, wajar dong jika aku makan sedikit mahal sedangkan Abi yang tidak bekerja saja dengan santainya ambil uang seratus ribu. Untuk apa?" cercaku."Hai, aku kepala keluarga ya. Ingat itu!" "Lalu jika kepala keluarga boleh ya siksa istri sedemikian rupa?" "Umi!" kata Yahya lantang, "Apa kamu mau jadi istri yang durhaka?"Suamiku pun segera bangkit dan menyeretku masuk ke kamar. Dihempaskan tubuhku di atas ranjang king size yang baru saja aku beli dua bulan yang lalu. Tubuhku seketika memantul. Kedua tungkaiku dia tarik hingga ke tepian ranjang, kemudian di bukanya leb
Aku pun mengikuti apa yang dipesankan oleh suamiku itu. Cukup lama aku terdiam menunggu hingga hampir pagi. Lalu saat menjelang subuh, suamiku belum juga pulang. Dengan kesal aku bangun dan mandi junub. Entah rasanya begitu sakit, dia yang inginkan kehangatan ranjang dia pula yang tinggalkan. Bahkan di saat aku mulai menikmati sentuhan itu.Cukup lama aku membersihkan tubuh ini dalam kamar mandi. Masih terlintas peristiwa tadi malam, air mataku terasa mengalir bersamaan guyuran air. Kubiarkan air mata itu keluar hingga membuatku sesak. "Beginikah rasa memiliki seorang madu? Begitu sabarnya para istri nabi, sungguh aku tidak berdaya!" ujarku dengan nada rendah sambil menghempas gayung.Sakit hati begitu dalam, luka yang awalnya sudah sedikit tertutup kini mulai membuka perlahan. Sungguh aku ingin berteriak sebebasnya meluapkan semua kecewa dan gundahku."Tuhan, hanya padaMu aku berserah diri. Beri aku petunjuk dalam menyikapi sakitnya hati bila diduakan!" pintaku dengan tulus.Aku pun
Segera kulajukan kendaraan roda duaku begitu Zahra siap diboncengan. Tidak butuh lama waktu yang aku butuhkan untuk mengantar sekolah putriku. Setelah anak gadisku turun, aku pun melajukan lagi kendaraanku menuju arah pulang.Saat sampai di halaman rumah kulihat sudah ada suamiku melayani pembeli. Aku pun memarkirkan kendaraanku lebih dulu, setelah benar terparkir benar kulangkahkan kaki menuju ke warung. Rupanya pembeli ayam itu adalah pembeli baru. Akhirnya aku memutuskan untuk memanasi lima ayam rebusan sisa."Apakah masih lama, Pak?" tanya pembeli itu."Ini ada yang sudah matang dan dipotong. Apakah ibu mau yang ini atau nunggu yang sedang dibakar?" tanyaku dengan nada sopan."Yang sudah jadi saja lah, Bu. Tetapi apakah tidak apa jika saya bawa yang itu, Bu?" "Tidak apa kok, Ibu. Toh belum diambil dan ini masih hangat juga, coba dilihat dulu!" pintaku.Ibu itu pun maju untuk melihat ayam yang sudah lebih dulu aku bakar sebelum mengantar Zahra tadi. Lalu reaksinya adalah sebuah se
"Apakah uang yang selama ini abi ambil harus diungkap alasannya, Umi? Berhakkah kamu atas semua itu?" cerca Yahya padaku.Aku masih diam menatap dan menunggu apalagi yang dia ungkapkan untuk melakukan pembelaan. Meskipun dia sebagai kepala keluarga tidak seharusnya memberi contoh seperti itu. Aku berusaha melawan tatapan matanya."Apa? Ingin jadi istri durhaka yang tidak bisa mencium aroma surga, begitukah?" Lagi, suamiku menghakimi aku dengan dosa dan aroma surga.Sebagai seorang muslim, pasti inginkan surga dengan berbagai cara yang halal. Namun, apakah cukup dengan berbakti pada suami kita bisa menghirup udara surga dengan bebas? Pasti tidak, ada berbagai cara dan jalan yang sudah di gariskan."Apakah ada salahku untuk menanyakan hal itu, Bi? Apa bedanya aku dengan Abi? Aku yang kerja setiap hari, sementara Abi ...?" Kuberanikan diri untuk melawan kalimatnya, hatiku berdebar. Ini adalah satu langkah berani yang aku ambil selama ini. Dulu mungkin aku hanya diam mengikuti alur yang
Hari terus berlalu dan sudah berganti bulan. Aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan yang semakin menghimpitku. Kini setiap hariku semakin mendekat pada Robbku. Dengan begini hati menjadi tentram, meskipun aku tetap tidak bisa bohongi diri dengan suasana hati.Seperti hari ini, entah mengapa sejak pagi suamiku sudah ikut membantu kegiatan warung. Mulai memanasi ayam rebusan hingga membakar semua pesanan pagi. Aku hanya diam saja, kemudian dia pun berucap akan membawa istri sirinya untuk ikut tinggal di rumahku sementara. Seketika emosiku bergolak dan langsung menolak dengan kata menohok."Abi saja disini numpang kok, apa tidak malu membawa istri lain untuk masuk ke rumahku?""Hanya sementara, Umi. Kontrakannya habis masa, setelah abi bisa belikan rumah sederhana barulah dia pindah bersama anaknya," pinta suamiku dengan nada rendah."Tidak, sekali tidak tetap tidak. Maaf!" jawabku tegas.Lelakiku langsung berjengit kaget mendengar kalimatku yang lantang dan tegas. Kemudian Yahya ban
Kedua bola mataku seketika membulat, lalu kubaca postingan itu dan muali memahami. Aku tersenyum tipis setelah paham menurut pemahaman hati."Kok bisa Mbak Arin malah tersenyum baca postingan ini?" "Bagaimana tidak tersenyum lho, Bulan? Coba kamu pahami isi postingannya!""Ayam Bakar Bu Yahya Jalan Semeru 45 buka cabang di Jalan Halmahera 15. Bisa antar hubungi nomer 0857 3467 2388. Manaa yang buat Mbak senyum, kok aku gagal paham?" kata bulan sambil mengerutkan dahinya.Aku menatap Bulan dengan senyumku, karyawanku itu akhirnya menggelengkan kepala tanda dia masih belum mengerti akan pemikiranku. Lalu dagunya terangkat untuk menanyakan hal itu. Perlahan ku raih gelas minumku dan mulai meneggaknya. Setelah tenggorokanku basah, kuambil napas panjang dan banyak agar ronggaku bisa longgar."Postingan itu bisa juga mengiklankan tempat kita ini, Bulan. Secara pembeli pasti lebih ingin dan penasaran letak pusatnya jualan ayam bakar. Coba lah kamu telaah lebih dalam lagi!" paparku yang kuak
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,