Share

152. Pertama Menolak

Penulis: Shaveera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-21 16:08:09

Aku diam mematung akan bisikan suamiku. Sungguh rasanya begitu nyeri hati ini. Bagai tertusuk sembilu, perih. Entah apa sebabnya hanya bisikan ajakan bercinta saja bisa membuat hatiku nyeri dan perih. Sesaat kuremas kain gamisku yang menutupi dada, remasan tanganku tidak terlihat karena berada dibalil hijabku.

Biasanya aku tidak pakai hijab bila berada di dalam rumah, karena semua yang ada di dalam rumah adalah mahrom bagiku tanpa kecuali. Bahkan dengan Adam pun tekadang aku tidak pakai hijab. Namun, sejak suamiku melakukan poligami aku merasa dia adalah orang lain.

"Kok diam saja, Umi. Dan ini, sejak kapan jila di rumah Umi selalu pakai hijab. 'Kan abi jadi tidak bisa leluasa mengecup dan menyesap tengkuk Umi. Jujur abi kangen!" bisik suamiku sambil tapak tangannya menelusup ke balik hijabku.

Perlakuan suamiku membuat aku bergidik dan merinding. Aku masih diam, melihatku yang masih diam pun Yahya mulai memberanikan berbuat lebih. Tangannya mulai menelusup masuk ke balik hijabku. Aku
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   153. Belum Terjadi

    Semua terselamatkan saat kudengar adan asar, maka segera kuingatkan pada suamiku agar dia menajamkan pendengarannya. Suamiku tipikal tidak bisa meninggalkan ibadah jamaah di masjid. Jadi begitu dia mendengar adan maka pekerjaan apa pun segera ditinggalkan. Hal ini lah yang menjadi penyelamatku."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!" batinku."Sialan kau, Arini!" Satu kasar lolos dari bibir suamiku, aku hanya diam dan menatap pada lain tempat. Sungguh begitu banyak perubahan yang terlihat nyata pada suamiku. Tutur kata yang sopan, gerak yang lembut seketika hilang. Aku seperti memghadapi sosok pria yang berbeda dalam wujud yang sama."Maka tunggu aku nanti malam, semua akan aku kuasai tubuhmu, Arini. Ingat, hanya milikku!" geram Yahya sambil memakai pakaiannya.Semua pergerakannya hanya aku lihat sesaat, setelah dia keluar dari kamarku segera kupungut gamisku. Tanpa kurasa bulir bening jatuh di punggung tanganku. Segera kusapu pipiku untuk menghilangkan jejaknya."Kau telah banyak be

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-22
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   154. Ditinggal Saat Hempir Sampai

    "Apa ini maksudnya, Umi?" tanya suamiku."Iya itu semua daftar uang masuk dan keluar, Abi," jawabku Suamiku terlihat menggelengkan kepala berulang membuat dadaku makin berdegup kencang. Aku sudah koreksi laporanku itu berkali-kali tetapi sepertinya belum memuaskan."Lihat ini, Umi. Bagaimana uang sebanyak ini habis untuk masuk perut, apa tidak bisa nahan itu mulut?" tanya Yahya padaku dengan nada tinggi."Maksud Abi apa sih, wajar dong jika aku makan sedikit mahal sedangkan Abi yang tidak bekerja saja dengan santainya ambil uang seratus ribu. Untuk apa?" cercaku."Hai, aku kepala keluarga ya. Ingat itu!" "Lalu jika kepala keluarga boleh ya siksa istri sedemikian rupa?" "Umi!" kata Yahya lantang, "Apa kamu mau jadi istri yang durhaka?"Suamiku pun segera bangkit dan menyeretku masuk ke kamar. Dihempaskan tubuhku di atas ranjang king size yang baru saja aku beli dua bulan yang lalu. Tubuhku seketika memantul. Kedua tungkaiku dia tarik hingga ke tepian ranjang, kemudian di bukanya leb

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-25
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   155. Terbiar Lama

    Aku pun mengikuti apa yang dipesankan oleh suamiku itu. Cukup lama aku terdiam menunggu hingga hampir pagi. Lalu saat menjelang subuh, suamiku belum juga pulang. Dengan kesal aku bangun dan mandi junub. Entah rasanya begitu sakit, dia yang inginkan kehangatan ranjang dia pula yang tinggalkan. Bahkan di saat aku mulai menikmati sentuhan itu.Cukup lama aku membersihkan tubuh ini dalam kamar mandi. Masih terlintas peristiwa tadi malam, air mataku terasa mengalir bersamaan guyuran air. Kubiarkan air mata itu keluar hingga membuatku sesak. "Beginikah rasa memiliki seorang madu? Begitu sabarnya para istri nabi, sungguh aku tidak berdaya!" ujarku dengan nada rendah sambil menghempas gayung.Sakit hati begitu dalam, luka yang awalnya sudah sedikit tertutup kini mulai membuka perlahan. Sungguh aku ingin berteriak sebebasnya meluapkan semua kecewa dan gundahku."Tuhan, hanya padaMu aku berserah diri. Beri aku petunjuk dalam menyikapi sakitnya hati bila diduakan!" pintaku dengan tulus.Aku pun

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-26
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   156. Ternyata oh Ternyata

    Segera kulajukan kendaraan roda duaku begitu Zahra siap diboncengan. Tidak butuh lama waktu yang aku butuhkan untuk mengantar sekolah putriku. Setelah anak gadisku turun, aku pun melajukan lagi kendaraanku menuju arah pulang.Saat sampai di halaman rumah kulihat sudah ada suamiku melayani pembeli. Aku pun memarkirkan kendaraanku lebih dulu, setelah benar terparkir benar kulangkahkan kaki menuju ke warung. Rupanya pembeli ayam itu adalah pembeli baru. Akhirnya aku memutuskan untuk memanasi lima ayam rebusan sisa."Apakah masih lama, Pak?" tanya pembeli itu."Ini ada yang sudah matang dan dipotong. Apakah ibu mau yang ini atau nunggu yang sedang dibakar?" tanyaku dengan nada sopan."Yang sudah jadi saja lah, Bu. Tetapi apakah tidak apa jika saya bawa yang itu, Bu?" "Tidak apa kok, Ibu. Toh belum diambil dan ini masih hangat juga, coba dilihat dulu!" pintaku.Ibu itu pun maju untuk melihat ayam yang sudah lebih dulu aku bakar sebelum mengantar Zahra tadi. Lalu reaksinya adalah sebuah se

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-27
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   157. Kejujuran Yang Tertunda

    "Apakah uang yang selama ini abi ambil harus diungkap alasannya, Umi? Berhakkah kamu atas semua itu?" cerca Yahya padaku.Aku masih diam menatap dan menunggu apalagi yang dia ungkapkan untuk melakukan pembelaan. Meskipun dia sebagai kepala keluarga tidak seharusnya memberi contoh seperti itu. Aku berusaha melawan tatapan matanya."Apa? Ingin jadi istri durhaka yang tidak bisa mencium aroma surga, begitukah?" Lagi, suamiku menghakimi aku dengan dosa dan aroma surga.Sebagai seorang muslim, pasti inginkan surga dengan berbagai cara yang halal. Namun, apakah cukup dengan berbakti pada suami kita bisa menghirup udara surga dengan bebas? Pasti tidak, ada berbagai cara dan jalan yang sudah di gariskan."Apakah ada salahku untuk menanyakan hal itu, Bi? Apa bedanya aku dengan Abi? Aku yang kerja setiap hari, sementara Abi ...?" Kuberanikan diri untuk melawan kalimatnya, hatiku berdebar. Ini adalah satu langkah berani yang aku ambil selama ini. Dulu mungkin aku hanya diam mengikuti alur yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-28
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   158. Berdamai dengan Keadaan

    Hari terus berlalu dan sudah berganti bulan. Aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan yang semakin menghimpitku. Kini setiap hariku semakin mendekat pada Robbku. Dengan begini hati menjadi tentram, meskipun aku tetap tidak bisa bohongi diri dengan suasana hati.Seperti hari ini, entah mengapa sejak pagi suamiku sudah ikut membantu kegiatan warung. Mulai memanasi ayam rebusan hingga membakar semua pesanan pagi. Aku hanya diam saja, kemudian dia pun berucap akan membawa istri sirinya untuk ikut tinggal di rumahku sementara. Seketika emosiku bergolak dan langsung menolak dengan kata menohok."Abi saja disini numpang kok, apa tidak malu membawa istri lain untuk masuk ke rumahku?""Hanya sementara, Umi. Kontrakannya habis masa, setelah abi bisa belikan rumah sederhana barulah dia pindah bersama anaknya," pinta suamiku dengan nada rendah."Tidak, sekali tidak tetap tidak. Maaf!" jawabku tegas.Lelakiku langsung berjengit kaget mendengar kalimatku yang lantang dan tegas. Kemudian Yahya ban

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-29
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   159. Postingan di Tok Tok

    Kedua bola mataku seketika membulat, lalu kubaca postingan itu dan muali memahami. Aku tersenyum tipis setelah paham menurut pemahaman hati."Kok bisa Mbak Arin malah tersenyum baca postingan ini?" "Bagaimana tidak tersenyum lho, Bulan? Coba kamu pahami isi postingannya!""Ayam Bakar Bu Yahya Jalan Semeru 45 buka cabang di Jalan Halmahera 15. Bisa antar hubungi nomer 0857 3467 2388. Manaa yang buat Mbak senyum, kok aku gagal paham?" kata bulan sambil mengerutkan dahinya.Aku menatap Bulan dengan senyumku, karyawanku itu akhirnya menggelengkan kepala tanda dia masih belum mengerti akan pemikiranku. Lalu dagunya terangkat untuk menanyakan hal itu. Perlahan ku raih gelas minumku dan mulai meneggaknya. Setelah tenggorokanku basah, kuambil napas panjang dan banyak agar ronggaku bisa longgar."Postingan itu bisa juga mengiklankan tempat kita ini, Bulan. Secara pembeli pasti lebih ingin dan penasaran letak pusatnya jualan ayam bakar. Coba lah kamu telaah lebih dalam lagi!" paparku yang kuak

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-30
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   160. Menjemput Zahra

    "Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-01

Bab terbaru

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   162. Anak Salma

    Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   161. Bulan Puasa Tiba

    Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   160. Menjemput Zahra

    "Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,

DMCA.com Protection Status