"Apakah uang yang selama ini abi ambil harus diungkap alasannya, Umi? Berhakkah kamu atas semua itu?" cerca Yahya padaku.Aku masih diam menatap dan menunggu apalagi yang dia ungkapkan untuk melakukan pembelaan. Meskipun dia sebagai kepala keluarga tidak seharusnya memberi contoh seperti itu. Aku berusaha melawan tatapan matanya."Apa? Ingin jadi istri durhaka yang tidak bisa mencium aroma surga, begitukah?" Lagi, suamiku menghakimi aku dengan dosa dan aroma surga.Sebagai seorang muslim, pasti inginkan surga dengan berbagai cara yang halal. Namun, apakah cukup dengan berbakti pada suami kita bisa menghirup udara surga dengan bebas? Pasti tidak, ada berbagai cara dan jalan yang sudah di gariskan."Apakah ada salahku untuk menanyakan hal itu, Bi? Apa bedanya aku dengan Abi? Aku yang kerja setiap hari, sementara Abi ...?" Kuberanikan diri untuk melawan kalimatnya, hatiku berdebar. Ini adalah satu langkah berani yang aku ambil selama ini. Dulu mungkin aku hanya diam mengikuti alur yang
Hari terus berlalu dan sudah berganti bulan. Aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan yang semakin menghimpitku. Kini setiap hariku semakin mendekat pada Robbku. Dengan begini hati menjadi tentram, meskipun aku tetap tidak bisa bohongi diri dengan suasana hati.Seperti hari ini, entah mengapa sejak pagi suamiku sudah ikut membantu kegiatan warung. Mulai memanasi ayam rebusan hingga membakar semua pesanan pagi. Aku hanya diam saja, kemudian dia pun berucap akan membawa istri sirinya untuk ikut tinggal di rumahku sementara. Seketika emosiku bergolak dan langsung menolak dengan kata menohok."Abi saja disini numpang kok, apa tidak malu membawa istri lain untuk masuk ke rumahku?""Hanya sementara, Umi. Kontrakannya habis masa, setelah abi bisa belikan rumah sederhana barulah dia pindah bersama anaknya," pinta suamiku dengan nada rendah."Tidak, sekali tidak tetap tidak. Maaf!" jawabku tegas.Lelakiku langsung berjengit kaget mendengar kalimatku yang lantang dan tegas. Kemudian Yahya ban
Kedua bola mataku seketika membulat, lalu kubaca postingan itu dan muali memahami. Aku tersenyum tipis setelah paham menurut pemahaman hati."Kok bisa Mbak Arin malah tersenyum baca postingan ini?" "Bagaimana tidak tersenyum lho, Bulan? Coba kamu pahami isi postingannya!""Ayam Bakar Bu Yahya Jalan Semeru 45 buka cabang di Jalan Halmahera 15. Bisa antar hubungi nomer 0857 3467 2388. Manaa yang buat Mbak senyum, kok aku gagal paham?" kata bulan sambil mengerutkan dahinya.Aku menatap Bulan dengan senyumku, karyawanku itu akhirnya menggelengkan kepala tanda dia masih belum mengerti akan pemikiranku. Lalu dagunya terangkat untuk menanyakan hal itu. Perlahan ku raih gelas minumku dan mulai meneggaknya. Setelah tenggorokanku basah, kuambil napas panjang dan banyak agar ronggaku bisa longgar."Postingan itu bisa juga mengiklankan tempat kita ini, Bulan. Secara pembeli pasti lebih ingin dan penasaran letak pusatnya jualan ayam bakar. Coba lah kamu telaah lebih dalam lagi!" paparku yang kuak
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja