Langkahku tidak mampu mengejar suamiku, dia lebih dulu membuka gagang pintu. Namun, tidak terlihat keterkejutam di wajah datar Yahya. Aku sedikit bingung, yang datang itu anak kandung dia sendiri bahkan bersama istri dan anaknya. Berarti cucu dia, tetapi wajahnya masih sama, datar."Assalamualaikum, Abi!" sapaku sambil ikuti langkahnya memasuki kamar pribadi kami."Waalaikumsalam," balasnya, "Ada perlu apa lagi mereka pulang hari ini, Umi? Dam kamu, mengapa tidak memberi kabar padaku?" cercanya padaku.Aku hanya tersenyum sambil menerima sodoran pakaian yang sudah dia lepaskan. Kulihat tubuhnya direbahkan dengan perlahan, sangat jelas jika suamiku itu lelah. Entah apa yang membuatnya selelah itu. Hal yang tidak pernah aku lihat, tubuhnya begitu kelelahan yang amaat sangat."Tidak boleh seperti itu, Abi. Bagaimana pun dia adalah pembuka pintu rezeki kita, jadi jangan sia-siakan. Tidak baik itu!" kataku mencoba melunakkan perasaannya yang sedikit kaku."Bukan menyiakan mereka, Umi. Hany
Aku diam mematung akan bisikan suamiku. Sungguh rasanya begitu nyeri hati ini. Bagai tertusuk sembilu, perih. Entah apa sebabnya hanya bisikan ajakan bercinta saja bisa membuat hatiku nyeri dan perih. Sesaat kuremas kain gamisku yang menutupi dada, remasan tanganku tidak terlihat karena berada dibalil hijabku. Biasanya aku tidak pakai hijab bila berada di dalam rumah, karena semua yang ada di dalam rumah adalah mahrom bagiku tanpa kecuali. Bahkan dengan Adam pun tekadang aku tidak pakai hijab. Namun, sejak suamiku melakukan poligami aku merasa dia adalah orang lain."Kok diam saja, Umi. Dan ini, sejak kapan jila di rumah Umi selalu pakai hijab. 'Kan abi jadi tidak bisa leluasa mengecup dan menyesap tengkuk Umi. Jujur abi kangen!" bisik suamiku sambil tapak tangannya menelusup ke balik hijabku.Perlakuan suamiku membuat aku bergidik dan merinding. Aku masih diam, melihatku yang masih diam pun Yahya mulai memberanikan berbuat lebih. Tangannya mulai menelusup masuk ke balik hijabku. Aku
Semua terselamatkan saat kudengar adan asar, maka segera kuingatkan pada suamiku agar dia menajamkan pendengarannya. Suamiku tipikal tidak bisa meninggalkan ibadah jamaah di masjid. Jadi begitu dia mendengar adan maka pekerjaan apa pun segera ditinggalkan. Hal ini lah yang menjadi penyelamatku."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!" batinku."Sialan kau, Arini!" Satu kasar lolos dari bibir suamiku, aku hanya diam dan menatap pada lain tempat. Sungguh begitu banyak perubahan yang terlihat nyata pada suamiku. Tutur kata yang sopan, gerak yang lembut seketika hilang. Aku seperti memghadapi sosok pria yang berbeda dalam wujud yang sama."Maka tunggu aku nanti malam, semua akan aku kuasai tubuhmu, Arini. Ingat, hanya milikku!" geram Yahya sambil memakai pakaiannya.Semua pergerakannya hanya aku lihat sesaat, setelah dia keluar dari kamarku segera kupungut gamisku. Tanpa kurasa bulir bening jatuh di punggung tanganku. Segera kusapu pipiku untuk menghilangkan jejaknya."Kau telah banyak be
"Apa ini maksudnya, Umi?" tanya suamiku."Iya itu semua daftar uang masuk dan keluar, Abi," jawabku Suamiku terlihat menggelengkan kepala berulang membuat dadaku makin berdegup kencang. Aku sudah koreksi laporanku itu berkali-kali tetapi sepertinya belum memuaskan."Lihat ini, Umi. Bagaimana uang sebanyak ini habis untuk masuk perut, apa tidak bisa nahan itu mulut?" tanya Yahya padaku dengan nada tinggi."Maksud Abi apa sih, wajar dong jika aku makan sedikit mahal sedangkan Abi yang tidak bekerja saja dengan santainya ambil uang seratus ribu. Untuk apa?" cercaku."Hai, aku kepala keluarga ya. Ingat itu!" "Lalu jika kepala keluarga boleh ya siksa istri sedemikian rupa?" "Umi!" kata Yahya lantang, "Apa kamu mau jadi istri yang durhaka?"Suamiku pun segera bangkit dan menyeretku masuk ke kamar. Dihempaskan tubuhku di atas ranjang king size yang baru saja aku beli dua bulan yang lalu. Tubuhku seketika memantul. Kedua tungkaiku dia tarik hingga ke tepian ranjang, kemudian di bukanya leb
Aku pun mengikuti apa yang dipesankan oleh suamiku itu. Cukup lama aku terdiam menunggu hingga hampir pagi. Lalu saat menjelang subuh, suamiku belum juga pulang. Dengan kesal aku bangun dan mandi junub. Entah rasanya begitu sakit, dia yang inginkan kehangatan ranjang dia pula yang tinggalkan. Bahkan di saat aku mulai menikmati sentuhan itu.Cukup lama aku membersihkan tubuh ini dalam kamar mandi. Masih terlintas peristiwa tadi malam, air mataku terasa mengalir bersamaan guyuran air. Kubiarkan air mata itu keluar hingga membuatku sesak. "Beginikah rasa memiliki seorang madu? Begitu sabarnya para istri nabi, sungguh aku tidak berdaya!" ujarku dengan nada rendah sambil menghempas gayung.Sakit hati begitu dalam, luka yang awalnya sudah sedikit tertutup kini mulai membuka perlahan. Sungguh aku ingin berteriak sebebasnya meluapkan semua kecewa dan gundahku."Tuhan, hanya padaMu aku berserah diri. Beri aku petunjuk dalam menyikapi sakitnya hati bila diduakan!" pintaku dengan tulus.Aku pun
Segera kulajukan kendaraan roda duaku begitu Zahra siap diboncengan. Tidak butuh lama waktu yang aku butuhkan untuk mengantar sekolah putriku. Setelah anak gadisku turun, aku pun melajukan lagi kendaraanku menuju arah pulang.Saat sampai di halaman rumah kulihat sudah ada suamiku melayani pembeli. Aku pun memarkirkan kendaraanku lebih dulu, setelah benar terparkir benar kulangkahkan kaki menuju ke warung. Rupanya pembeli ayam itu adalah pembeli baru. Akhirnya aku memutuskan untuk memanasi lima ayam rebusan sisa."Apakah masih lama, Pak?" tanya pembeli itu."Ini ada yang sudah matang dan dipotong. Apakah ibu mau yang ini atau nunggu yang sedang dibakar?" tanyaku dengan nada sopan."Yang sudah jadi saja lah, Bu. Tetapi apakah tidak apa jika saya bawa yang itu, Bu?" "Tidak apa kok, Ibu. Toh belum diambil dan ini masih hangat juga, coba dilihat dulu!" pintaku.Ibu itu pun maju untuk melihat ayam yang sudah lebih dulu aku bakar sebelum mengantar Zahra tadi. Lalu reaksinya adalah sebuah se
"Apakah uang yang selama ini abi ambil harus diungkap alasannya, Umi? Berhakkah kamu atas semua itu?" cerca Yahya padaku.Aku masih diam menatap dan menunggu apalagi yang dia ungkapkan untuk melakukan pembelaan. Meskipun dia sebagai kepala keluarga tidak seharusnya memberi contoh seperti itu. Aku berusaha melawan tatapan matanya."Apa? Ingin jadi istri durhaka yang tidak bisa mencium aroma surga, begitukah?" Lagi, suamiku menghakimi aku dengan dosa dan aroma surga.Sebagai seorang muslim, pasti inginkan surga dengan berbagai cara yang halal. Namun, apakah cukup dengan berbakti pada suami kita bisa menghirup udara surga dengan bebas? Pasti tidak, ada berbagai cara dan jalan yang sudah di gariskan."Apakah ada salahku untuk menanyakan hal itu, Bi? Apa bedanya aku dengan Abi? Aku yang kerja setiap hari, sementara Abi ...?" Kuberanikan diri untuk melawan kalimatnya, hatiku berdebar. Ini adalah satu langkah berani yang aku ambil selama ini. Dulu mungkin aku hanya diam mengikuti alur yang
Hari terus berlalu dan sudah berganti bulan. Aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan yang semakin menghimpitku. Kini setiap hariku semakin mendekat pada Robbku. Dengan begini hati menjadi tentram, meskipun aku tetap tidak bisa bohongi diri dengan suasana hati.Seperti hari ini, entah mengapa sejak pagi suamiku sudah ikut membantu kegiatan warung. Mulai memanasi ayam rebusan hingga membakar semua pesanan pagi. Aku hanya diam saja, kemudian dia pun berucap akan membawa istri sirinya untuk ikut tinggal di rumahku sementara. Seketika emosiku bergolak dan langsung menolak dengan kata menohok."Abi saja disini numpang kok, apa tidak malu membawa istri lain untuk masuk ke rumahku?""Hanya sementara, Umi. Kontrakannya habis masa, setelah abi bisa belikan rumah sederhana barulah dia pindah bersama anaknya," pinta suamiku dengan nada rendah."Tidak, sekali tidak tetap tidak. Maaf!" jawabku tegas.Lelakiku langsung berjengit kaget mendengar kalimatku yang lantang dan tegas. Kemudian Yahya ban