Aku menunggu hingga jam menunjukan pukul 14.00. Ayam bakar pesanan itu belum diambil dan Bulan juga sudah ada di warung. Karena sepi, aku dan Bulan duduk santai di depan warung. Kami berbincang mengenai aplikasi tok tok yang menyajikan live streaming. Aku begitu antusias apalagi harga yang ditawarkan lebih murah daripada harga nyata."Akun milik Emak Debi ini lho gamisnya bagus dan kainnya lembut, Bulan. Habis ini pesananku datang. Aku sudah tidak tahan ingin tahu sepeerti apa gamis kok harganya bisa murah," kataku."Iya, Mbak. Akhir-akhir ini tok tok makin ramai buat live streaming berbagai produk, bahkan jualan kenikmatan pun ada," jawab Bulan."Dunia mulai tua, Bulan. Pada pendosa makin terlihat nyata tanpa rasa malu," timpalku.Samar kudengar suara kendaraan bermotor memasuki halaman rumahku, segera kupasang cadarku kembali. Memang saat berdua hanya dengan Bulan, cadarku terkadang aku buka jadi ketika ada pembeli datang dari ujung pagar segera kupasang lagi."Iya, Bu, silakan dudu
Seperti apa yang aku dengar tadi di telepon wanita itu, Yahya tidak pulang. Ini berarti suamiku bermalam di rumah Salma. Hatiku kini semakin kosong dan dingin. Hanya sebagai kodratku saja yang masih aku jalani yaitu sebagai istri dan ibu. Zahra pun kulihat juga sudah biasa akan tidak pulang abahnya.Malam telah terlewat, pagi pun tiba tepat jam enam pagi suamiku pulang. Dia menunggu di depan kebetulan Zahra sedang memakai sepatu jadi Yahya menawarkan diri untuk mengantar Zahra. Anakku itu pun menyetujui niat abahnya.Aku merasa lega, setelah kepergian Zahra segera kulanjutkan kerjaan di warung, semua aku bersihkan juga mulai memanasi ayam rebusan. Saat mau angkat ayam setelah aku panasi sebuah tangan ikut membantu. Aku tahu itu milik siapa. Akhirnya panci itu pun terangkat dengan dua tangan yang berbeda."Aku ingin bicara sama, Umi!" kata Yahya."Iya nunggu Bulan sampai dulu," jawabku."Tinggal saja warungnya, sekalian kita sarapan bareng. Aku tadi beli nasi padang kesukaan kamu, Lho
Saat tegang aku terselamatkan dengan adanya telepon dari Bandung, lebih tepatnya dari Adam. Segera ku angkat panggilan itu yang ternyata panggilan vidio call."Asslaamualaikum, Umi! Ini Halimah sudah lahiran, anak kami laki-laki bernama Arkan," kata Adam dengam rona wajah yang bahagia."Waalaikumsalam, wah tampan banget!" pujiku saat kamera di hadapkan pada bayi merah."Tetapi maaf ya, Umi. Lebaran nanti mungkin Adam dan keluarga tidak pulang lagi, nunggu Arkan besar sekitar sembilan bulan usianya. Boleh ya, Umi?""Iya, tidak apa, Adam. Jaga baik keluargamu, komunikasi penting. Nanti jika ada rezeki lebih umi datang ke Bandung!""Iya, Umi. Terima kasih," balas Adam.Aku melihat pada wajah suamiku yang penasaran akan cucunya. Dia yang ayah kanndung tidak dihubungi secara pribadi, justru anaknya memilih menghubungiku lebih dulu. Inilah kekuatan istri dan ibu yang sabar juga iklas. Semua pasti ada balasannya tanpa kita pinta."Berapa berat badan dan tingginya, Adam? Lalu kesehatan Halima
AAku tiDAk mYangka jika kehidupan bisa secepat ini berubah, dulu aku begitu polosnya kini sedikit lebih berani meski dalam batas tertentu. Mungkin karena rasa sakit yang sering aku rasakan akibat perbuatan yang dilakukan oleh Yahya.Memang sekilas apa yang aku rasakan adalah hal yang biasa bagi sebagian orang yang paham akan ilmu polligami. Tetapi bagiku poligami tetaplah hal yang menyakitkan. apalgi maduku itu terbialng masih muda dan janda dengan anak enam. Rasanya begitu tidak iklasnya aku akan harta yang selalu dia bawa untuk istri mudanya.Bukan karena alasan yang sipel yaitu tidak iklas, malainkan betapa tidak sopannya Yahya membawa hasil keringatku untuk menafkahi istri mudanya itu. Secara ilmu agama semua kebutuhan istri adalah kewajiban suami untuk penuhi hingga akhir hayat."Sudahlah semua sudah disuratkan dalam kisah hidupku," batinku.Semua masih diluar nalar yang tidak bisa terjangkau oleh pola pikir manusia pada umumnya. Tetapi aku selalu berusaha ikla
Kuberanikan diri untuk melangkah ke warung dimana tercium aroma ayam bakar. jika ada asap pasti ada apinya dan pelaku. "Alhamdulillah Adam! Umi kira siapa, kok sudah ada di rumah sih," kataku saat kulihat Adam mulai pembakaran ayam yang entah yang keberapa."Hehe, maaf Umi! Adam pulang tidak memberi kabar lebih dulu. Ini sengaja aku lakukan sekedar ingin membuktikan apa yang Umi ceritakan selama ini. Bukannya Adam tidak percaya apa yang Umi katakan," papar Adam."Iya umi maklum. Secara Yahya kan dia abah kamu. Bagaimana pun pasti ada pembelaan kecil yang kamu lakukan, umi tidak apa kok, Adam."Sesaat Adam menatapku penuh tanya, sorot matanya mengisyaratkan bahwa dia pun sedikit ragu akan perkataanku itu."Kok seperti itu menatap ke umi lho, Dam. Ada apa sebenarnya?" tanyaku."Tidak apa, Umi. Aku hanya penasaran saja sama tingkah abah. Masak ada menantu juga akan seperti itu," balas Adam."Kita lihat saja, bagaimana sikap abah kamu itu, Dam. Eehh, ini artinya Arkan ikut juga dong?"
Sudah tiga hari Adam dan keluarga kecilnya ada di rumah, tetapi suamiku belum terlihat pulang. Sudah aku hubungi lewat chat bahkan kutelepon juga masih tidak ada respon. Adam sampai geleng kepala. Terakhir suamiku meminta ijin hendak berdakwah di sekitar Tambaksari yang kebanyakan kaum tuna susila."Apakah abah sering seperti ini, Umi?" tanya Adam suatu hari.Aku tidak menjawab secara lisan, hanya anggukan kepala. Hari itu hari sabtu, biasanya week end sepeerti ini jualanku akan ramai. Selain itu hari sekolah Zahra libur, jadi putriku itu bisa bermain sepuasnya dengan Arkan."Jangan di gendongin ae, Zahra! Kasian nanti Mbak Halimahnya," kataku pada Zahra yang gemas ingin gendong Arkan."Habis gemesin lho, Umi. Mana adik bayinya sudah pandai merangkak," kata Zahra.Aku tersenyum simpul, kemudian kutinggalkan saja mereka bermain bersama Arkan. Kulanjutkan langkahku menuju ke warung, tadi terlihat ramai. Alasan itu yang membuat aku beranjak dari dudukku."Umi ke warung dulu, mau bantu Mb
Langkahku tidak mampu mengejar suamiku, dia lebih dulu membuka gagang pintu. Namun, tidak terlihat keterkejutam di wajah datar Yahya. Aku sedikit bingung, yang datang itu anak kandung dia sendiri bahkan bersama istri dan anaknya. Berarti cucu dia, tetapi wajahnya masih sama, datar."Assalamualaikum, Abi!" sapaku sambil ikuti langkahnya memasuki kamar pribadi kami."Waalaikumsalam," balasnya, "Ada perlu apa lagi mereka pulang hari ini, Umi? Dam kamu, mengapa tidak memberi kabar padaku?" cercanya padaku.Aku hanya tersenyum sambil menerima sodoran pakaian yang sudah dia lepaskan. Kulihat tubuhnya direbahkan dengan perlahan, sangat jelas jika suamiku itu lelah. Entah apa yang membuatnya selelah itu. Hal yang tidak pernah aku lihat, tubuhnya begitu kelelahan yang amaat sangat."Tidak boleh seperti itu, Abi. Bagaimana pun dia adalah pembuka pintu rezeki kita, jadi jangan sia-siakan. Tidak baik itu!" kataku mencoba melunakkan perasaannya yang sedikit kaku."Bukan menyiakan mereka, Umi. Hany
Aku diam mematung akan bisikan suamiku. Sungguh rasanya begitu nyeri hati ini. Bagai tertusuk sembilu, perih. Entah apa sebabnya hanya bisikan ajakan bercinta saja bisa membuat hatiku nyeri dan perih. Sesaat kuremas kain gamisku yang menutupi dada, remasan tanganku tidak terlihat karena berada dibalil hijabku. Biasanya aku tidak pakai hijab bila berada di dalam rumah, karena semua yang ada di dalam rumah adalah mahrom bagiku tanpa kecuali. Bahkan dengan Adam pun tekadang aku tidak pakai hijab. Namun, sejak suamiku melakukan poligami aku merasa dia adalah orang lain."Kok diam saja, Umi. Dan ini, sejak kapan jila di rumah Umi selalu pakai hijab. 'Kan abi jadi tidak bisa leluasa mengecup dan menyesap tengkuk Umi. Jujur abi kangen!" bisik suamiku sambil tapak tangannya menelusup ke balik hijabku.Perlakuan suamiku membuat aku bergidik dan merinding. Aku masih diam, melihatku yang masih diam pun Yahya mulai memberanikan berbuat lebih. Tangannya mulai menelusup masuk ke balik hijabku. Aku