"Abi!" kataku menekan.Kulihat suamiku segera menghembuskan napas panjang dan meraup wajahnya, dia seakan menyesal telah bersuara tinggi terhadap putrinya. Zahra pun memelukku, lalu isak tangisnya makin terdengar memilukan. Segera kurengkuh bahunya, perlahan kuusap punggungnya agar kesakitannya segera menurun."Zahra, malu Umi, Abah!" lirih Zahra memulai bercerita.Aku menatap suamiku penuh tanya. Sementara suamiku hanya menggeleng seakaan menjawab pertanyaanku. Kutunggu tangis Zahra sedikit mereda, lalu kembali kulihat wajahnya yang sendu."Ceritalah, Sayang!" pintaku lembut.Zahra menghirup udara sebanyak mungkin, aku masih setia menunggu apa yang ingin dia katakan. Manik mata yang indah dan bersinar ceria kini sorot itu menjadi sedikit sendu. Entah karena apa karena dia belum ungkap semua yang dirasakannya."Umi, apakah abi sedang menjalin hubungan dengan wanita lain selain Umi?" tanya Zahra dengan nada yang sangat rendah.Aku masih mendengar apa yang dia tanyakan, tetapi entah sua
Apa yang diceritakan oleh Zahra membuatku semakin merasa sakit. Yang aku inginkan adalah jangan mengumbar apa yang tidak seharusnya dipublikasikan. Kasih sayangnya bahkan perhatiannya padaku pun sejak dulu tidak pernah dia ungkap di kalayak umum. Zahra masih terus merajuk bahkan tertidur dalam keadaan sesenggukan. Aku tidak bisa berkata, hanya diam meninggalkan putriku yang sudah tidur karena kelelahan dalam tangisnya. Semua chat Adam mengenai status wanita itu pun kubiarkan saja tanoa berniat kuhapus.Lalu aku beranjak meninggalkan suamiku yang masih asyik berbalas chat menuju ke warung. Bukan berniat melarikan diri tetapi kebetulan saat itu adalah jam pulang bagi Bulan dan memberinya gaji untuk satu minggu ini. Tanpa pamit kutinggalkan saja suamiku itu."Mbak, aku sudah selesai lho. Pulang dulu, Ya!" pamit Bulan dengan lantang karena aku belum tampak keluar.Gegas kupanjangkan langkahku agar segera sampai di pintu utama rumah. Sebelum sampai pintu aku berteriak pada Bulan agar menu
Sepanjang malam aku hanya diam tanpa niat untuk merasakan apa yang disentuh. Aku sama sekali tidak membalas sentuhannya, bahkan tubuhku bagai pohon pisang yang hanya terbujur kaku. Yahya masih terus menggauliku meski aku tidak merespon sentuhannya. Ingin mengatakan stop, tetapi rasanya tidak berhak aku untuk itu. Dia suamiku, barhak atas tubuh dan menafkahiku. Namun, aku juga berhak menolak jika merasakan sakit, dan aku saat ini merasakan kesakitan atas derita dan dzolimnya. Kuhirup udara sebanyak mungkin agar setiap rongga dalam tubuhku terisi penuh. Aku tidak peduli jika dikatakan sebagai wanita yang egois, tetapi ini sudah aku katakan saat awal pernikahan dulu. Juga beberapa bulan yang lalu saat dia ijin untuk poligami, dan inilah jawabanku hingga akhir hayat. Suamiku boleh saja nikah siri di belakangku dan membawa harta apa saja untuk istri mudanya, tetapi jangan salahkan sikapku jika menjadi dingin.Dia yang memulai, maka dia pula yang harus akhiri semua jika inginkan suatu ken
Akhirnya dengan muka bantalnya, Zahra bangkit dan mengikutiku menuju ke depan mengantar abahnya yang akan pergi dakwah ke Papua selama kurang lebih dua bulan. Zahra pun memeluk abahnya sesaat lalu mengurai pelukannya dan berpindah padaku. "Abah pergi dakwah dulu ya, Zahra. Jangan nakal bila tidak ada abah. Kasihan Umi!" pesan Yahya pada anaknya."Siap, Abah!" jawab Zahra. Sementara padaku, lelaki itu hanya menatapku penuh harap. Namun, aku hanya menatapnya datar saja tanpa senyum. Melihatku yang tidak ada respon akhirnya dia pun segera melajukan kendaraannya meninggalkan halaman rumahku.Setelah tidak kulihat lagi punggungnya, kuajak Zahra masuk ke dalam dan segera menyuruhnya untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Lalu aku pun masuk ke dalam kamar. Kubula almari pakaian yang biasa dipakai Yahya untuk menyimpan sebagian laba dari penjualan ayam bakar setiap harinya.Aku terhenyak dan membekap mulutku kala kulihat dua ikat uang kertas berwarna merah lenyap beserta buku tabunhan warna or
Aku menamati wajah kedua tamuku itu, ingatanku melayang beberapa bulan yang lalu. Rasanya aku pernah menerima tamu ini, hanya lupa namanya. Aku beberapa kali menanyakan siapa namanya, tetapi mereka hanya tersenyum. Apalagi si wanitanya hanya diam saja menatapku penuh tanya."Sebutkan saja nama kalian, aku tidak akan mengatakan pada suamiku," pungkasku."Saya Baniyah dan ini suamiku Syarifudin, Bu Arini," jawab tamu wanitaku itu.Mendengar dua nama yang dia sebutkan seketika dahiku menyatu, menciba membuka lembar memory di otakku. Beberapa saat aku mulai ingat. Mereka pernah silaturahmi untuk membeli ayam bakar sebanyak 30 ekor dalam acara syukuran kelahiran putra mereka. "Hemm, bukannya kalian yang dulu memesan ayam bakarku dengan jumlah 30 ekor ya, Bu?" tanyaku, "Lalu Anda tertarik dengan pondokan yang serinh dikunjungi oleh suami saya, Pak?" tanyaku pada tamu priaku itu."Benar, Bu," jawab Syarifudin, "Kemarin saya tertarik untuk ikut dakwah, tetapi hanya satu kali," lanjutnya."Ko
"Hari ini adalah pernikahan sirinya Pak Yahya lho, Bu Arini. Apakah Ibu tidak ingin datang?" tanya pembeli itu.Aku kembali diam, terbersit tanya ada apa dengan hari ini? Mengapa begitu banyak orang yang tahu akan pernikahan siri suamiku, sedangkan aku bagai seekor kerbau dungu yang hanya nurut apa kata majikan. Aku pun akhirnya hanya mengangguk dengan senyum tipis di balik cadarku saja."Iya sudahlah, Bu Arini. Tidak udah dipikir meski memang dalam lukanya, yang penting anak masih sayang!" saran pembeli itu."Iya, Bu. Siap," jawabku, lalu kusiapkan ayam bakarnya yang sudah selesai dibakar oleh Bulan."Ini ayamnya, Bu!" kataku.Ibi itu pun menerima ayamnya dan memberikan selembar uang kertas berwarna merah. Kuambilkan uang kembalian sepuluh ribu rupiah. Setelah semua sudah selesai, pembeli itu langsung belik kanan dan segera melajukan kendaraannya."Ini hari apa to, Mbak? Sial dan ramai datang bareng. Rasanya kok aneh," kata Bulan."Senin ini, Bulan," jawabku. "Semua sudah diatur, Bul
Hari-hariku tanpa suami terasa bebas, uang aku sendiri yang pegang dan atur. Mau aku belikan apapun juga tidak ada yang marah. Namun, aku juga bukanlah wanita yang botos. Hanya semau masuk dalam saku sendiri berapa pun laba setiap harinya dan aku tidak perlu membuat laporan keuangan setiap hari.Justru saat Yahya berdakwah saat inilah pembeli banyak yang datang. Ini mungkin karena dia sedang mengajak banyak orang menuju ke jalan Allah. Jika seperti ini mungkin aku bisa sedikit lega jika suamiku berpoligami. Nah ini, dia sama sekali tidak bekerja hanya makan tidur, main game online dan lainnya yang ke semua adalah kerjaan yang tidak bermanfaat.Aku masih bersyukur diberi kelancaran dalam mencari sesuap nasi, seperti kata para alim ulama bahwa rezeki sudah ada yang atur sesuai porsinya. Jadi meski kita mengupayakan bila belum waktunya dapat iya tidak akan turun. Namun, tanpa kita minta pun rezeki itu bisa datang dari arah yang tidak kita kehendaki."Ah, sudahlah. Biarkan saja," gumamku.
Hari terus berlalu, si Yahya pun sudah satu bulan tidak pulang. Aku masih seperti biasa jalani rutinitas jual ayam bakar bersama Bulan. Sesekali Abdul dan Adam telepon bergantian. Pernah suatu hari kedua telepon bersamaan yang rupanya memang merwka sengaja untuk merayakan hari ulang tahun Zahra.Putriku itu suka bahkan dia sangat terkejut akan prilaku kedua kakaknya itu. Meski sekarang Adam tinggal jauh dai Bandung dia sesekali menelepon Zahra. Juga terkadang mengirim sesuatu untuk adiknya. Istri Adam pun tidak merasa keberatan atas prilaku suaminya itu. Justru dia begitu sayang secara tulus pada Zahra.Lama tak mendengar kabar dari adam hati merasa sedikit khawatir. Entah apa yang terjadi tiba-tiba hatiku merasakan hal itu. Aku berharap semoga dia baik-baik saja. Baru saja aku membatin kudengar ada panggilan masuk, segera kuraih ponselku yang terletak di meja makan."Assalamualaikum, Umi!" kata Adam." Waalaikumsalam, apa jkabar Adam?" tanyaku."Baik, Umi. Adam hanya mengabarkan jika
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,