Penerbangan pulang saat ini terasa begitu cepat bagiku, Zahra yang duduk di pinggir jendela pun terlelap dalam mimpi. Perjalanan pulang kali ini tidak seperti saat keberangkatan kami. Saat berangkat untuk memejamkan mata terasa sayang, apalagi begitu melihat pesona alam dari atas sungguh indah. Namun, saat pulang rasanya sudah lelah hingga mata susah buat terjaga Aku pun terbangun saat merasakan adanya guncangan pesawat saat menabrak awan putih. Menurut penglihatanku awan itu bagai bangun datar seperti tanah yang saling terhubung tidak seperti saat aku lihat di bawah. Sungguh kuasa Tuhan sangatlah luas."Umi!" lirih Zahra. Aku pun menoleh pada gadis kecilku, lalu kuusap lengannya lembut. Kemudian kedua matanya kembali terpejam, begitu pun denganku. Beberapa menit kurasakan adanya sentuhan lembut pada lenganku. Rupanya Yahya membangunkan aku ketika samar kudengar adanya pemberitahuan dari pramugari bahwa pesawat akan melakukan proses turun."Segera pasang kembali sabuk pengamanmu dan
Mobil yang membawa keluargaku akhirnya sampai di depan rumahku. Terlihat lampu teras menyala dan warung sudah tertutup rapat, hal ini menandakan bahwa kedua karyawanku mengikuti perintahku. Mereka pulang sesuai jadwalnya.Aku dan Zahra segera keluar dari mobil diikuti oleh suamiku. Aku yang sudah turun lebih dulu dan membawa kunci pun akhirnya aku juga yang membukakan pintu rumah. Kuhela napas lega dengan mengucap salam begitu kaki kananku melangkah memasuki rumah. Hal yang sama dilakukan oleh Zahra."Assalamualaikum!" salam Zahra."Waalaikumsalaam!" jawabku.Kudengar kekehan lirih yang keluar dari mulut putriku, kemudian tangan kecilnya membekab mulutnya sendiri. Aku menjadi tertawa tertahan. Yahya yang melihat kami pun menjadi ikut tersenyum dan dia pun melangkah masuk ke dalam kamar kami. Beberapa saat kemudian dia pun keluar sudah berganti baju dan mendorong kendaraannya."Mau kemana, Abah?" tanya Zahra."Abah mau beli nasi padang, pada lapar 'kan kalian?" tanya Yahya.Aku dan Za
Aku memulai hari kembali bekerja, aktifitas pagi menyiapkan ayam rebus dan lainnya. Membungkus sambel dan lalapan. Kuedarkan pandanganku, melihat apa saja yang akn aku mulai lebih dulu. Dan kuabsen satu per satu bahan baku untuk menunjang kelancaran jualanku hari ini."Ayam rebus masih ada, sambel bungkus masih cukup, lalapan? Harus beli lalapan dan lombok tampar ini," gumamku setelah melihat semua stok bahan.Aku pun gegas membersihkan lantai, menyiapkan yang lainnya hingga Topan datang barulaj semua selesai termasuk menimbang isi perut ayam dan kakinya yang sudah direbus. Topan pun mulai bersiap menata perapian buat bakar ayam pesanan jam delapan sebanyak 5 kotak. "Aku belanja bahan untuk bumbu dulu, Pan. Nanti jika Pak Bos mencariku katakan kemana aku pergi!" pesanku pada Topan.Aku hanya mendengar jawaban lirih atas pertanyaanku tersebut tanpa pemuda itu mengangkat kepala menatapku. Kedua karyawanku sangatlah mengjargai aku yang seorang hijaber. Keduanya selalu menjaga pandangann
Aku pun kembali melanjutkan langkahku, setelah berada di dalam kamar segera kulaksanakan apa yang sudah menjadi niatku tadi. Kebentangkan sajadah dan memakai mukena. Semua urutan dalam ibadah sunnah duha selesai aku laksanakan, kini kembali aku mengadu pada Robbku. Dengam suara lirih, kuceritakan semua keluhku. Hanya pada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. Karena sejelek apapun perbuatan suamiku itu adalah aibku, maka tidak sepantasnya aib suami kita sebarkan pada kalayak umum. Cukup mereka sendiri yang lihat dan mengeluarkan pendapat, sementara aku hanya sebagai pendengar saja.Kutumpahkan semua rasa sesak di dada akibat polah suamiku, aku pun juga tidak berniat untuk membalas perbuatan suamiku. Cukup sakit ini aku terima, mungkin dikehidupan sebelumnya aku pernah berbuat salah sehingga saat inu aku ditegur oleh Tuhanku. Aku pun kembali bermunajat memohon ampunan dan perlindungan juga jalan keluar terbaik untuk segala masalahku.Kulipat mukenaku dan sajadah, setelah rapi aku k
Aku hanya diam saja mendengarkan semua pendapat Yahya hingga kudengar napas kasar. Setelah puas mengungkap semua pendapatnya, Suamiku langsung masuk kamar untuk menyimpan uang hasil penjualan. Aku masih diam menunggu upahku hari ini. Dan benar, setelah beberapa menit dia keluar lagi dengan membawa dua lembar uang kertas beda warna."Ini upah buat jajan Umi. Semangat lagi ya kerjanya, biar bisa bangun kamar atas buat kedua anak laki kita!" "Doa kan saja agar tubuhku selalu sehat untuk penuhi inginmu meski tanpa bantuanmu, Bi!" pintaku tulus."Apa maksud dari perkataanmu itu, Umi?" hentak Yahya.Aku yang tadinya akan beranjak dari dudukku dan sudah berdiri, seketika berdiri mematung. Entah sejak kapan priaku itu mulai sering meninggikan suaranya. Malam ini dia terlihat begitu emosi. Aku sendiri sampai bergidik."Bukankah apa yang aku ucapakan benar adanya, Bi? Salahkan aku jika minta doa dan ridho suami?" tanyaku.Yahya, lelakiku itu kembali diam. Namun, tatapan matanya semakin tajam h
Aku terdiam memikirkan apa yang akan kuputuskan mengenai hal ini. Pemasok ayam libur selama dua hari, dengan alasan ayam langka dan sulit di dapat. Untuk saat ini di kandang mereka masih ada lima puluh ekor saja. Namun, untuk membeli lagi aku belum ada modal. Huuft!"Kalau aku pesan untuk besok, bisakah?" tanyaku pada akhirnya."Bisa, Bu. Mau pesan berapa biar nanti aku katakan pada majikan saya?" tanya pengantar ayam itu."Tidak banyak, cukup lima belas saja," jawabku."Baik, Bu. Saya pamit!" Pengantar ayam itu pun langsung balik kanan setelah berpamitan padaku. Begitupun aku, segera masuk ke rumah untuk mengabarkan hal ini pada suamiku. Langkahku terhenti seketika kala kudengar suara suamiku bernada tinggi. "Sedang bicara dengan siapa?" gumamku."Sudah jangan banyak omong, pakai saja uang itu dulu! Nanti saat aku datang kuberi lagi." suara suamiku yang aku dengar.Lalu aku berdiri di depannya sambil menyodorkan selembar kertas dari pengantar ayam gembungan. Kulihat wajah Yahya pia
Semua sudah diatur oleh sang pembuat hidup, kita layaknya hanya wayang yang dilakonkan oleh seorang dalang. Hanya bedanya kita memiliki otak untuk memilih jalan mana yang akan kita tuju. Begitu pun dengan Yahya--suamiku. Andai dia memilih tidak berpoligami, maka masalahnya tidak akan serumit ini. Atau jika dia, memilih untuk bekerja giat maka bisa saja berpoligami secara adil baik finansial maupun rohani.Nah, ini? Jangankan bekerja, untuk berdakwah saja saat ini sudah berkurang semangatnya. Dulu saat awal nikah, suamiku begitu semangat untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Mengajak mereka yang belum mengenal Tuhan ke jalan Islam. Bahkan dakwahnya sampai ke negeri seberang.Aku tidak habis pikir, tetapi semua sudah kepalang basah jadi lebih baik mandi sekalian. Mungkin ini yang cocok dengan hidupku. Yahya adalah pilihanku dulu, semua tidak semudah membalikkan telapak tangan bila berhubungan dengam satu kata SUAMI.Kata cerai hanya sah terlontar dari bibir suami, jika keluar dari is
Hari terus berlalu, harga ayam pun mulai stabil dan para pembeli sudah kembali berdatangan silih berganti. Hari ini Topan ingin keluar dari kerjaan, dia beralasan ingin berwirausaha sendiri dengan ternak ayam petelur. Aku pun hanya bisa memberi dukungan yang terbaik.Setelah keluarnya Topan, kini aku sering jualan sendiri. Hal ini membawa dampak yang tidak baik untuk kesehatan dan sirkulasi penjualan. Setiap sepertiga malam, aku selalu berdoa untuk diberi kesehatan dan kesabaran dalam jalani hidupku. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi mengikuti jalan pikiran suamiku itu Bagaimana bisa dia berbuat seperti itu dalam membagi cinta, tanpa dia ada usaha dibidang ekonomi. Bahkan secara suami, dia pun belum penuhi kebutuhan anak istri dari segi sandang, pangan dan papan. Hanya satu yang sudah sering dia berikan yaitu nafkah batin. Namun, nafkah batin ini pun banyak artinya lho. Bukan sekedar seks, bisa diartikan juga dengan hati. Terkadang, bukan terkadang bahkan sering para pria salah me