Saat Shanti menarik-narik dengan kuat, tiba-tiba perawat datang membuat sebuah suntik yang sudah berisi cairan, dan menyuntikkan obat tersebut ke bahu kanan Shanti. Dan, beberapa detik kemudian, obat tersebut langsung bekerja. Shanti yang tadinya begitu tempramen, tampak tenang "Semoga obat ini bisa membuat pasien lebih tenang dan bisa juga beristirahat," ucap dr. Salsa."Banyak-banyak berdoa ya, Bu. Semoga Allah berikan ibu kemudahan dan kelapangan hati. Sekarang ibu istirahat."Shanti mengangguk pasrah, tak lagi berontak seperti tadi."Saya tinggal dulu." Dr. Salsa dan perawatnya bersamaan meninggalkan Shanti."Identitasnya juga tidak ada bu. Harusnya kita sudah bisa lapor," ucap perawat."Harusnya begitu, hanya saja, ketenangan pasien tersebut lebih diutamakan saat ini. Jangan sampai dia depresi berat." Kemudian, keduanya berpencar sesuai tugas masing-masing.Kurang lebih tiga puluh menit merasa tenang, Shanti pun tertidur. Jika tidak ada kondisi lain, Shanti bisa tudur dengan pul
"Nanti kami jelaskan jika bapak sudah di sini," sahut perawat singkat dan detik kemudian perawat tersebut berpamitan untuk menutup telepon.Dibalik leganya mendengar maminya selamat maut, sisi lain yang tak bisa diredam, debar jantung Arjuna semakin tidak karuan. Terbayang sudah hal paling buruk di benaknya."Tidak … Tidak … Jangan sampai hal buruk itu terjadi," gumamnya menepis bayangan buruk tadi."Yang penting mami selamat."Arjuna membangunkan Pak Sobri yang ternyata sudah terlelap tak lama mereka saling mengelak untuk tidak beristirahat."Pak … Pak … bangun …!" Arjuna memukul pelan bagian kaki Pak Sobri, akan tetapi lelap yang menyelimuti tak mampu membuat Pak Sobri terjaga.Dia mengulang memanggil hingga tiga kali banyaknya, tetap saja tak membuahkan hasil.Akhirnya, Arjuna memutuskan untuk bangkit dari sofa, bertolak ke kamar mandi untuk cuci muka. Kemudian, dia ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Tidak mungkin sekali terbang ke Jogja dalam keadaan kumal dan bau keringat seper
Belum sempat terlontar pertanyaan dari mulut Arjuna setelah melihat secara langsung keadaan Shanti, sang perawat sudah langsung mengambil sikap."Mari ikut saya, Pak. Ada dokter yang lebih berkompeten menjelaskan."Mbak, Anda itu sengaja membuat saya semakin panik, ya? Kenapa saya nggak dari tadi dipertemukan dengan dokternya. Kalau begini sama saja buang energi saya. Kini suara Arjuna sudah mulai sedikit lantang.Kurang tidur, belum makan, ditambah lagi diperlakukan seperti itu membuat Arjuna tak bisa lagi sabar menghadapi situasi.Tahu keluarga pasien yang ditanganinya itu semakin panik hingga mengeluarkan suara yang lebih vokal, perawat itu pun meminta maaf."Maaf, Pak. Bukan berniat membuat keruh dan panik, tapi biarlah yang kompeten menjelaskan ke bapak. Saya tadi begitu, biar bapak nggak shock saja. Sekali lagi saya minta maaf."Perawat itu mengetuk pintu ruangan dokter yang menangani Shanti."Permisi, Dok." Disertai dengan ketukan pintu."Anak dari pasien atas nama Ibu Shanti s
"Anak ibu sudah sampai di sini, sekarang sedang sarapan di kantin," jelas perawat.Tadi, saat berpapasan di dekat IGD, Arjuna sempat berpesan pada perawat."Mbak lagi nggak bohongin saya 'kan?""Mana mungkin saya bohong, Bu. Selepas saya mint nomor hapenya sama ibu, saya langsung hubungi."Mata Shanti yang tadinya penuh kecewa, berubah berbinar karena haru."Suruh dia kesini, Mbak! Saya nggak sabar ingin bertemu." Shanti memegang tangan perawat itu dengan tatapan penuh harap."Iya, akan saya telepon, tapi ibu harus semangat buat sembuh, biar kita sama-sama klop berjuangnya, gimana?""Iya, saya janji."Perawat itupun merogoh ponsel dari saku bajunya, kemudian menghubungi Arjuna melalui ponsel pribadinya."Halo, Pak. Saya ingin memberitahu jika ibu sudah bangun.""Oh, oke. Saya segera kesana."Detik itu juga Arjuna langsung membayar dan bertolak ke ruangan IGD. Dalam hatinya jelas tak sabar ingin segera bertemu Shanti."Miii …," panggilnya seraya menyibak tirai.Shanti menoleh bersamaan
Semenjak pertanyaan Shanti itu, Arjuna memang tak banyak bicara. Bukan pertanda marah, hanya saja dia dihantui oleh pikiran bagaimana jika Shanti pergi secepat ini. Sebagai anak, masih ada rasa tidak siapnya.Saat mendorong brankar Shanti dari kamar inap menuju ruangan CT-scan pun Arjuna masih dingin. Sesampainya di ruangan yang dituju, hanya Shanti yang diperbolehkan masuk, sedangkan Arjuna menunggu di luar.Terbesit pikirannya untuk memberi tahu kakak dan adiknya, karena jika benar umur Shanti singkat, Arjuna jelas merasa bersalah karena menunda-nunda memberi kabar, meskipun itu kabar buruk."Halo, Kak," sapanya saat telepon tersambung, Arjuna tengah duduk sedikit membungkuk di kursi tunggu."Heh, kamu. Tumben nelpon?"Sebelum memberitahu keadaan Shanti, Arjuna terlebih dahulu berbasa-basi."Jadi kamu ada apa nelpon? Pasti ada sesuatu 'kan?" tembak Sonia tak sabar."Iya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kakak.""Sesuatunya itu apa? Kakak nggak bisa lama-lama nelponannya.""Ka
Mendekati adzan Ashar Lidya dan Santoso sampai di rumah sakit, Lidya pun menghubungi Arjuna,"Aku sama papi udah di parkiran, mas dimana?""Kamu disuruh Kak Sonia?""Iya, Mas. Kirim ke aku nomor kamar mami dirawat!""Papi gimana?""Aman. Kirim cepat, Mas!"Begitu sambungan terputus, Arjuna lekas mengirim nomor kamar inap Shanti. Dan, Lidya serta Santoso pun bergegas menuju kamar Shanti."Papi udah siap segala kemungkinan buruk soal mami?" tanya Lidya saat berjalan."Siap, tapi semoga kondisi mami kamu nggak parah.""Ya, semoga saja, Pi.Lidya dan Santoso berhenti di sebuah kamar VVIP No. 2 sesuai dengan yang diberikan Arjuna."Ini kamarnya, Pi," ucap Lidya.Lidya pun mengetuk pintu.Tok … Tok … Tok …Saat pintu terketuk, Arjuna dan Shanti hampir bersamaan menoleh ke sumber suara."Siapa itu, Ar?" tanya Shanti."Hmmm …." Belum tuntas Arjuna menjawab, rupanya Lidya sudah lebih dulu membuka pintu."Mamiiii …!" Lidya berlari seiring dengan bulir bening yang turun dari bola matanya."Lidya
Lidya mengetuk pintu tak lama kemudian saat itu juga Shanti terbangun. Bukannya menemui Shanti, Lidya malah berjalan mendekati sofa yang diduduki Santoso, dan tanpa basa-basi langsung mengajak Santoso pulang bersamanya."Pi, pulang sekarang yuk!" ajaknya tanpa rasa segan."Terserah kalau papi sih. Gimana mami kamu juga, boleh apa enggaknya papi pulang sama kamu.""Mi, nggak apa-apa kan aku pulang sama papi? Soalnya ada urusan mi, penting. Kalau nggak, aku mau nemenin mami di sini," sahut Lidya seolah perhatian. Dia melirik sekilas ke arah Arjuna yang acuh."Nggak apa, Lid. Karir kamu jelas lebih penting," balas Shanti seperti yang tadi, dia terlihat memaksakan senyumannya."Aku bareng juga biar nggak repot Arjuna nganterin nanti," kilah Santoso seraya bangkit dari duduknya."Bener, Mas. Makin repot Arjuna nanti, ngerti aku." Shanti sengaja memperlurus ucapan Santoso, dia tidak peduli jika lelaki berusia 65 tahun itu tersindir."Kamu marah sama, Mas?""Buat apa marah, Mas. Udah kalian
Hari ini adalah hari yang sama-sama ditunggu Arjuna dan Shanti, mereka tak sabar terbang ke Jakarta meski dalam keadaan duka."Ternyata, bahagia itu kala seperti ini ya, Ar. Beda banget bahagianya ketika punya tas mewah, mobil keren, jalan-jalan keluar negeri.""Tapi 'kan keadaan mami begini," lirih Arjuna yang pasti merasa prihatin atas kondisi Shanti."Ya nggak apa-apa. Daripada mami hidup penuh dusta dan maruk terus-menerus," sahut Shanti.Keduanya tampak berbincang saat terbang menuju Jakarta."Ya Allah, jika Engkau memanggil hamba, panggil lah aku dalam keadaan husnul khotimah," batin Shanti terus mengatakan itu sejak kecelakaan itu terjadi."Namun, jika boleh meminta, beri hamba waktu untuk memperbaiki diri. Membenahi diri. Mempertebal iman serta taqwa. Hamba takut, jika pulang kepada-Mu tidak ada modal apapun yang akan dibawa."Kata batin Shanti juga tak jauh beda dengan harapan yang disimpan Arjuna dalam batinnya."Ya Allah, jangan ambil mami hamba saat ini. Beri dia kesempata
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.