"Maaf Ning, tapi kayaknya kita nggak bisa lanjutin hubungan ini. Ibuku mau punya menantu seorang bidan atau perawat, supaya katanya ada yang bantu merawat Ibu di masa tuanya."
Deg. Bening, seorang gadis desa yang baru saja mendengar ucapan kekasihnya itu mendadak membeku. “A-apa?” Bening menggumam. Ia merasa seperti mimpi. Kekasihnya, seorang pria yang amat ia cintai selama lima tahun terakhir tiba-tiba mengatakan itu kepadanya. Wildan, sang kekasih yang telah berhubungan dengan Bening selama lima tahun terakhir menatap gadis itu dengan tatapan ragu. Karena tidak ada tanggapan sama sekali dari Bening selain gumaman keterkejutan itu, ia sendiri pun bingung harus mengatakan apa lagi. “Maaf, Ning. Tapi, kamu pasti paham, ‘kan?” Bening menatap Wildan. Sorot matanya tampak terluka. “Jadi, maksudnya gimana, Mas?” Wildan menghela napas panjang. “Ya, begitulah.” Bening mengepalkan telapak tangannya. Begitu? Begitu bagaimana? Selama ini, Bening sudah sangat sabar menunggu kejelasan hubungannya dengan Wildan. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar dalam hubungan kekasih. Bening sudah mengharapkan segalanya, bahwa hubungan mereka akan lanjut ke jenjang yang lebih serius seperti yang telah mereka rencanakan selama ini. Namun, apa-apaan ini? Mengapa Wildan malah bicara begitu? “Begitu bagaimana, Mas? Aku nggak ngerti,” balas Bening. Hatinya sudah hancur lebur, tetapi ia berusaha keras untuk tetap tegar di hadapan Wildan. Wildan menatap Bening dan mengusap wajahnya sendiri. “Bening, aku yakin kamu paham maksudku. Apa iya aku harus menjelaskan secara detail?” “Iya, kamu harus jelasin dengan detail, Mas. Aku nggak paham!” seru Bening. Napasnya mulai memburu. “Alasan kamu itu nggak jelas.” “Kurang jelas apa lagi sih, Ning? Intinya, aku minta maaf karena hubungan kita nggak bisa dilanjutkan.” Bening tersenyum sinis. “Semudah itu kamu mengakhiri segalanya, Mas?” “Ini juga nggak mudah buatku, Ning,” sangkal Wildan. Bening tersenyum kecut. Entahlah, ia merasa bahwa omongan Wildan itu sudah tidak ada artinya. Bagaimana mungkin Wildan tega mencampakkannya dengan alasan yang menurut Bening tidak jelas sama sekali. Rasanya, lima tahun ini sudah tidak ada artinya sama sekali. Bening pun mendesah pelan. “Benar alasannya cuma karena itu?” tanyanya. Wildan mengangguk. “Kalau memang alasannya seperti itu, kenapa Mas Wildan nggak mutusin aku dari lama aja? Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Mas. Dan semuanya sia-sia. Rasanya aku kayak baru aja buang-buang waktu hidupku buat hal yang nggak penting.” “Ning, kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja. Sudah kubilang, ini juga sulit bagiku.” Bening langsung mengibaskan telapak tangannya di depan muka Wildan. “Terserahlah, Mas. Intinya kita berakhir, ‘kan? Haha, konyol banget. Tau gitu aku ambil beasiswaku dulu untuk kuliah. Kalau aja aku nggak nurutin omongan kamu waktu itu, sekarang aku pasti udah sarjana.” Wildan mengerutkan keningnya. “Kok kamu malah nyalahin aku, Ning? Keadaan ini di luar kendaliku. Kalau kita bertahan, nantinya malah susah untuk kita berdua.” “Ya faktanya aku nggak ambil beasiswa kuliahku dulu karena kamu nahan aku, Mas. Katamu, aku nggak usah kuliah aja karena kamu mau aku fokus jadi ibu rumah tangga nantinya, bukan jadi wanita karir. Kamu kira dapat beasiswa itu mudah kali ya? Dan aku mengorbankan itu semua demi menuruti kamu. Tapi sekarang apa yang aku dapat?” Wildan ingin menyangkal ucapan Bening, tetapi ia urungkan. Bagaimana pun, memang ia sendiri yang dulu menahan Bening supaya ia tidak usah kuliah. “Oke, aku minta maaf yang sebesar-besarnya soal itu. Aku mana tau kalau ke depannya bakal seperti ini, Ning. Kalau aku tau, aku juga nggak akan larang kamu buat kuliah. Semuanya udah takdir.” Bening tersenyum tipis. “Takdir, hm… enteng banget kamu ngomong gitu, Mas.” “Lantas aku harus apa, Ning? Aku nggak bisa melawan keputusan orang tuaku.” Bening mengepalkan telapak tangannya. Ia juga tidak tahu bagaimana solusi terbaiknya, tetapi yang jelas ia sakit hati dan tidak terima. Semua ini rasanya seperti penghinaan besar untuknya. “Terserah, kalau mau berakhir ya udah berakhir!” tegas Bening. Setelah itu, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Wildan. “Ning! Bening! Hei… kita belum selesai bicara dan—” Bening menulikan dirinya sendiri. Tidak penting bicara lagi. Poin utamanya sudah jelas, mereka selesai. Meskipun tampak tegas dan lancar membalas ucapan Wildan di hadapan pria itu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia benar-benar sakit hati. Dadanya sesak sekali sampai Bening ingin menangis dan meraung sepuasnya. * Usai berakhirnya hubungan Bening dengan Wildan, semalaman ia menangis di kamarnya. Kelopak matanya sampai sakit dan bengkak karena kebanyakan menangis. Ia merasa semuanya sia-sia, ia sudah membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak berarti. Semalaman itu, kenangan-kenangannya bersama Wildan terus berputar di benaknya. Ia ingat betul bagaimana masa lalunya dengan pria itu. Mereka sudah saling kenal sejak masa-masa sekolah di bangku SMA. Bening adalah kembang desa yang menjadi incaran banyak lelaki bahkan juga duda-duda kaya di sekitarnya. Namun, Wildan adalah pemenangnya. Bening kira, segalanya akan berjalan lancar. Semua Impian menyenangkan yang sudah terpatri di kepalanya perlahan-lahan akan terwujud bersama dengan Wildan, pria yang amat ia cintai. Sayangnya, semua itu hancur berkeping-keping. Dan kehancuran itu justru disebabkan oleh Wildan sendiri. Bening menggigiti bantalnya sendiri. Ia tidak mau tangisnya terdengar. Namun, hal itu justru membuat dadanya semakin sesak luar biasa. “Kenapa… Kenapa jadi gini?” rintih Bening di sela-sela isakannya. Semua penantian panjangnya berakhir dengan sangat mengenaskan. Bukannya happy ending yang ia dapatkan, tetapi ia justru disia-siakan dengan alasan seperti itu. Bening bertanya-tanya, mengapa Wildan tidak mau memperjuangkannya? Mengapa terkesan Bening saja yang berjuang? Lima tahun bersama tentu tidak selalu berjalan mulus. Bahkan Bening rela mengorbankan beasiswa kuliahnya juga demi menuruti permintaan Wildan. Bening merasa itu adalah pengorbanan besar, tetapi mengapa Wildan tidak bisa mengorbankan sesuatu yang sama besar dengannya agar hubungan mereka tetap berjalan? Bening menatap langit-langit kamarnya sendiri kemudian terkekeh miris. “Jangan-jangan, selama ini aku cinta sendirian?” gumamnya kepada udara kosong. Entahlah, ia sudah benar-benar terluka sekarang. Selama beberapa saat, Bening terpekur memandangi langit-langit kamarnya. Ia merasa kosong dan tidak tahu harus melakukan apa setelah semua hal menyakitkan ini. Namun, mendadak ia teringat sesuatu. Bening langsung bangkit dari kasurnya dan mengecek ponsel. Jemarinya menggeser-geser riwayat panggilan yang ada di ponselnya. Beruntung, ia tidak pernah menghapus riwayat panggilan sama sekali. “Ah, ketemu.” Bening teringat ia memiliki nomor komandannya Wildan. Waktu itu, Wildan pernah berkunjung ke rumah Bening lalu komandannya menghubungi. Sayangnya, ketika Wildan menerima panggilan itu, ponselnya malah macet padahal pembicaraan mereka belum selesai. Wildan panik, tetapi ia hafal nomor komandannya sehingga ia meminjam ponsel Bening untuk menghubungi ulang komandannya. Sebuah ide nekat menghampiri benak Bening yang jiwanya sedang terluka. Ia tahu ini ide gila, tetapi ia tidak akan diam saja setelah semua yang sudah dilakukan oleh Wildan. Bening menghapus sisa air mata di wajahnya dengan kasar, kemudian ia menyeringai tipis. “Baiklah, kalau memang kamu semudah itu mencampakkanku, aku bakal deketin komandanmu.” * Bening benar-benar merealisasikan rencana itu. Ia mengambil tabungannya kemudian pergi ke salon untuk meminta make over ke MUA professional. Ia tidak masalah meski harus membayar mahal untuk jasa make over ini, pokoknya ia harus kelihatan cantik tetapi juga alami. Banyak MUA yang bisa memoles make up, tetapi MUA yang bisa memoles make up tetapi juga tetap kelihatan alami tidak banyak. Itu adalah teknik yang sulit dan biasanya mahal. “Ini mau digunakan untuk acara apa ya, Kak?” si asisten MUA bertanya. Bening tersenyum. “Saya ada kencan sama kekasih saya, hehe. Tolong dandani secantik mungkin ya?” Si asisten MUA tersenyum. Ia tidak tahu apa-apa bahwa Bening memiliki rencana besar. Sang MUA professional dan asistennya tidak terlalu mempermasalahkan selama pembayaran lancar. Maka Bening pun mulai didandani secantik mungkin sesuai dengan request yang ia katakan di awal. Hampir dua jam ia didandani. Setelah selesai, ia menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin besar salon, lalu senyumnya mengembang lebih lebar. “Bagaimana? Adakah yang perlu direvisi?” si MUA hendak memastikan. Bening menggeleng. “Semua sudah sempurna. Terima kasih.” Setelah selesai, ia langsung memotret dirinya sendiri secantik mungkin. Ada beberapa foto yang ia ambil. Lalu, ia memilih foto yang menurutnya paling cantik. Nomor komandannya Wildan sudah ia simpan terlebih dahulu. Ia langsung mengirimkan foto itu sembari menyematkan caption yang lumayan provokatif. [Sayang, aku baru pulang kondangan nih. Kita kapan dong jadi mantennya?] Terkirim. Bening tersenyum puas. Hanya beberapa detik setelah ia mengirimkan foto itu, ternyata si komandan langsung membaca pesannya. Bening mengulas senyum semakin lebar. Bersambung...Bening masih menunggu jawaban dari komandannya Wildan di kursi tunggu salon. Namun, setelah sepuluh menit berlalu, pesan tadi tetap tak kunjung mendapatkan balasan yang diinginkan Bening. "Kenapa cuma di-read aja dari tadi, ya? Apa fotoku kurang cantik? Masa sih?" gumam Bening gusar. Bening memutuskan untuk kembali berfoto selfie dengan beberapa pose berbeda. Ia sengaja memilih foto yang menurutnya paling cantik, yaitu dengan pose sedikit memiringkan wajah dan tersenyum manis. Foto itu kembali dikirimkannya kepada Komandannya Wildan. Bening tak lupa menyisipkan caption di foto tersebut. [Sayang. Balas dong.]"Nah, dibaca! Kali ini pasti dibalas!" gumam Bening semangat.Sayangnya, setelah menunggu sekian menit lagi, pesan tersebut tetap tak mendapatkan balasan apa pun. Bening jadi membayangkan apa kira-kira yang dipikirkan oleh komandan itu sekarang. Masa ia tidak tertarik dengan foto cantik Bening? Atau jangan-jangan komandannya Wildan itu merasa risih dan sengaja tidak mau membala
Bening menganga sembari mengedip-ngedipkan matanya. “Hah? Fotonya begini doang?”Bening sangat kecewa. Maksudnya, akun Instagram si komandan itu sampai diprivasi segala, Bening kira minimal ada potret pria itu secara jelas. Namun, yang ada di sana ternyata foto yang tampak mata saja. Kalingga berpose memakai masker dan pelindung kepala. Jemari Bening bergerak. Ia memperbesar foto itu, berusaha memperhatikan lebih seksama mata Kalingga, sebab memang itu saja satu-satunya yang tampak. Mata Bening menyipit, memperhatikan foto yang ia perbesar sampai hampir blur itu. Bening mangut-mangut sendiri, tidak jelas apa yang sebenarnya sedang ia setujui. Meski hanya tampak matanya saja, Bening bisa merasakan tatapan tajam dan dingin dari si komandan itu.Bening ganti memperhatikan perawakan Kalingga. Meski hanya melihat dari foto saja, tetapi Bening sudah bisa menilai kalau pria itu sangat gagah. “Hm, gagah banget,” gumam Bening tanpa sadar. Entah mengapa, Bening malah jadi semakin berh*srat
Mata Bening tidak bisa berkedip menatap wajah orang yang menahan tubuhnya tersebut. Bibirnya tak kunjung terkatup. Alih-alih menjauhkan diri, ia malah bengong dan terus menatap pria yang membantunya itu. "Aku enggak lagi di surga, kan? Kok ada pangeran tampan di sini?" bisik Bening dalam hati. Bening benar-benar terpana melihat ketampanan pria itu. Sungguh mahakarya Tuhan yang luar biasa. Lihat saja alis matanya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang tampak lembut dengan sedikit belahan di bibir bawah. Bening merasa tidak pernah berada sedekat ini dengan pria tampan lainnya sebelumnya. Yang artinya ... seorang Wildan pun tidak setampan si pria penolong ini di mata Bening! "Ehm, kamu bisa berdiri sendiri?" Suara pria tersebut akhirnya menyadarkan Bening dari keterpukauannya. Dia cepat-cepat berdiri, dibantu oleh pria tersebut. Ketika pria itu menanyakan identitasnya, "Siapa kamu?" Bening kehilangan kata-kata sejenak, matanya melirik ke arah Wil
Saat melihat seorang pria yang keluar dari mobil itu, Bening kaget bukan main karena itu adalah orang yang bertemu dengannya di batalion tadi. Si Pangeran tampan.Pria tersebut mendekati Bening dengan wajah kesal. "Kenapa kamu lempar mobil saya pakai batu?" tanyanya. "Salah sendiri nyipratin saya!" jawab Bening yang enggan terintimidasi tatapan tajam pria tersebut. Toh, bukan dia yang mencari perkara duluan! "Ya tapi enggak dengan lempar mobil saya pakai batu juga! Kamu tahu itu merugikan saya! Kamu mau dituntut ganti rugi?" kata pria itu lagi. Tampaknya ia greget karena Bening tidak merasa bersalah sama sekali. Bening langsung memasang wajah tidak terima. "Enak aja minta ganti rugi, orang saya nggak salah! Itu setimpal karena kamu udah nyipratin saya pakai air comberan!" jawabnya. Karena malas urusannya menjadi panjang, Bening langsung melengos pergi dari tempat tersebut. Membuat si pria menggertakan gigi melihat tingkahnya. "Mau ke mana kamu?" tanya pria itu sambil menahan tang
Bening menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ia mendongak dengan leher patah-patah, menatap Kalingga yang juga balas menatapnya dengan tampang penuh kemenangan. Seketika, tubuh Bening rasanya langsung membeku. Semua keberaniannya yang tadi runtuh tak bersisa. Padahal, tadi ia mudah sekali ngegas, bahkan membentak-bentak pria di sampingnya ini. Namun, sekarang Bening tidak bisa melakukan apa-apa.Hari ini, Bening merasa seperti hari apesnya. Ya memang, hari apes tidak ada di kalender, alias kejutan, tetapi masa iya keapesannya sampai bertubi-tubi begini? Saking malunya, Bening merasa ingin menghilang saja. Mungkin, akan lebih bagus kalau tiba-tiba ada pesawat alien yang datang, kemudian menariknya dari atas lalu Bening kabur dan ikut masuk ke pesawat alien itu supaya rasa malunya hilang? Ah, entahlah. Saking bingungnya harus melakukan apa, isi pikiran Bening jadi ngaco. Lalu, si pria yang ternyata Kalingga itu malah terus menatap Bening lekat-lekat, membuat Bening merasa semak
Suasana di dekat pos jaga jadi terasa begitu canggung. Wildan yang masih tampak shock bergumam. "Bening... ini nggak mungkin. Gimana dia bisa..."Bening dan Kalingga. Mereka punya hubungan? Sejak kapan? Bukankah mereka baru saja putus? Apa itu artinya Bening mengkhianatinya? Tetapi, kemarin saat dia memutuskan hubungannya dengan Bening, wanita itu tampak sangat terluka. Malah seperti tampak tak terima. Apa itu cuma akting saja? Mendadak hati Wildan panas membara. Kalau benar Bening selingkuh darinya, Wildan tak akan tinggal diam. Ini penghinaan besar baginya. Apalagi Bening selingkuh dengan komandannya. Di sisi lain, Kalingga sendiri sudah kesal luar biasa. Sudah diberi hati, Bening malah minta jantung. Sudah ditolong, malah membuat Kalingga dalam masalah. Kalau seperti ini. Semua orang jadi salah paham. Bagaimana ia akan menjelaskan semuanya kepada Wildan? Ah, kenapa pula harus dijelaskan. Toh, meskipun Wildan akan salah paham, semua ini juga tidak menyalahi apa-apa. Wildan sudah m
“Mama…”Kalingga terkejut bukan main ketika melihat mamanya ada di depan kamar hotel itu. Sesaat, tubuh Kalingga kaku, tetapi ia berusaha untuk menguasai dirinya sendiri.“Ma, kenapa Mama ada di sini?” tanya Kalingga.Bu Rita menatap anaknya dengan skeptis. Ekspresinya sungguh tidak terbaca, dan Kalingga tahu itu bukan pertanda baik untuknya.Sementara Kalingga masih menuntut jawaban dari Bu Rita, beliau malah langsung mendorong tubuh Kalingga supaya minggir lalu ia pun segera menyerobot masuk. Kalingga tidak bisa menahan mamanya, dan Bu Rita akhirnya melihat seorang wanita yang sedang tertidur di kamar itu, bergulung dalam selimut dengan kening mengerut seolah sedang menahan sakit. Bu Rita menghela napas panjang kemudian berbalik menatap tajam kepada puteranya. “Jadi ini yang kamu bilang teman?”Kalingga gelagapan. Ia tahu situasi ini sudah pasti menimbulkan salah paham besar. “Ma, ini bukan seperti yang Mama pikirkan. Aku—”Belum usai Kalingga berusaha menjelaskan situasinya, tiba-
"Ma, tolong tunggu sebentar. Mama nggak bisa memutuskan begitu saja untuk Lingga menikahi Bening. Masalahnya adalah—"Belum selesai Kalingga protes kepada mamanya, tiba-tiba ponsel Bu Rita malah berdering. Bu Rita jelas langsung fokus kepada ponselnya dan mengabaikan protesan yang dilayangkan oleh sang putera."Ah, Bu Anjani. Sebentar, Mama mau terima telepon dulu."Bu Rita langsung melenggang keluar dari ruang rawat inap itu begitu saja. Yang menghubungi Bu Rita adalah Bu Anjani. Wanita itu adalah teman baik Bu Rita. Sebenarnya, Bu Rita sudah ada janji dengan Bu Anjani sebelumnya untuk mempertemukan Kalingga dengan Erika yang merupakan puteri Bu Anjani. Sayangnya, Bu Rita sudah keburu lupa gara-gara masalah Kalingga dan Bening. Setelah Bu Rita keluar, hanya tersisa Kalingga dan Bening saja di ruangan itu. Kalingga langsung saja mendekati Bening. Sorot matanya tajam, membuat Bening refleks memundurkan badannya karena merasa terintimidasi. "Jangan deket-deket!" Bening mengangkat tela
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran
Selesai wawancara di butik tadi, Vina tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemui orang tuanya. Suasana hati Vina membaik setelah ia berhasil mendapatkan kerja. Ia pergi ke rumah sakit dengan memesan ojek.Sesampainya di sana, Vina malah melihat ibunya sedang melipat semua pakaian yang dibawa untuk bapaknya.“Assallammuallaikum,” ucap Vina.“Waallaikumsalam. Kamu habis keluar, Vin?” tanya ibunya.Vina mengangguk. “Iya, Bu. Cari kerja. Alhamdulillah Vina tadi udah tanda tangan kontrak kerja.”Ibunya Vina senang mendengar hal itu. “Beneran? Kerja di mana, Vin?”“Di butik, Bu. Tadi udah sekalian wawancara terus diterima, makanya langsung tanda tangan kontrak kerja. Besok udah mulai kerja di sana.”“Alhamdulillah… Ibu turut senang, Vin. Semoga perkerjaannya berkah dan bisa membawa rezeki yang halal.”Vina mengangguk. “Iya, Bu. Aamiin. Oh iya, Ibu kok udah ngeringkes semua pakaian Bapak?”“Tadi pas dokter meriksa Bapak, katanya kondisi bapak sudah sangat mem
Yudha hanya bisa membeku selama beberapa saat usai mendengar perkataan Vina. "Tunggu sebentar, kamu ngomong apa sih Vin?" tanya Yudha. "Ya itu, Om. Aku yakin Om paham."Yudha menggeleng. "Maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu?"Vina menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Yudha. Ia takut, kalau ia menatap mata pria itu, maka pendiriannya akan goyah. Hatinya hancur, tetapi ia harus tetap tegar dan kelihatan biasa saja di depan Yudha supaya pria itu mau untuk mengakhiri hubungan mereka. "Maksud aku sesuai dengan apa yang aku katakan. Pokoknya gitulah. Aku minta maaf karena udah nyusahin Om Yudha. Aku janji ini yang terakhir," kata Vina. Yudha heran. Ini terlalu mendadak. Vina kelihatan baik-baik saja sebelumnya. Mereka berdua datang ke acara di rumah Kalingga dan Bening juga dalam situasi yang bahagia. Namun, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?"Sebenarnya ada apa sih, Vin? Apa saya melakukan kesalahan sama kamu? Jangan bikin saya bingung.""Apa kurang jelas yang aku omo
Yudha masih terus berusaha mencari keberadaan Vina. Ia berkeliling ke seluruh rumah, bahkan sampai ke halaman samping rumah keluarganya hanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Vina. Namun, meskipun ia sudah berkeliling sampai ke area yang seharusnya tidak didatangi Vina pun, keberadaan gadis itu nihil. Yudha sudah berkali-kali menghubungi nomor Vina. Dan semua panggilannya tidak ada jawaban. Yudha semakin khawatir. Ini memang bukan pertama kalinya Vina datang ke rumah keluarga Yudha, tetapi ini adalah pertama kalinya Vina datang dalam acara yang dihelat oleh keluarganya. Yudha takut kalau Vina merasa tidak nyaman atau bagaimana sehingga tiba-tiba pergi.Yudha langsung menggeleng. "Nggak mungkin Vina kayak gitu. Dia pasti ngomong kalau memang nggak nyaman," gumam Yudha. Setelah menelusuri hampir seluruh penjuru rumah keluarganya, Yudha kembali ke depan. Acara akan segera dimulai beberapa menit lagi, tapi keberadaan Vina tidak juga ditemukan. Bening yang sedang menyapa tamu-tamu y
Setelah menjenguk orang tua Vina di rumah sakit, Yudha harus segera pamit. Ia keluar sudah lumayan lama tadi, jadi harus segera kembali. Vina mengantarkan Yudha keluar dari ruang rawat inap bapaknya, barulah Yudha pamitan kepada Vina.“Saya harus kembali,” kata Yudha.Vina mengangguk. “Iya, Om.”“Siap-siap untuk besok malam minggu ya, jangan sampai lupa. Saya jemput kamu ke rumah.”Vina mengangguk lagi. “Oke, Om. Makasih ya Om untuk hari ini, dan untuk semuanya.”Yudha tersenyum tipis. “Ya sama-sama. Kalau gitu, saya pergi dulu. Assalammualaikum.”Bukannya menjawab salam dari Yudha, Vina malah menahan pergelangan tangan pria itu. Yudha yang belum sempat melangkah langsung memutar lehernya menghadap Vina.“Kenapa?” tanya Yudha heran.“Mm… H-hati-hati di jalan ya, Om.” Vina mengucapkannya sambil menunduk, dengan suara yang amat pelan dan nyaris berbisik. Untung saja posisi mereka berdekatan, jadi Yudha masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gadis itu. Yudha tersenyum
Vina berdebar dan tremor parah. Bahkan telapak tangannya sekarang terasa sangat berkeringat gara-gara mendengar Yudha menyebut bahwa dirinyalah calon istri pria itu. Padahal, tadi ia sedang kesal luar biasa. Bisa-bisanya sekarang ia berubah berdebar-debar dan grogi parah hanya karena satu kalimat yang diucapkan oleh Yudha. Jujur saja, Vina ingin teriak sekarang, tetapi tentu saja ia tidak mungkin melakukan itu. Yang ada, ia malah akan mempermalukan dirinya sendiri. Sementara itu, Yudha sendiri tidak mau melepaskan pandangannya dari Vina. Ia terus-menerus menatap gadis itu.“Vina, kamu nggak boleh nolak.”Vina semakin membuang muka. Ia tidak berani beradu tatap dengan pria itu. Melihat gelagat malu Vina, entah mengapa malah membuat Yudha antusias. Ekspresi malu-malu dan jaga imej ala Vina itu malah tampak menggemaskan di mata Yudha. “Kenapa sih dari tadi buang muka terus?” tanya Yudha. “Bukannya kalau bicara sama orang itu harus saling tatap muka ya?”Vina merengut. “Terus maunya ak
Yudha menghabiskan beberapa jam berkeliling dengan Raisa. Ia sendiri sudah mengakui sejak awal kalau dirinya bukan tipikal yang suka pergi jalan-jalan, jadi ia tidak terlalu tahu harus ke mana. Namun, Raisa menerima saja. Setelah dari kafe itu, mereka berkeliling lagi ke area dekat-dekat saja baru kemudian pulang. Selesai mengantar Raisa ke tempat Pak Danyon, Yudha langsung bergegas kembali ke rumah dinas. Baru saja ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah dinas, ponsel Yudha bergetar, ada panggilan dari mamanya.“Halo, Ma?” “Sagara, Mama tadi kirim pesan ke kamu, kok enggak dibaca?” tanya Bening.Yudha langsung memeriksa ponselnya. “Oh iya, Sagara belum buka hape dari tadi, Ma.”“Memangnya dari mana, Ga? Kok sampai nggak buka hape sama sekali?”“Oh itu, tadi dimintai tolong sama Pak Danyon.” Yudha tidak menjelaskan detail kalau permintaan tolong Pak Danyon adalah untuk mengajak keponakan perempuannya jalan-jalan. Yudha hanya tidak mau mamanya nanti salah paham, sebab keluarga Yudha s