Bening menganga sembari mengedip-ngedipkan matanya. “Hah? Fotonya begini doang?”
Bening sangat kecewa. Maksudnya, akun I*******m si komandan itu sampai diprivasi segala, Bening kira minimal ada potret pria itu secara jelas. Namun, yang ada di sana ternyata foto yang tampak mata saja. Kalingga berpose memakai masker dan pelindung kepala. Jemari Bening bergerak. Ia memperbesar foto itu, berusaha memperhatikan lebih seksama mata Kalingga, sebab memang itu saja satu-satunya yang tampak. Mata Bening menyipit, memperhatikan foto yang ia perbesar sampai hampir blur itu. Bening mangut-mangut sendiri, tidak jelas apa yang sebenarnya sedang ia setujui. Meski hanya tampak matanya saja, Bening bisa merasakan tatapan tajam dan dingin dari si komandan itu. Bening ganti memperhatikan perawakan Kalingga. Meski hanya melihat dari foto saja, tetapi Bening sudah bisa menilai kalau pria itu sangat gagah. “Hm, gagah banget,” gumam Bening tanpa sadar. Entah mengapa, Bening malah jadi semakin berh*srat untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai Kapten Kalingga. Ia jadi penasaran. Sayangnya, tidak ada informasi apapun di akun sosial medianya. Ini saja Bening susah sekali mendapatkannya, harus sampai membuat akun fake dan mengaku-aku sebagai Wildan pula. Isi bio instagramnya pun kosong, fotonya di I*******m juga minim. Kebanyakan malah hanya diunggah tanpa caption apapun. “Kayaknya beliau ini bukan orang sosmed banget ya? Masa unggah foto nggak ada caption apa-apa sih?” Bening memeriksa akun-akun yang diikuti dan juga mengikuti Kapten Kalingga. Tidak banyak, dan kalau ditelusuri, yang diikuti oleh Kalingga hanya akun-akun yang berkaitan dengan tentara saja. Sepertinya, Kapten Kalingga memang orang yang sangat menjaga privasi. Dan akun tersebut seperti hanya sebuah formalitas saja. Bening menghela napas panjang. Ia langsung berbaring di atas ranjangnya sembari menatap langit-langit kamarnya. Ponselnya sudah ia lempar di sisi kasur. “Ah, elah… Kok nggak dapat informasi yang berguna sama sekali sih?” keluhnya. “Kalau begini terus, nggak akan ada perkembangan untuk rencanaku dong?” Bening memijat kepalanya sendiri, berusaha untuk berpikir kira-kira bagaimana mencari informasi lebih lanjut mengenai Kapten Kalingga. Ia tidak mau gagal begitu saja. Lama Bening berpikir, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada notifikasi DM masuk dari Kalingga. Kelopak mata Bening seketika melebar. Ia yang awalnya rebahan spontan langsung duduk. “OMG? DM dari Kapten Kalingga!” serunya antusias sendiri. Buru-buru ia membuka DM tersebut. [Kemarin saya dapat informasi, katanya kamu mau pengajuan nikah dinas dan berniat untuk ketemu saya. Benar?] Raut antusias di wajah Bening seketika sirna, tergantikan dengan ekspresi keterkejutan yang luar biasa. “Hah?” Bening terus memandangi DM dari Kapten Kalingga itu. Ia memakai akun fake-nya dan mengaku sebagai Wildan, dan sekarang Kalingga mengatakan kalau Wildan hendak melakukan pengajuan nikah dinas. “Pengajuan nikah dinas? Kan kami udah putus, terus Mas Wildan mau nikah sama siapa?” gumam Bening. Apa-apaan ini? Bening mer*mas ponselnya sendiri. Sudah jelas pengajuan itu digunakan Wildan untuk menikah dengan orang lain. Masalahnya adalah, bukankah mereka baru putus kemarin? Jadi selama ini... Bening berusaha tenang meski jantungnya terus bergemuruh. Jemarinya bahkan sampai bergetar karena amarah saat mengetikkan balasan untuk DM Kalingga. [Benar, Ndan.] Tak lama setelah Bening mengetik balasan itu, Kalingga kembali membalas Dm-nya. [Kita bertemu hari rabu saja ya, saya masih di luar kota. Saya tadi juga sudah bilang kepada petugas administrasi.] [Siap, Ndan.] Setelah itu, Kalingga tidak membalas apa-apa lagi dan langsung offline dari akun I*******m miliknya. Bening mer*mas seprei kasurnya penuh amarah. Ia tidak menyangka akan mendapatkan informasi mencengangkan seperti ini. “Pengajuan nikah? Mau nikah sama siapa dia?” ucap Bening. Hatinya sakit sekali. Ia belum sempat untuk menyembuhkan batinnya sendiri, dan sekarang malah ditambah dengan kabar tak mengenakkan seperti ini. Bening dan Wildan baru putus kemarin. Ya tentu saja Bening tahu pada akhirnya Wildan akan menikah dengan bidan atau perawat sesuai idaman orang tuanya itu. Namun, mengapa secepat ini? Bukankan itu artinya… Bening seketika membelalak. “Hmm, aku tahu nih. Kalau sekarang udah mau ngajuin nikah dinas, bukankah artinya Mas Wildan udah berhubungan sama wanita lain bahkan sebelum putus sama aku?” Bening tertawa, miris dengan semua keadaan yang terjadi padanya. Sudah ia dicampakkan begitu saja padahal mereka sudah bersama selama lima tahun, terpaksa melepas beasiswa kuliahnya, dan sekarang ketahuan kalau Wildan ternyata memiliki wanita lain? Bening mengepalkan telapak tangannya semakin keras hingga kuku-kukunya sendiri memutih. “Siapa sebenarnya wanita yang akan dinikahi sama Mas Wildan?” Ia tidak akan tinggal diam. Ini seperti penghinaan baginya. Bening tidak suka dibodohi seperti ini. Tarikan napas panjang Bening lakukan. Ia menge lus dadanya sendiri, berusaha untuk menenangkan diri. Ia sudah bertekat, pokoknya ia harus ke kota tempat Wildan dinas dan mencari tahu semuanya. Kalau benar Wildan mendua selama ini, Bening benar-benar tidak akan terima dan membiarkannya begitu saja. “Awas aja nanti…” gumam Bening penuh amarah. * Hari rabu yang dinantikan oleh Bening akhirnya tiba. Sejak hari selasa kemarin, Bening sudah berangkat ke daerah battalion yang ditempati Wildan dinas. Memang lumayan jauh dari rumahnya, makanya Bening berangkat sehari sebelum jadwal itu. Ia menginap di hotel semalam. Hari ini adalah penentuannya. Bening harus mencari tahu lebih lanjut informasi mengenai hubungan Wildan dengan wanita yang katanya akan dinikahi itu. Sejak kapan mereka bersama dan juga siapa sebenarnya wanita itu. Ah, memikirkannya saja membuat hati Bening langsung berkobar dalam amarah. Bening segera bersiap-siap, kemudian sarapan dulu di hotel. Melakukan hal ini juga butuh tenaga. Sebenarnya Bening tidak terlalu napsu makan saking kesalnya, tetapi ia juga tidak mau mengorbankan kesehatannya karena hal ini. Usai sarapan, Bening langsung mencari taksi dan meminta diantar ke battalion itu. Jarak hotel ke battalion itu cukup dekat jika ditempuh menggunakan taksi. Kurang lebih hanya 15 hingga 20 menit tergantung kondisi lalu lintas. Sampai di sana, Bening langsung turun dan bertemu dengan petugas yang berjaga. Ia memasang senyum ramah seolah-olah tidak ada rencana besar yang hendak ia lakukan. “Ada keperluan apa?” tanya si petugas. “Saya kekasihnya Pratu Wildan, hari ini saya mau bertemu sama beliau dan sudah janjian sebelumnya,” ucap Bening. Petugas itu memperhatikan Bening. Wajar saja sebenarnya kalau selektif mengizinkan orang luar masuk. Lalu, Bening mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan salah satu fotonya bersama dengan Wildan. Untung saja masih ada yang tersisa. Sebelumnya, ia berniat menghapus semua foto-fotonya dengan Wildan pasca putus hubungan dengan cara buruk seperti itu. Namun, Bening terlalu sibuk menangisi nasibnya dan berpikir untuk membalas semua yang sudah Wildan lakukan padanya, jadi tidak sempat ia bersih-bersih galeri ponselnya dari jepretan wajah-wajah Wildan itu. Petugas itu mengambil ponsel Bening dan memperhatikan fotonya bersama Wildan saat masih pacaran. Jelas petugas itu langsung percaya. Petugas itu mengangguk kemudian mengembalikan ponsel Bening. “Ya, silakan.” Si petugas mengantarkan Bening untuk menuju ke tempat tamu. Wildan belum memiliki rumah dinas sekarang karena memang statusnya masih bujang, jadi ia tinggal di barak. Sebelum sampai ke tempat tamu, Bening langsung berhenti. “Permisi, Pak.” Si petugas yang berjalan selangkah di depan Bening berhenti dan menoleh. “Ya, ada apa?” “Um… Permisi, toiletnya di mana ya?” Petugas itu menunjukkan arah toiletnya. “Kamu lurus saja, di sebelah utara. Saya tunggu kamu di sini.” Bening menggeleng. “Saya nggak papa, Pak. Nanti saya ke tempat tamu sendiri, saya sudah janjian dengan Pratu Wildan, saya bisa langsung hubungi beliau.” Si petugas menatap skeptis kepada Bening. “Benar tidak masalah?” Bening mengangguk. “Iya, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya masuk.” Si petugas percaya-percaya saja. Lagipula, petugas itu juga mana tahu kalau Wildan sudah putus dengan Bening. Asal ada bukti foto bersama Bening bersama Wildan dan kelihatan mesra juga petugas itu pasti mengira bahwa saat ini hubungan Bening dan Wildan masih lanjut. Bening segera ke toilet, tetapi ia tidak masuk ke biliknya, hanya berdiri di depan toilet saja. Setelah memastikan si petugas kembali ke tempatnya, Bening langsung beralih bersembunyi untuk memantau posisi Wildan. Bukan hal mudah bermain mata-mata seperti ini. Apalagi di dalam kawasan militer seperti ini. Kalau nanti gerak-gerik Bening terkesan mencurigakan juga bahaya. Tidak lama setelah bersembunyi itu, Bening melihat Wildan berada di dekat kantor administrasi. “Itu dia,” gumam Bening pelan. Bening melangkah maju, mencari posisi persembunyian yang lebih dekat dari posisi Wildan supaya ia bisa melihat dengan jelas. Tak lama setelah ia menemukan posisi yang pas, Wildan tiba-tiba berpidah posisi dan menghampiri seorang perempuan yang masih menunggu di motor. Kedua mata Bening membelalak. “Huh? Dia sama wanita?” Bening sama sekali tidak berekspektasi kalau Wildan akan langsung membawa calon istrinya. Bening jadi semakin penasaran siapa sebenarnya wanita itu. Dari tempat persembunyiannya, Bening hanya bisa melihat punggung wanita itu, memakai pakaian bermotif bunga-bunga dengan warna dasar pink. “Ck, buruan berbalik lah… Kamu siapa sih?” gumam Bening. Ia jadi heboh sendiri gara-gara penarasan siapa wanita itu. Lihat itu, bahkan Wildan saja menggandeng telapak tangannya dengan sangat erat. Hati Bening semakin bergemuruh. Bening menggigiti bibirnya sendiri. Ia penasaran siapa wanita itu tetapi posisinya tidak memungkinkan untuk terlalu mendekat. Kalau ketahuan, bisa malu dirinya. Untungnya, tak lama kemudian Wildan dan wanita itu hendak melangkah pergi entah ke mana, dan saat itu juga, posisi si wanita yang digandeng oleh Wildan menghadap ke posisi persembunyian Bening. “Eh?” Bening membelalak. Badannya seketika membeku. “Itu ‘kan…” Bening mengucek matanya. Ia harap, apa yang dilihatnya salah. Namun, ternyata tidak. Wanita itu, Bening jelas mengenalnya. “Susan…” Rupanya wanita yang dibawa oleh Wildan adalah Susan, sahabat Bening sendiri sejak masa sekolah. Hati Bening semakin nyeri kala mengetahui fakta ini. Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi calon istri Wildan, mengapa malah Susan yang jelas-jelas sahabat Bening? “Jadi calon istri bidan idaman orang tuamu itu si Susan?” Bening terkekeh miris. Ia mengusap wajahnya sendiri. Entah bagaimana perasaannya sekarang. Yang jelas, ia hancur sehancur-hancurnya. Di tengah rasa sakit itu, Bening yang diam saja dan tidak bergeser dari posisinya mendadak ditepuk dari belakang oleh seseorang. “Ngapain kamu di sini?” tanya orang itu. Bening terlonjak kaget. Ia refleks hendak berlari kabur, tetapi karena panik, kaki kanannya malah menyandung tumit kirinya sendiri. Tubuhnya langsung oleng dan nyaris saja menghantam lantai, tetapi orang yang menepuk bahunya tadi refleks menahan pinggang Bening. Sehingga Bening terselamatkan. Bening mengerjap. Bibirnya terbuka karena kaget. Untuk sesaat mereka berdua saling menatap satu sama lain. Hingga orang itu seperti menyadari sesuatu. “Eh? Kamu...”Mata Bening tidak bisa berkedip menatap wajah orang yang menahan tubuhnya tersebut. Bibirnya tak kunjung terkatup. Alih-alih menjauhkan diri, ia malah bengong dan terus menatap pria yang membantunya itu. "Aku enggak lagi di surga, kan? Kok ada pangeran tampan di sini?" bisik Bening dalam hati. Bening benar-benar terpana melihat ketampanan pria itu. Sungguh mahakarya Tuhan yang luar biasa. Lihat saja alis matanya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang tampak lembut dengan sedikit belahan di bibir bawah. Bening merasa tidak pernah berada sedekat ini dengan pria tampan lainnya sebelumnya. Yang artinya ... seorang Wildan pun tidak setampan si pria penolong ini di mata Bening! "Ehm, kamu bisa berdiri sendiri?" Suara pria tersebut akhirnya menyadarkan Bening dari keterpukauannya. Dia cepat-cepat berdiri, dibantu oleh pria tersebut. Ketika pria itu menanyakan identitasnya, "Siapa kamu?" Bening kehilangan kata-kata sejenak, matanya melirik ke arah Wil
Saat melihat seorang pria yang keluar dari mobil itu, Bening kaget bukan main karena itu adalah orang yang bertemu dengannya di batalion tadi. Si Pangeran tampan.Pria tersebut mendekati Bening dengan wajah kesal. "Kenapa kamu lempar mobil saya pakai batu?" tanyanya. "Salah sendiri nyipratin saya!" jawab Bening yang enggan terintimidasi tatapan tajam pria tersebut. Toh, bukan dia yang mencari perkara duluan! "Ya tapi enggak dengan lempar mobil saya pakai batu juga! Kamu tahu itu merugikan saya! Kamu mau dituntut ganti rugi?" kata pria itu lagi. Tampaknya ia greget karena Bening tidak merasa bersalah sama sekali. Bening langsung memasang wajah tidak terima. "Enak aja minta ganti rugi, orang saya nggak salah! Itu setimpal karena kamu udah nyipratin saya pakai air comberan!" jawabnya. Karena malas urusannya menjadi panjang, Bening langsung melengos pergi dari tempat tersebut. Membuat si pria menggertakan gigi melihat tingkahnya. "Mau ke mana kamu?" tanya pria itu sambil menahan tang
Bening menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ia mendongak dengan leher patah-patah, menatap Kalingga yang juga balas menatapnya dengan tampang penuh kemenangan. Seketika, tubuh Bening rasanya langsung membeku. Semua keberaniannya yang tadi runtuh tak bersisa. Padahal, tadi ia mudah sekali ngegas, bahkan membentak-bentak pria di sampingnya ini. Namun, sekarang Bening tidak bisa melakukan apa-apa.Hari ini, Bening merasa seperti hari apesnya. Ya memang, hari apes tidak ada di kalender, alias kejutan, tetapi masa iya keapesannya sampai bertubi-tubi begini? Saking malunya, Bening merasa ingin menghilang saja. Mungkin, akan lebih bagus kalau tiba-tiba ada pesawat alien yang datang, kemudian menariknya dari atas lalu Bening kabur dan ikut masuk ke pesawat alien itu supaya rasa malunya hilang? Ah, entahlah. Saking bingungnya harus melakukan apa, isi pikiran Bening jadi ngaco. Lalu, si pria yang ternyata Kalingga itu malah terus menatap Bening lekat-lekat, membuat Bening merasa semak
Suasana di dekat pos jaga jadi terasa begitu canggung. Wildan yang masih tampak shock bergumam. "Bening... ini nggak mungkin. Gimana dia bisa..."Bening dan Kalingga. Mereka punya hubungan? Sejak kapan? Bukankah mereka baru saja putus? Apa itu artinya Bening mengkhianatinya? Tetapi, kemarin saat dia memutuskan hubungannya dengan Bening, wanita itu tampak sangat terluka. Malah seperti tampak tak terima. Apa itu cuma akting saja? Mendadak hati Wildan panas membara. Kalau benar Bening selingkuh darinya, Wildan tak akan tinggal diam. Ini penghinaan besar baginya. Apalagi Bening selingkuh dengan komandannya. Di sisi lain, Kalingga sendiri sudah kesal luar biasa. Sudah diberi hati, Bening malah minta jantung. Sudah ditolong, malah membuat Kalingga dalam masalah. Kalau seperti ini. Semua orang jadi salah paham. Bagaimana ia akan menjelaskan semuanya kepada Wildan? Ah, kenapa pula harus dijelaskan. Toh, meskipun Wildan akan salah paham, semua ini juga tidak menyalahi apa-apa. Wildan sudah m
“Mama…”Kalingga terkejut bukan main ketika melihat mamanya ada di depan kamar hotel itu. Sesaat, tubuh Kalingga kaku, tetapi ia berusaha untuk menguasai dirinya sendiri.“Ma, kenapa Mama ada di sini?” tanya Kalingga.Bu Rita menatap anaknya dengan skeptis. Ekspresinya sungguh tidak terbaca, dan Kalingga tahu itu bukan pertanda baik untuknya.Sementara Kalingga masih menuntut jawaban dari Bu Rita, beliau malah langsung mendorong tubuh Kalingga supaya minggir lalu ia pun segera menyerobot masuk. Kalingga tidak bisa menahan mamanya, dan Bu Rita akhirnya melihat seorang wanita yang sedang tertidur di kamar itu, bergulung dalam selimut dengan kening mengerut seolah sedang menahan sakit. Bu Rita menghela napas panjang kemudian berbalik menatap tajam kepada puteranya. “Jadi ini yang kamu bilang teman?”Kalingga gelagapan. Ia tahu situasi ini sudah pasti menimbulkan salah paham besar. “Ma, ini bukan seperti yang Mama pikirkan. Aku—”Belum usai Kalingga berusaha menjelaskan situasinya, tiba-
"Ma, tolong tunggu sebentar. Mama nggak bisa memutuskan begitu saja untuk Lingga menikahi Bening. Masalahnya adalah—"Belum selesai Kalingga protes kepada mamanya, tiba-tiba ponsel Bu Rita malah berdering. Bu Rita jelas langsung fokus kepada ponselnya dan mengabaikan protesan yang dilayangkan oleh sang putera."Ah, Bu Anjani. Sebentar, Mama mau terima telepon dulu."Bu Rita langsung melenggang keluar dari ruang rawat inap itu begitu saja. Yang menghubungi Bu Rita adalah Bu Anjani. Wanita itu adalah teman baik Bu Rita. Sebenarnya, Bu Rita sudah ada janji dengan Bu Anjani sebelumnya untuk mempertemukan Kalingga dengan Erika yang merupakan puteri Bu Anjani. Sayangnya, Bu Rita sudah keburu lupa gara-gara masalah Kalingga dan Bening. Setelah Bu Rita keluar, hanya tersisa Kalingga dan Bening saja di ruangan itu. Kalingga langsung saja mendekati Bening. Sorot matanya tajam, membuat Bening refleks memundurkan badannya karena merasa terintimidasi. "Jangan deket-deket!" Bening mengangkat tela
Keesokan harinya, Bening diantarkan ke hotel tempatnya menginap oleh Kalingga. Sesuai dengan prediksi dokter, demam Bening sudah turun, tubuhnya juga sudah tidak tremor setelah menghabiskan satu botol cairan infus. Sebelum pulang dari rumah sakit tadi, ia sempat diperiksa dokter lagi lalu diresepkan beberapa obat serta vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Kalingga yang menebuskan obatnya di apotek rumah sakit baru kemudian mereka kembali ke hotel. Sejak semalam, Bening tidak mengatakan apapun. Ia juga seperti mengabaikan Kalingga secara total. Ia hanya akan menjawab kalau ditanya saja, itupun hanya anggukan, gelengan, atau gumaman tidak jelas saja. Jelas sekali bahwa Bening marah padanya. Jujur saja, Kalingga juga sadar kalau perkataannya terlalu berlebihan. Namun, wajar saja kalau ia marah, 'kan? Gara-gara pengakuan palsu Bening kepada mamanya, Kalingga jadi terjebak dalam situasi seperti ini. Sudah begitu, mamanya jadi menilai bahwa Kalingga itu hanya lelaki brengsek yang suk
Bening terkejut. Ia diam saja, masih berusaha memproses apa yang dilihatnya saat ini. Benaknya mulai bertanya-tanya, mengapa Kalingga ada di sini? Bukankah pria itu sudah pulang? Namun, segala pertanyaan itu pada akhirnya hanya tersimpan di kepalanya saja. Bening mungkin masih terlalu terkejut dengan kehadiran Kalingga yang tiba-tiba sampai bibirnya hanya bisa mengatup dan tidak mengatakan apa-apa.Sementara Bening hanya bisa berdiri diam, Kalingga dan Wildan justru saling memandang satu sama lain. Ekspresi Kalingga mungkin tampak tenang, jauh lebih tenang daripada Wildan yang terang-terangan menggertakkan giginya karena kesal. Namun, sorot mata tajamnya tampak begitu jelas mengarah kepada Wildan."Ndan, saya minta dengan hormat untuk jangan ikut campur dengan masalah kami," kata Wildan. Ia harus berusaha keras meredam hasratnya untuk berkata kasar di hadapan Kalingga yang jelas-jelas adalah komandannya sendiri.Kalingga melirik Wildan dengan tajam. "Tidak bisa. Apa yang menjadi urusa
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran
Selesai wawancara di butik tadi, Vina tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemui orang tuanya. Suasana hati Vina membaik setelah ia berhasil mendapatkan kerja. Ia pergi ke rumah sakit dengan memesan ojek.Sesampainya di sana, Vina malah melihat ibunya sedang melipat semua pakaian yang dibawa untuk bapaknya.“Assallammuallaikum,” ucap Vina.“Waallaikumsalam. Kamu habis keluar, Vin?” tanya ibunya.Vina mengangguk. “Iya, Bu. Cari kerja. Alhamdulillah Vina tadi udah tanda tangan kontrak kerja.”Ibunya Vina senang mendengar hal itu. “Beneran? Kerja di mana, Vin?”“Di butik, Bu. Tadi udah sekalian wawancara terus diterima, makanya langsung tanda tangan kontrak kerja. Besok udah mulai kerja di sana.”“Alhamdulillah… Ibu turut senang, Vin. Semoga perkerjaannya berkah dan bisa membawa rezeki yang halal.”Vina mengangguk. “Iya, Bu. Aamiin. Oh iya, Ibu kok udah ngeringkes semua pakaian Bapak?”“Tadi pas dokter meriksa Bapak, katanya kondisi bapak sudah sangat mem
Yudha hanya bisa membeku selama beberapa saat usai mendengar perkataan Vina. "Tunggu sebentar, kamu ngomong apa sih Vin?" tanya Yudha. "Ya itu, Om. Aku yakin Om paham."Yudha menggeleng. "Maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu?"Vina menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Yudha. Ia takut, kalau ia menatap mata pria itu, maka pendiriannya akan goyah. Hatinya hancur, tetapi ia harus tetap tegar dan kelihatan biasa saja di depan Yudha supaya pria itu mau untuk mengakhiri hubungan mereka. "Maksud aku sesuai dengan apa yang aku katakan. Pokoknya gitulah. Aku minta maaf karena udah nyusahin Om Yudha. Aku janji ini yang terakhir," kata Vina. Yudha heran. Ini terlalu mendadak. Vina kelihatan baik-baik saja sebelumnya. Mereka berdua datang ke acara di rumah Kalingga dan Bening juga dalam situasi yang bahagia. Namun, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?"Sebenarnya ada apa sih, Vin? Apa saya melakukan kesalahan sama kamu? Jangan bikin saya bingung.""Apa kurang jelas yang aku omo
Yudha masih terus berusaha mencari keberadaan Vina. Ia berkeliling ke seluruh rumah, bahkan sampai ke halaman samping rumah keluarganya hanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Vina. Namun, meskipun ia sudah berkeliling sampai ke area yang seharusnya tidak didatangi Vina pun, keberadaan gadis itu nihil. Yudha sudah berkali-kali menghubungi nomor Vina. Dan semua panggilannya tidak ada jawaban. Yudha semakin khawatir. Ini memang bukan pertama kalinya Vina datang ke rumah keluarga Yudha, tetapi ini adalah pertama kalinya Vina datang dalam acara yang dihelat oleh keluarganya. Yudha takut kalau Vina merasa tidak nyaman atau bagaimana sehingga tiba-tiba pergi.Yudha langsung menggeleng. "Nggak mungkin Vina kayak gitu. Dia pasti ngomong kalau memang nggak nyaman," gumam Yudha. Setelah menelusuri hampir seluruh penjuru rumah keluarganya, Yudha kembali ke depan. Acara akan segera dimulai beberapa menit lagi, tapi keberadaan Vina tidak juga ditemukan. Bening yang sedang menyapa tamu-tamu y
Setelah menjenguk orang tua Vina di rumah sakit, Yudha harus segera pamit. Ia keluar sudah lumayan lama tadi, jadi harus segera kembali. Vina mengantarkan Yudha keluar dari ruang rawat inap bapaknya, barulah Yudha pamitan kepada Vina.“Saya harus kembali,” kata Yudha.Vina mengangguk. “Iya, Om.”“Siap-siap untuk besok malam minggu ya, jangan sampai lupa. Saya jemput kamu ke rumah.”Vina mengangguk lagi. “Oke, Om. Makasih ya Om untuk hari ini, dan untuk semuanya.”Yudha tersenyum tipis. “Ya sama-sama. Kalau gitu, saya pergi dulu. Assalammualaikum.”Bukannya menjawab salam dari Yudha, Vina malah menahan pergelangan tangan pria itu. Yudha yang belum sempat melangkah langsung memutar lehernya menghadap Vina.“Kenapa?” tanya Yudha heran.“Mm… H-hati-hati di jalan ya, Om.” Vina mengucapkannya sambil menunduk, dengan suara yang amat pelan dan nyaris berbisik. Untung saja posisi mereka berdekatan, jadi Yudha masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gadis itu. Yudha tersenyum
Vina berdebar dan tremor parah. Bahkan telapak tangannya sekarang terasa sangat berkeringat gara-gara mendengar Yudha menyebut bahwa dirinyalah calon istri pria itu. Padahal, tadi ia sedang kesal luar biasa. Bisa-bisanya sekarang ia berubah berdebar-debar dan grogi parah hanya karena satu kalimat yang diucapkan oleh Yudha. Jujur saja, Vina ingin teriak sekarang, tetapi tentu saja ia tidak mungkin melakukan itu. Yang ada, ia malah akan mempermalukan dirinya sendiri. Sementara itu, Yudha sendiri tidak mau melepaskan pandangannya dari Vina. Ia terus-menerus menatap gadis itu.“Vina, kamu nggak boleh nolak.”Vina semakin membuang muka. Ia tidak berani beradu tatap dengan pria itu. Melihat gelagat malu Vina, entah mengapa malah membuat Yudha antusias. Ekspresi malu-malu dan jaga imej ala Vina itu malah tampak menggemaskan di mata Yudha. “Kenapa sih dari tadi buang muka terus?” tanya Yudha. “Bukannya kalau bicara sama orang itu harus saling tatap muka ya?”Vina merengut. “Terus maunya ak
Yudha menghabiskan beberapa jam berkeliling dengan Raisa. Ia sendiri sudah mengakui sejak awal kalau dirinya bukan tipikal yang suka pergi jalan-jalan, jadi ia tidak terlalu tahu harus ke mana. Namun, Raisa menerima saja. Setelah dari kafe itu, mereka berkeliling lagi ke area dekat-dekat saja baru kemudian pulang. Selesai mengantar Raisa ke tempat Pak Danyon, Yudha langsung bergegas kembali ke rumah dinas. Baru saja ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah dinas, ponsel Yudha bergetar, ada panggilan dari mamanya.“Halo, Ma?” “Sagara, Mama tadi kirim pesan ke kamu, kok enggak dibaca?” tanya Bening.Yudha langsung memeriksa ponselnya. “Oh iya, Sagara belum buka hape dari tadi, Ma.”“Memangnya dari mana, Ga? Kok sampai nggak buka hape sama sekali?”“Oh itu, tadi dimintai tolong sama Pak Danyon.” Yudha tidak menjelaskan detail kalau permintaan tolong Pak Danyon adalah untuk mengajak keponakan perempuannya jalan-jalan. Yudha hanya tidak mau mamanya nanti salah paham, sebab keluarga Yudha s