“Aku yakin ini akan menjadi kasus pembunuhan. Dan kalau memang betul, aku yakin pelaku sesungguhnya akan segera ketahuan."
"Kenapa kau yakin sekali?""Menurut pengalamanku, aku belum pernah menjumpai pelaku pembunuhan yang benar-benar pintar, meskipun dia seorang pembunuh berantai. Selalu ada cela, keamatiran, dan kecerobohan. Dan itu berlaku di kota maupun perkampungan kecil.”Omongan Ilbi yang terkesan meremehkan penjahat lokal tidak digubris Malik. Ia hanya mengedikkan bahu.“Ngomong- ngomong kapan mayat kedua korban dimakamkan?”"Sehari setelah kematian. Keluarga kedua belah pihak menolak adanya autopsi. Tapi harusnya itu bukan masalah. Keduanya sudah jelas keracunan dan jenis racunnya juga umum dipakai para peternak atau petani untuk membasmi hama.”Malik kemudian melirik Ilbi yang menyeka sisa srikaya di sudut mulutnya dengan tisu. “Aku penasaran, apa kau benar-benar tidak pernah membela pelaku kejahatan?”“Nyaris tidak pernah,” ujar Ilbi lalu sejenak menyesap kopinya. Ucapan Ilbi membuat Malik tertarik.“Nyaris? Berarti pernah?”“Lembaga kami lebih memilih membela saksi atau tertuduh yang berada di posisi kurang menguntungkan atau sulit membela diri."Jika kemudian yang kami dampingi adalah pelaku kejahatan maka kami akan mundur. Itu lebih seperti melanggar perjanjian dan tujuan lembaga independen terbentuk. Memang ada pengecualian, dan kami pernah mengalaminya satu atau dua kali."Biasanya pelaku kriminal yang kami dampingi merupakan kambing hitam atau istilahnya dijadikan umpan peluru."Pelurunya mengakibatkan peristiwa yang tak diinginkan, namun si pengokang senjata tak terjerat hukum. Model begitulah yang akan kami dampingi, agar pelaku kriminal utamanya juga tertangkap."Aku pribadi tidak beranggapan negatif jika suatu hari kami membela pelaku kriminal. Hukum tidak harus selalu ditegakkan dengan menolak pembelaan terhadap yang bersalah,” ujarnya panjang dengan gaya seolah berdiplomasi.“Ya. Malah mungkin bisa membantu mengungkap yang sebenarnya seperti yang kau katakan,” balas Malik.Dalam sekejap roti srikaya berpindah seluruhnya ke lambung Ilbi.“Kau sempat melihat Sasmita kan?”“Ya. Cukup mengesankan. Dia terlihat tidak terlalu menderita untuk orang yang baru kehilangan suami dan ayah dari anak semata wayangnya, tapi tentu saja hati orang siapa yang tahu,” jawab Ilbi.“Bagaimana sebenarnya hubungan dua pasangan tersebut? Mereka berempat tetap bertetangga setelah konflik lima tahun yang lalu. Apakah cukup wajar bagi Sasmita untuk memilih tinggal berseberangan dengan mantan suaminya seperti itu?""Yah, harusnya keadaan mereka akan canggung.""Namun kenyataannya mereka berempat bersama-sama di posko, jadi hubungan mereka sudah mencair?” Ketimbang bertanya Malik lebih terdengar berkata untuk dirinya sendiri.“Menurut pendapat pribadiku, Saba itu tidak punya apa-apa. Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan orang yang sudah tiada, mungkin ini pendapat yang kasar dan prematur, lelaki itu lebih mencari tumpangan hidup dengan menikahi Sasmita.""Istilahnya mokondo begitu?" Malik berkata sambil menyengir."Begitulah. Pilihan untuk tidak pindah atau menjual aset yang mereka dapat dari Adil itu masuk akal. Karena usaha jual beli pupuk mereka punya banyak pelanggan. Bisa saja mereka melupakan permasalahan yang telah terjadi dan duduk bersama di posko sambil berbagi bandrek.""Bagaimanapun masalah bermula dari Adil. Dia menikahi mantan kekasih Saba dan Saba mengawini mantan istrinya. Ya, ampun benar-benar cerita ala sinetron! Harusnya sebentar lagi kasus ini akan jadi topik hangat di pemberitaan nasional,” ujar Malik semangat.Ilbi tersenyum getir lalu menandaskan kopinya. Malik melanjutkan kalimatnya,“Aku juga yakin ini kasus pembunuhan. Memasukkan racun potas ke minuman bandrek. Orang yang meminumnya mungkin tidak sadar ada yang salah karena bahan rempah yang kuat.""Lalu lokasi kejadian yang dikelilingi banjir dengan cukup banyak saksi. Jadi dalam keadaan gawat para korban susah untuk mendapat pertolongan medis karena medan yang sulit. Pelaku ini cukup pintar melihat situasi, licik, dan pemberani. " Malik berwajah lebih tegang sekaligus terlihat antusias.“Yah, akan sangat mengagetkan kalau sampai kasus ini diumumkan menjadi kasus bunuh diri ganda.” Lanjut Ilbi sambil melirik jam tangannya. Hampir sejam sejak mereka duduk di kedai.Ia masih berpikiran bahwa meski tragedi di posko terbilang sensasional, hanya masalah waktu saja sampai pihak berwenang akan menemukan dalang pembunuhan ganda ini.Meski begitu, Ilbi tetap bisa merasakan semangat Malik yang duduk di depannya. Ia sekarang punya partner yang antusias meski dengan bayaran pengalaman saja.“Ayo balik lagi. Siapa tahu kita mendapat sesuatu atau saksi lain dari kasus ini yang bersedia diajak bicara,” kata Ilbi.Setelah membayar bon pada pelayan mereka kembali ke kantor polisi. Sesampai mereka di sana sudah ada beberapa wartawan yang berdiri dengan hati-hati di pinggir jalan.Keduanya menyempatkan diri menyimak satu wartawan TV media lokal yang sedang mewawancarai satu laki-laki paruh baya.Wajah yang sempat mereka lihat juga di ruang tunggu. Mungkin karena gilirannya lama atau telah selesai memberi keterangan, ia akhirnya keluar dan malah dicegat reporter.“Boleh diperkenalkan dengan bapak siapa dan usia berapa?” tanya wartawan berhijab tersebut.“Dengan bapak Jumali usia 52 tahun.”“Baik, Bapak Jumali adalah saksi yang telah dimintai kesaksiannya atas kasus bandrek beracun yang menewaskan Adil Pras,43 tahun dan Ahmad Saba, 29 tahun. Bapak sendiri domisilinya sama di kampung Rampai seperti dua korban?”“Iya betul Bu.”“Baik, berapa lama Bapak dimintai keterangan tadi oleh petugas?”“Tidak lama, kira-kira kurang dari setengah jam. Karena saya sebelumnya juga sudah diminta kesaksian. Kali ini hanya mencocokkan saja,” ujar si Bapak masih dengan gaya ramahnya.“Bisa dijelaskan posisi Bapak pada saat kejadian?”"Saat itu air banjir lagi naik, jalan kampung sudah tergenang air semata kaki. Tapi sebenarnya beberapa rumah penduduk sudah banyak yang terendam banjir karena tanah penduduk yang lebih rendah dari jalan kampung. Kami bangun tenda posko di jalan tanjakan yang tinggi untuk warga yang ingin mengungsi.”“Bagaimana keadaan cuaca saat pemasangan tenda posko, apakah air terlihat makin naik ataukah hujan pada saat kejadian?”“Benar. Hujan lebat sepanjang sore dan mulai agak tidak terlalu deras menjelang malam. Sisi kanan kampung kami yang ditahan oleh jalan tinggi tempat kami mendirikan tenda merupakan anak sungai mati."Sementara di malam itu jarak permukaan air dari anak sungai mati yang meluap dengan permukaan tanah di posko hanya dua jengkal.” Pak Jumali mengangkat telapak tangan untuk menunjukkan jengkal tangannya ke arah kamera.“Baik Bapak. Bisa di jelaskan kronologi kejadian yang menimpa kedua korban?”Ini pertanyaan yang membuat telinga Malik dan Ilbi tegak waspada. Keduanya berdiri di teras dan berusaha tak terlalu kentara memperhatikan wawancara yang berjarak sekitar tak lebih dari lima meter tersebut dari tempat mereka berdiri. Truk tronton panjang yang berderu menjedakan beberapa detik untuk Jumali menjawab. “Di dalam posko, saya sedang duduk di satu bangku depan TV. Kira-kira selesai azan isya Saba datang dengan basah kuyup dan celana penuh dengan tanah. Saya tanya dari mana, habis beresin pagar jaring ikan katanya. "Dia sempat mengomel bahwa pekerja sif malamnya tidak berguna di saat darurat begini, jangankan membantu untuk mengecek kondisi kolam di waktu terang, si pekerja malah tidak datang malam ini dengan alasan mengatur perabot rumahnya yang mulai terendam banjir. "Setelah habis bicara begitu dia menghampiri Nurah yang sedang memasak bandrek dengan dandang besar. Nurah dan kompornya berada kurang lebih satu meter di belakang saya, jadi saya agak mendengar apa yang d
Sekitar satu jam kemudian ponsel Ilbi menunjukkan notifikasi pesan dari Nurah. Ia telah selesai dimintai keterangan. Mereka yang sedang duduk di teras masjid langsung berjalan ke Polsek. Sesampai mereka di sana Nurah sedang duduk berdiri dekat sepeda motor miliknya. Ilbi mengusulkan agar mereka bicara di tempat lain dan kembali membuka map di ponsel. “Kita ke tempat restoran Mi Ayam Jogja saja cuma dua ratus lima puluh meter dari sini.” Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 waktu yang cukup tepat untuk mengisi perut dengan makanan berat. Sesampainya di sana. Mereka mengambil tempat paling belakang dekat dinding dan memesan menu yang sama yaitu mi ayam jamur tiram. Nurah tak terlalu tertarik melirik menu dan menyerahkan pada Ilbi untuk memesankan menu yang sama dengannya, begitu pun juga Malik. “Bagaimana penyidikannya?” Ilbi langsung memulai percakapan inti. “Tidak ada masalah. Polisi akan meminta kesaksianku lagi lusa.” “Sasmita juga dipanggil dan kami sempat melihatnya di ruang t
Dengan lahap Malik menyantap nasi goreng Wak Yong yang gerobaknya mangkal di depan pagar rumahnya. Menyelip di sisi gang yang sempit. Nasi goreng plus bakso isi telur puyuh dengan kerupuk udang memenuhi seperempat piringnya. Ia duduk sambil menyilakan sebelah kaki dan dengan celana ponggol berwarna dongker yang pudar, Malik terlihat seperti kuli yang mengambil istirahat makan. Beberapa tetangga sebelah juga duduk di bangku-bangku plastik yang ditata berjejer di sisi pagar rumah agar tak menghalangi jalur pejalan kaki maupun pengendara motor.Selain Malik, ada dua orang lagi yang ikut memesan makanan dan mereka berdua duduk berdampingan tepat di seberang dekat dengan pagar milik tetangga. Dua orang bapak umur lima puluhan. Pak Ibnu dan Pak Sutar. Mereka ribut dan gemar bergosip tentang politik. Seperti umumnya babyboomer yang merasa tahu segalanya bermodal mengeklik tautan berita dengan sumber tak legit. Tipe bapak-bapak yang hanya peduli pada opini sendiri dan gampang membodohkan
Dengan perjalanan lebih satu jam mengendarai sepeda motor mereka sampai di gerbang kampung terjadinya tragedi. Kemudian mereka menempuh jalan yang diaspal sekitar dua ratus meter dan begitu jalan itu memasuki tanjakan, jalannya tidak teraspal. Mereka bertiga pun bisa melihat dari jalan tanjakan yang melewati rumah-rumah panggung maupun berlantai rendah yang halamannya tergenang air dengan warna pekat pada sisi kiri. Sementara sisi kanan merupakan sisi dengan air yang kemarin meninggi dan kini sudah lumayan jauh menyurut meski kedalamannya tetap saja membuat sebuah sampan pencari ikan bisa berlalu lalang seperti yang dilakukan lelaki paruh baya dengan kail pancingnya. Jika memasuki musim kemarau sisi kanan merupakan sungai mati dan berawa. Tanah tanjakan ditimbun tinggi warga untuk tujuan menahan air meluap dari wilayah kanan. Semacam benteng yang menghalangi air untuk menerjang sisi pemukiman di bagian kiri. Karena bagian jalan tinggi dimaksudkan sebagai tameng banjir, mungkin it
“Yah. Tapi akan jauh lebih baik, kalau kita memiliki berbagai sudut pandang dan informasi yang mungkin terlewat atau tak sengaja terlupakan padahal penting dalam kasus ini. “Kami bukan hanya perwakilan dalam urusan warisan tapi juga perwakilan lembaga Tim Independen Advokat Mandiri. Lembaga perlindungan saksi.” Adian diam dan mengangguk. Ia memang tahu sebelumnya tentang lembaga independen apalah itu. Dan tak terlalu yakin apakah cukup berguna sebagai alternatif pengungkapan atas tragedi yang menimpa abangnya ataupun mampu mengawal kesaksian dari pihak korban. Dalam hal ini berarti kesaksian Nurahlah yang akan dikawal, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini yang menyaksikan tragedi di posko. Bukan hanya itu, ia kemungkinan menjadi calon tersangka lantaran bertanggung jawab dalam memasak bandrek dan sidik jarinya tertinggal di tumbler Saba. Semua yang terjadi malam itu amat ganjil bagi Adian. Sejauh yang mampu ia pikirkan itu bukanlah bunuh diri. Saba bisa bunuh diri di rumahn
“Maaf kalian harus mendengar julukan kasarku padanya. Tapi begitulah yang ku katakan pada almarhum Abang tentang pilihannya akan gadis itu.” Terlihat jelas ketidaksukaan pada raut wajah Adian. Ilbi bertanya lagi. “Semenjak periode lima tahun abang Anda berumah tangga dengan Nurah, adakah Anda pernah mengetahui mereka berdua berkonflik atau terkena masalah dari pihak luar?” Adian menggeleng. “Abang hanya meneleponku sekali-sekali. Dia lebih sering bicara dengan ibu. Setahuku tidak pernah ada kejadian yang aneh-aneh menimpanya. “Namun jika kalian bertanya apakah ada konflik lain yang menimpa Abang setelah memboyong Nurah, aku rasa kalian juga sudah tahu dari berita bahwa pekerjanya saat itu, yaitu mantan kekasih Nurah malah mengambil Sasmita dari Abang.” Adian mendengus dan tersenyum kecut. “Aku bersimpati pada Sasmita. Tapi kemudian dia malah main api dengan pekerja Abang. Si Saba itu. Bahkan menurut Abang, Sabalah yang menjodohkan Nurah padanya. “Menjodohkan? Yang benar saja. A
“Ayah tiriku punya kebiasaan minum minuman keras. Pernah suatu kali aku pulang dan mendapati banyak botol bekas minuman di tempat sampah samping kolam. "Aku bilang ini pada Ibu, tapi ia tak terkejut. Sejak itu aku jadi malas menginap di sana dan pindah ke tempat Ayah untuk tidur.” “Jadi seterusnya kau hanya mampir sebentar ke tempat Ibu dan lebih lama di tempat Ayah. Kalau boleh tahu kapan kau mengetahui ayah tirimu pemabuk?” “Hampir setengah tahun kurasa.” “Kau tak pernah mengungkitnya lagi pada ibumu? Mohon maaf jika terlalu ikut campur, tapi karena kau seorang santri, asumsi kami adalah bahwa kau dibesarkan dari keluarga religius. “Apakah ibumu sungguh tidak terlihat terganggu dengan kebiasaan ayah tirimu?” Ilbi sendiri tak yakin mengajukan mempertanyakan model begini. Bisa saja yang lebih religius adalah almarhum Adil sehingga berpikir bahwa pendidikan pesantren adalah yang paling tepat untuk Nizam. Pertanyaan yang menghubungkan status Nizam sebagai santri dengan moralitas
"Saat tahun kedua aku SMA, aku berkenalan dan pacaran dengan Saba yang menjaga toko alat tulis dan fotokopi. Lalu ditahun berikutnya kami masih bersama sampai beberapa waktu setelah aku tamat sekolah, ayahku meninggal. "Yang baru kami ketahui meninggalkan banyak hutang dan bahkan mengagunkan rumah dan beberapa petak kecil tanah kami. "Kemudian Adil yang memang cukup sering berkunjung ke rumah menawarkan bantuan, tapi dia meminta syarat agar aku mau menikah dengannya. "Aku tidak kaget. Karena saat berkunjung ke rumah saat ayah masih hidup aku sadar dia tertarik padaku. Saat itu aku menceritakan keresahanku pada Saba, tapi ia malah menganjurkan bahkan membujuk untuk menerima tawaran Adil. Hanya itu cara untuk menyelamatkan keluargaku.”Nurah sekilas melirik masing-masing sepasang mata pendengarnya. Sebenarnya ia tak benar-benar tak peduli dengan anggapan orang di ruangan ini. Ada sedikit bagian yang diputuskannya untuk tidak diceritakan karena tidak penting dan tak ada hubungannya p