Malik menimbang-nimbang informasi yang baru didengarnya. Adil Pras sudah membuat surat wasiat.
Apakah cukup biasa untuk pengusaha kampung membuat surat wasiat di usia yang masih aktif? Mungkin ekspektasi Malik yang terlalu meremehkan.Orang-orang kampung yang cukup berharta biasanya telah duluan membagi harta ke anak-anaknya saat masih sehat dalam usia yang sudah lanjut. Tapi almarhum Adil melibatkan notaris dan usianya pun terbilang muda.Mengingat perkawinan dengan Nurah telah tercatat, kemungkinan surat wasiat tersebut memberi keuntungan terhadap Nurah. Atau malah mungkin saja tidak ada warisan baginya. Ilbi melanjutkan ceritanya.“Mengenai racun potas yang ditemukan di gudang rumah Adil, ternyata juga ditemukan racun yang sama setidaknya milik dua orang lain saksi di TKP. Dan mereka berdua adalah peternak ikan.""Potasium Sianida setahuku memang masih digunakan peternak untuk membersihkan hama sebelum kolam diberi bibit ikan baru," timpal Malik."Tapi Nurah mengaku tidak tahu menahu tentang adanya racun tersebut dan tak bisa menjelaskan mengapa ada racun potas di gudang dengan kemasan satu kilo yang telah tersisa nyaris separuhnya.”“Sampai separuhnya sudah dipakai?” Mata Malik membulat. “Apa yang telah dilakukan dengan racun yang terambil? Bukankah kandungan racun di minuman bandrek tidak sampai satu gram?"“Tersisa sekitar empat ratus gram tepatnya. Bisa saja korban Adil Pras yang memang memakainya untuk keperluan kebun, meski beberapa pekerjanya tak bisa memastikan apakah mereka pernah melihat sendiri Adil memakainya untuk mengusir hama.”“Jadi saat ini polisi memastikan apakah istri korban punya kesempatan untuk mengambil sedikit racun. Jika melihat sumber racun itu di dalam tumbler Saba jelas si pemilik adalah targetnya. Sementara ikut terbunuhnya Adil kemungkinan besar di luar rencana si pembunuh dan murni kecelakaan, ” kata Malik yang mulai merasa jiwa pencari jejaknya meluap-luap."Kau benar. Kita harus mendengar keterangan Nurah atau saksi lainnya."Mereka pun segera berangkat menggunakan motor masing-masing. Mereka tiba di kantor Polsek Stabat selang lima puluh menit perjalanan.Bangunan kantor polisi yang tepat di pinggir lalu lintas jalan Medan Aceh tersebut nyaris tidak menyediakan halaman parkir untuk mobil.Kendaraan motor terparkir berjejer di sela jalan besar dan bangunan Polsek memanjang dengan teras menuju ruangan di dalam.Malik dan Ilbi menaruh motor di pinggir jalan meski ada dua motor yang diparkir di teras dan tersisa slot yang cukup untuk dua motor matik ramping.Namun jelas dua motor tersebut milik petugas dilihat dari platnya dan tak mungkin mereka lancang memarkirkan kendaraan di sana.Mereka masuk ke ruang tunggu setelah Ilbi bercakap sebentar dengan sepupu jauhnya di resepsionis. Di satu jejeran kursi mereka bertemu dengan Nurah yang sedang menunggu giliran diperiksa.Ilbi memperkenalkan diri mereka berdua serta mengucapkan bela sungkawa atas kematian suaminya dan dalam rangka apa mereka kemari. Nurah mengangguk dan mengatakan bahwa Pak Hito juga sudah memberitahunya tentang kedatangan anggotanya.Ia jelas lebih cantik dari foto yang ditampilkan di portal. Wajahnya berbentuk oval dengan hidung mancung. Memakai kemeja wanita navy dan celana panjang linen hitam dengan rambut yang dijepit ke belakang dengan jedai krem. Tanpa perhiasan apapun melekat.Terlihat klasik dan sederhana mengingat sang almarhum suami seorang tokai. Ada kesan wanita matang dibalik kemudaannya."Pak Hito sudah mengatakan tentang tim yang akan memberi pendampingan kepada saya,” ujarnya dengan tenang dan melirik satu-satu dua lelaki di depannya.Ilbi kemudian mengeluarkan ponsel dan meminta nomor kontak Nurah. Lalu juga meminta Nurah menyimpan nomor Malik.Malik sendiri sedikit gugup di depan janda agen pengepul sawit tersebut dan Malik tidak suka akan hal itu.Ia tak boleh terditraksi akan kecantikan perempuan ini. Malik terus mengingatkan diri sendiri atas salah satu pemilik sidik jari pada tumbler beracun Saba adalah Nurah.Lalu hitungan menit kemudian salah satu petugas lain dari ruangan sebelah memanggil nama Nurah.“Saya advokat dari saksi Ibu Nurah,” Ilbi memajukan diri dan bicara. Petugas yang masih muda tersebut mengedarkan pandangannya satu persatu pada tiga orang di hadapannya."Untuk pemeriksaan kali ini saksi yang akan memberi keterangan belum didampingi kuasa hukum,” ujarnya dengan suara berat yang kurang cocok dengan penampilan mudanya.“Oh, begitu.” Ilbi beralih pada Nurah.” Kami akan keluar dulu. Kau tak perlu ragu-menjawab. Mungkin kami akan keluar sebentar, jika ada apa-apa hubungi salah satu dari kami.”“Tak usah khawatir,” ucapnya lugas.Mereka menuju pintu keluar dan selagi mereka melewati para saksi lain yang juga ikut menunggu sesosok wanita muncul dari pintu masuk.Dialah istri mendiang Saba sekaligus mantan istri Adil. Deskripsi dari portal berita yang sempat dibaca Malik sekali lagi memang sesuai.Meski terlihat sudah memasuki kepala empat namun kemenawanan masih tampak pada Sasmita. Tak kalah kasual dan klasik dengan Nurah, ia juga memakai kemeja wanita dusty pink dan celana kulot coklat.Mengikat rambut dengan scrunchies yang juga coklat dan menyampirkan tas di bahu. Dengan tinggi badan sama seperti Nurah kira-kira seratus enam puluhan senti.Ia kemudian mengambil tempat kosong setelah Nurah berlalu dan terlihat sedikit melirik mereka berdua."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Malik begitu mereka di teras.Ilbi membuka G****e Map. “Pemeriksaan saksi mungkin akan memakan waktu lama. Bagaimana kalau kita duduk dulu di kedai roti. Kebetulan tadi aku sarapan sedikit.” Ilbi menunjuk arah selatan.Sesampai mereka di kedai yang ditempuh cuma dengan waktu tiga menit berjalan kaki. Ilbi memesan roti srikaya dan kopi Sidikalang panas. Malik lebih memilih minum teh tarik.Begitu pesanan datang Ilbi langsung melahap rotinya dengan semangat. Membuat Malik berujar,” Pelan-pelan, kau ini sedikit sarapan atau malah tidak sarapan sama sekali sih?”“Tidak menyangka ya, kedai kecil begini rotinya dibuat sendiri dan enak, kau tak mau mencobanya?” Ilbi mengangkat roti bantal berselai dekat ke wajah Malik. Malik menggeleng dan memundurkan wajah.“Srikayanya gurih dan sangat manis. Jadi dioles sedikit saja langsung terasa,” gumamnya masih dengan gaya lahap memasukkan roti ke mulut.“Aku dulu bisa dibilang kekurangan makan kalau sedang menyelidiki seseorang. Tidak ada jenis makanan yang membuatku berselera selama misiku belum tuntas. Apalagi kalau apa yang kukerjakan mandek atau gagal, paling aku makan supaya tidak pingsan.”Alis Ilbi naik sebelah sambil melirik Malik yang menyeruput tehnya.“Bagaimana dengan kasus kali ini? Sejujurnya aku merasa pendekatan kepolisian atas perkara ini agak lamban. Atau mungkin mereka tak ingin terburu-buru bertindak. Yah, walaupun ini baru menjadi hari ketiga polisi melakukan investigasi.”Malik mendengus. “Tergantung bagaimana keterangan dari masing-masing manusia yang berada di posko. Aku sangat penasaran dengan kronologi berdasarkan orang yang langsung berada di tempat kejadian.”“Aku yakin ini akan menjadi kasus pembunuhan. Dan kalau memang betul, aku yakin pelaku sesungguhnya akan segera ketahuan.""Kenapa kau yakin sekali?""Menurut pengalamanku, aku belum pernah menjumpai pelaku pembunuhan yang benar-benar pintar, meskipun dia seorang pembunuh berantai. Selalu ada cela, keamatiran, dan kecerobohan. Dan itu berlaku di kota maupun perkampungan kecil.” Omongan Ilbi yang terkesan meremehkan penjahat lokal tidak digubris Malik. Ia hanya mengedikkan bahu.“Ngomong- ngomong kapan mayat kedua korban dimakamkan?” "Sehari setelah kematian. Keluarga kedua belah pihak menolak adanya autopsi. Tapi harusnya itu bukan masalah. Keduanya sudah jelas keracunan dan jenis racunnya juga umum dipakai para peternak atau petani untuk membasmi hama.” Malik kemudian melirik Ilbi yang menyeka sisa srikaya di sudut mulutnya dengan tisu. “Aku penasaran, apa kau benar-benar tidak pernah membela pelaku kejahatan?” “Nyaris tidak pernah,” ujar Ilbi lalu sejenak menyesap kopinya. Ucapa
Ini pertanyaan yang membuat telinga Malik dan Ilbi tegak waspada. Keduanya berdiri di teras dan berusaha tak terlalu kentara memperhatikan wawancara yang berjarak sekitar tak lebih dari lima meter tersebut dari tempat mereka berdiri. Truk tronton panjang yang berderu menjedakan beberapa detik untuk Jumali menjawab. “Di dalam posko, saya sedang duduk di satu bangku depan TV. Kira-kira selesai azan isya Saba datang dengan basah kuyup dan celana penuh dengan tanah. Saya tanya dari mana, habis beresin pagar jaring ikan katanya. "Dia sempat mengomel bahwa pekerja sif malamnya tidak berguna di saat darurat begini, jangankan membantu untuk mengecek kondisi kolam di waktu terang, si pekerja malah tidak datang malam ini dengan alasan mengatur perabot rumahnya yang mulai terendam banjir. "Setelah habis bicara begitu dia menghampiri Nurah yang sedang memasak bandrek dengan dandang besar. Nurah dan kompornya berada kurang lebih satu meter di belakang saya, jadi saya agak mendengar apa yang d
Sekitar satu jam kemudian ponsel Ilbi menunjukkan notifikasi pesan dari Nurah. Ia telah selesai dimintai keterangan. Mereka yang sedang duduk di teras masjid langsung berjalan ke Polsek. Sesampai mereka di sana Nurah sedang duduk berdiri dekat sepeda motor miliknya. Ilbi mengusulkan agar mereka bicara di tempat lain dan kembali membuka map di ponsel. “Kita ke tempat restoran Mi Ayam Jogja saja cuma dua ratus lima puluh meter dari sini.” Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 waktu yang cukup tepat untuk mengisi perut dengan makanan berat. Sesampainya di sana. Mereka mengambil tempat paling belakang dekat dinding dan memesan menu yang sama yaitu mi ayam jamur tiram. Nurah tak terlalu tertarik melirik menu dan menyerahkan pada Ilbi untuk memesankan menu yang sama dengannya, begitu pun juga Malik. “Bagaimana penyidikannya?” Ilbi langsung memulai percakapan inti. “Tidak ada masalah. Polisi akan meminta kesaksianku lagi lusa.” “Sasmita juga dipanggil dan kami sempat melihatnya di ruang t
Dengan lahap Malik menyantap nasi goreng Wak Yong yang gerobaknya mangkal di depan pagar rumahnya. Menyelip di sisi gang yang sempit. Nasi goreng plus bakso isi telur puyuh dengan kerupuk udang memenuhi seperempat piringnya. Ia duduk sambil menyilakan sebelah kaki dan dengan celana ponggol berwarna dongker yang pudar, Malik terlihat seperti kuli yang mengambil istirahat makan. Beberapa tetangga sebelah juga duduk di bangku-bangku plastik yang ditata berjejer di sisi pagar rumah agar tak menghalangi jalur pejalan kaki maupun pengendara motor.Selain Malik, ada dua orang lagi yang ikut memesan makanan dan mereka berdua duduk berdampingan tepat di seberang dekat dengan pagar milik tetangga. Dua orang bapak umur lima puluhan. Pak Ibnu dan Pak Sutar. Mereka ribut dan gemar bergosip tentang politik. Seperti umumnya babyboomer yang merasa tahu segalanya bermodal mengeklik tautan berita dengan sumber tak legit. Tipe bapak-bapak yang hanya peduli pada opini sendiri dan gampang membodohkan
Dengan perjalanan lebih satu jam mengendarai sepeda motor mereka sampai di gerbang kampung terjadinya tragedi. Kemudian mereka menempuh jalan yang diaspal sekitar dua ratus meter dan begitu jalan itu memasuki tanjakan, jalannya tidak teraspal. Mereka bertiga pun bisa melihat dari jalan tanjakan yang melewati rumah-rumah panggung maupun berlantai rendah yang halamannya tergenang air dengan warna pekat pada sisi kiri. Sementara sisi kanan merupakan sisi dengan air yang kemarin meninggi dan kini sudah lumayan jauh menyurut meski kedalamannya tetap saja membuat sebuah sampan pencari ikan bisa berlalu lalang seperti yang dilakukan lelaki paruh baya dengan kail pancingnya. Jika memasuki musim kemarau sisi kanan merupakan sungai mati dan berawa. Tanah tanjakan ditimbun tinggi warga untuk tujuan menahan air meluap dari wilayah kanan. Semacam benteng yang menghalangi air untuk menerjang sisi pemukiman di bagian kiri. Karena bagian jalan tinggi dimaksudkan sebagai tameng banjir, mungkin it
“Yah. Tapi akan jauh lebih baik, kalau kita memiliki berbagai sudut pandang dan informasi yang mungkin terlewat atau tak sengaja terlupakan padahal penting dalam kasus ini. “Kami bukan hanya perwakilan dalam urusan warisan tapi juga perwakilan lembaga Tim Independen Advokat Mandiri. Lembaga perlindungan saksi.” Adian diam dan mengangguk. Ia memang tahu sebelumnya tentang lembaga independen apalah itu. Dan tak terlalu yakin apakah cukup berguna sebagai alternatif pengungkapan atas tragedi yang menimpa abangnya ataupun mampu mengawal kesaksian dari pihak korban. Dalam hal ini berarti kesaksian Nurahlah yang akan dikawal, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini yang menyaksikan tragedi di posko. Bukan hanya itu, ia kemungkinan menjadi calon tersangka lantaran bertanggung jawab dalam memasak bandrek dan sidik jarinya tertinggal di tumbler Saba. Semua yang terjadi malam itu amat ganjil bagi Adian. Sejauh yang mampu ia pikirkan itu bukanlah bunuh diri. Saba bisa bunuh diri di rumahn
“Maaf kalian harus mendengar julukan kasarku padanya. Tapi begitulah yang ku katakan pada almarhum Abang tentang pilihannya akan gadis itu.” Terlihat jelas ketidaksukaan pada raut wajah Adian. Ilbi bertanya lagi. “Semenjak periode lima tahun abang Anda berumah tangga dengan Nurah, adakah Anda pernah mengetahui mereka berdua berkonflik atau terkena masalah dari pihak luar?” Adian menggeleng. “Abang hanya meneleponku sekali-sekali. Dia lebih sering bicara dengan ibu. Setahuku tidak pernah ada kejadian yang aneh-aneh menimpanya. “Namun jika kalian bertanya apakah ada konflik lain yang menimpa Abang setelah memboyong Nurah, aku rasa kalian juga sudah tahu dari berita bahwa pekerjanya saat itu, yaitu mantan kekasih Nurah malah mengambil Sasmita dari Abang.” Adian mendengus dan tersenyum kecut. “Aku bersimpati pada Sasmita. Tapi kemudian dia malah main api dengan pekerja Abang. Si Saba itu. Bahkan menurut Abang, Sabalah yang menjodohkan Nurah padanya. “Menjodohkan? Yang benar saja. A
“Ayah tiriku punya kebiasaan minum minuman keras. Pernah suatu kali aku pulang dan mendapati banyak botol bekas minuman di tempat sampah samping kolam. "Aku bilang ini pada Ibu, tapi ia tak terkejut. Sejak itu aku jadi malas menginap di sana dan pindah ke tempat Ayah untuk tidur.” “Jadi seterusnya kau hanya mampir sebentar ke tempat Ibu dan lebih lama di tempat Ayah. Kalau boleh tahu kapan kau mengetahui ayah tirimu pemabuk?” “Hampir setengah tahun kurasa.” “Kau tak pernah mengungkitnya lagi pada ibumu? Mohon maaf jika terlalu ikut campur, tapi karena kau seorang santri, asumsi kami adalah bahwa kau dibesarkan dari keluarga religius. “Apakah ibumu sungguh tidak terlihat terganggu dengan kebiasaan ayah tirimu?” Ilbi sendiri tak yakin mengajukan mempertanyakan model begini. Bisa saja yang lebih religius adalah almarhum Adil sehingga berpikir bahwa pendidikan pesantren adalah yang paling tepat untuk Nizam. Pertanyaan yang menghubungkan status Nizam sebagai santri dengan moralitas