Ini pertanyaan yang membuat telinga Malik dan Ilbi tegak waspada. Keduanya berdiri di teras dan berusaha tak terlalu kentara memperhatikan wawancara yang berjarak sekitar tak lebih dari lima meter tersebut dari tempat mereka berdiri.
Truk tronton panjang yang berderu menjedakan beberapa detik untuk Jumali menjawab.“Di dalam posko, saya sedang duduk di satu bangku depan TV. Kira-kira selesai azan isya Saba datang dengan basah kuyup dan celana penuh dengan tanah.Saya tanya dari mana, habis beresin pagar jaring ikan katanya."Dia sempat mengomel bahwa pekerja sif malamnya tidak berguna di saat darurat begini, jangankan membantu untuk mengecek kondisi kolam di waktu terang, si pekerja malah tidak datang malam ini dengan alasan mengatur perabot rumahnya yang mulai terendam banjir."Setelah habis bicara begitu dia menghampiri Nurah yang sedang memasak bandrek dengan dandang besar. Nurah dan kompornya berada kurang lebih satu meter di belakang saya, jadi saya agak mendengar apa yang dikatakan almarhum Saba."Dia menitipkan botol minumnya dan berpesan pada Nurah untuk memasukkan bandrek jika selesai memasaknya. Dia tak mau tak kebagian karena mau pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan makan."Kira-kira dua puluh menit atau mungkin setengah jam, saya tak ingat, Nurah dan Sasmita juga seorang remaja tanggung bernama Akbar saling membantu memindahkan bandrek ke ceret dan cangkir-cangkir termasuk juga botol yang tadi dititipkan Saba.”Si reporter menyela. “Maaf saya potong, siapa yang memegang botol minum Saba dan menuang bandrek ke dalamnya?”Cukup merepotkan mengadakan wawancara di pinggir jalan raya. Reporter itu bertanya sambil mengibaskan ujung jilbab saat asap knalpot dari truk pengangkut kayu gelondongan menerpa wajahnya. Jumali juga menangkupkan tapak tangan kanannya ke area mulut.“Sasmita,” jawab Jumali singkat lalu menangkupkan tangan lagi ke mulutnya. Kali ini asap dari knalpot truk pengangkut sawit.Malik dan Ilbi saling melirik. Si reporter lalu mengajukan pertanyaan krusial.“Jadi Bapak melihat saat Sasmita menyentuh botol itu. Apakah Bapak melihat di saat itu, Sasmita melakukan sesuatu yang aneh? Misalnya selagi menuangkan bandrek ke botol, dia juga memasukkan sesuatu?”“Tidak. Saya memang kebetulan memperhatikan karena ingin membantu juga. Dia bersikap normal saja saya pikir, setelah menuang dan menutupnya botol itu ditaruh di meja.”“Baik. Lalu bagaimana selanjutnya Pak?”“Tak berapa lama kemudian Saba datang dan mengambil botol minum tersebut yang ditaruh di meja sebelahku. Dan Adil suami Nurah juga datang."Saba mengajak Adil duduk bersama di tempat duduk yang berada di tengah satu meter depanku. Saba mengambil gelas kosong dan menuang bandrek dari botolnya lalu di berikan pada Adil. Sementara Saba minum langsung dari botol."Beberapa detik kemudian mereka sama-sama merasa tak enak. Lalu dalam sekejap kejang-kejang dan mulai mengeluarkan buih dari mulut.” Ada nada ngeri dari ucapan Jumali.“Apakah dilakukan upaya atas kondisi mereka saat itu?”“Saat itu banjir lagi naik dan mereka kesulitan dibawa ke rumah sakit. Beberapa warga yang memiliki mobil sudah mengungsikan kendaraan mereka dua hari sebelumnya ke kota."Nurah yang tak bisa menyetir meminta yang bisa menyetir pada orang-orang di posko untuk ikut dengannya ke rumah mengambil mobil Adil."Proses ke rumah sakit sedikit tersendat karena kami harus mencabuti pancang tenda yang terpasang agar mobil bisa keluar. Sesampai di rumah sakit, dokter di sana menyampaikan bahwa keduanya telah tiada.”Si reporter menyela lagi. “Kembali pada saat korban bernama Adil tiba di posko, mengapa almarhum Adil tidak mengambil bandrek lain dan mau menerima bandrek dari Saba?”“Karena bandrek lainnya sudah habis, Akbar membawa ceret untuk dibagikan ke rumah warga terdekat.” Sambil berkata begitu mata Jumali melirik sekilas ke jalan.Kini tampak mendekat sebuah truk tangki minyak milik perusahaan nasional meraung seolah mendesak minggir dan memperingatkan untuk jangan sampai reporter beserta kameramen itu bergeser sedikit menginjak aspal jalan raya.“Baik Pak, terima kasih atas keterangannya. Jaga kesehatan selalu.” Si pewawancara kemudian menjabat tangan Jumali dan beralih menghadap kamera memberi kalimat penutup.“Baiklah pemirsa itu tadi merupakan kesaksian dari salah satu saksi kunci di lokasi kejadian perkara. Saksi kunci lain adalah Akbar. Tapi tidak terlihat ada remaja lelaki di sini, mungkin bukan hari ini jadwal pemeriksaannya."Kami akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus keracunan dari minuman bandrek yang menyebabkan tewasnya dua orang pria bernama Adil Pras dan Ahmad Saba. Dari Polsek Stabat, Intan Nindya melaporkan,” tutupnya dengan nada meyakinkan.Si reporter kemudian tampak mengarahkan si kameramen agar beranjak menuju teras. Dua orang lelaki yang sejak tadi memperhatikan wawancara tersebut dengan gaya acuh tak acuh menarik perhatian reporter. Ia kemudian bertanya.“Maaf, apakah abang-abang ini berkaitan dengan kasus bandrek beracun?”Ilbi langsung menggeleng diikuti Malik. “Tidak, kami datang untuk urusan lain,” jawab Ilbi.Jika ia berkata bahwa mereka memang ada urusan dengan kasus itu, maka kameramen akan siap menghidupkan kameranya dan si reporter akan menyodorkan mik ke mulutnya.“Oh, begitu,” kata si reporter dengan sedikit pandangan curiga.Ilbi melirik Malik memberinya kode untuk mengikutinya. Mereka berdua melewati reporter dan kameramennya yang melirik ke dalam kantor untuk mencari bahan berita lagi.“Bagaimana? Kita akan menunggu sampai Nurah selesai diperiksa. Tapi menunggu di ruang tunggu akan menarik perhatian wartawan tadi,” kata Malik.“Ini sudah lewat satu jam semenjak Nurah dipanggil. Mungkin sebaiknya kita jalan kaki untuk duduk-duduk di Masjid Raya yang jaraknya 700 meter dari sini."Tanpa menunggu persetujuan Malik, Ilbi melangkah duluan.***Sekitar satu jam kemudian ponsel Ilbi menunjukkan notifikasi pesan dari Nurah. Ia telah selesai dimintai keterangan. Mereka yang sedang duduk di teras masjid langsung berjalan ke Polsek. Sesampai mereka di sana Nurah sedang duduk berdiri dekat sepeda motor miliknya. Ilbi mengusulkan agar mereka bicara di tempat lain dan kembali membuka map di ponsel. “Kita ke tempat restoran Mi Ayam Jogja saja cuma dua ratus lima puluh meter dari sini.” Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 waktu yang cukup tepat untuk mengisi perut dengan makanan berat. Sesampainya di sana. Mereka mengambil tempat paling belakang dekat dinding dan memesan menu yang sama yaitu mi ayam jamur tiram. Nurah tak terlalu tertarik melirik menu dan menyerahkan pada Ilbi untuk memesankan menu yang sama dengannya, begitu pun juga Malik. “Bagaimana penyidikannya?” Ilbi langsung memulai percakapan inti. “Tidak ada masalah. Polisi akan meminta kesaksianku lagi lusa.” “Sasmita juga dipanggil dan kami sempat melihatnya di ruang t
Dengan lahap Malik menyantap nasi goreng Wak Yong yang gerobaknya mangkal di depan pagar rumahnya. Menyelip di sisi gang yang sempit. Nasi goreng plus bakso isi telur puyuh dengan kerupuk udang memenuhi seperempat piringnya. Ia duduk sambil menyilakan sebelah kaki dan dengan celana ponggol berwarna dongker yang pudar, Malik terlihat seperti kuli yang mengambil istirahat makan. Beberapa tetangga sebelah juga duduk di bangku-bangku plastik yang ditata berjejer di sisi pagar rumah agar tak menghalangi jalur pejalan kaki maupun pengendara motor.Selain Malik, ada dua orang lagi yang ikut memesan makanan dan mereka berdua duduk berdampingan tepat di seberang dekat dengan pagar milik tetangga. Dua orang bapak umur lima puluhan. Pak Ibnu dan Pak Sutar. Mereka ribut dan gemar bergosip tentang politik. Seperti umumnya babyboomer yang merasa tahu segalanya bermodal mengeklik tautan berita dengan sumber tak legit. Tipe bapak-bapak yang hanya peduli pada opini sendiri dan gampang membodohkan
Dengan perjalanan lebih satu jam mengendarai sepeda motor mereka sampai di gerbang kampung terjadinya tragedi. Kemudian mereka menempuh jalan yang diaspal sekitar dua ratus meter dan begitu jalan itu memasuki tanjakan, jalannya tidak teraspal. Mereka bertiga pun bisa melihat dari jalan tanjakan yang melewati rumah-rumah panggung maupun berlantai rendah yang halamannya tergenang air dengan warna pekat pada sisi kiri. Sementara sisi kanan merupakan sisi dengan air yang kemarin meninggi dan kini sudah lumayan jauh menyurut meski kedalamannya tetap saja membuat sebuah sampan pencari ikan bisa berlalu lalang seperti yang dilakukan lelaki paruh baya dengan kail pancingnya. Jika memasuki musim kemarau sisi kanan merupakan sungai mati dan berawa. Tanah tanjakan ditimbun tinggi warga untuk tujuan menahan air meluap dari wilayah kanan. Semacam benteng yang menghalangi air untuk menerjang sisi pemukiman di bagian kiri. Karena bagian jalan tinggi dimaksudkan sebagai tameng banjir, mungkin it
“Yah. Tapi akan jauh lebih baik, kalau kita memiliki berbagai sudut pandang dan informasi yang mungkin terlewat atau tak sengaja terlupakan padahal penting dalam kasus ini. “Kami bukan hanya perwakilan dalam urusan warisan tapi juga perwakilan lembaga Tim Independen Advokat Mandiri. Lembaga perlindungan saksi.” Adian diam dan mengangguk. Ia memang tahu sebelumnya tentang lembaga independen apalah itu. Dan tak terlalu yakin apakah cukup berguna sebagai alternatif pengungkapan atas tragedi yang menimpa abangnya ataupun mampu mengawal kesaksian dari pihak korban. Dalam hal ini berarti kesaksian Nurahlah yang akan dikawal, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini yang menyaksikan tragedi di posko. Bukan hanya itu, ia kemungkinan menjadi calon tersangka lantaran bertanggung jawab dalam memasak bandrek dan sidik jarinya tertinggal di tumbler Saba. Semua yang terjadi malam itu amat ganjil bagi Adian. Sejauh yang mampu ia pikirkan itu bukanlah bunuh diri. Saba bisa bunuh diri di rumahn
“Maaf kalian harus mendengar julukan kasarku padanya. Tapi begitulah yang ku katakan pada almarhum Abang tentang pilihannya akan gadis itu.” Terlihat jelas ketidaksukaan pada raut wajah Adian. Ilbi bertanya lagi. “Semenjak periode lima tahun abang Anda berumah tangga dengan Nurah, adakah Anda pernah mengetahui mereka berdua berkonflik atau terkena masalah dari pihak luar?” Adian menggeleng. “Abang hanya meneleponku sekali-sekali. Dia lebih sering bicara dengan ibu. Setahuku tidak pernah ada kejadian yang aneh-aneh menimpanya. “Namun jika kalian bertanya apakah ada konflik lain yang menimpa Abang setelah memboyong Nurah, aku rasa kalian juga sudah tahu dari berita bahwa pekerjanya saat itu, yaitu mantan kekasih Nurah malah mengambil Sasmita dari Abang.” Adian mendengus dan tersenyum kecut. “Aku bersimpati pada Sasmita. Tapi kemudian dia malah main api dengan pekerja Abang. Si Saba itu. Bahkan menurut Abang, Sabalah yang menjodohkan Nurah padanya. “Menjodohkan? Yang benar saja. A
“Ayah tiriku punya kebiasaan minum minuman keras. Pernah suatu kali aku pulang dan mendapati banyak botol bekas minuman di tempat sampah samping kolam. "Aku bilang ini pada Ibu, tapi ia tak terkejut. Sejak itu aku jadi malas menginap di sana dan pindah ke tempat Ayah untuk tidur.” “Jadi seterusnya kau hanya mampir sebentar ke tempat Ibu dan lebih lama di tempat Ayah. Kalau boleh tahu kapan kau mengetahui ayah tirimu pemabuk?” “Hampir setengah tahun kurasa.” “Kau tak pernah mengungkitnya lagi pada ibumu? Mohon maaf jika terlalu ikut campur, tapi karena kau seorang santri, asumsi kami adalah bahwa kau dibesarkan dari keluarga religius. “Apakah ibumu sungguh tidak terlihat terganggu dengan kebiasaan ayah tirimu?” Ilbi sendiri tak yakin mengajukan mempertanyakan model begini. Bisa saja yang lebih religius adalah almarhum Adil sehingga berpikir bahwa pendidikan pesantren adalah yang paling tepat untuk Nizam. Pertanyaan yang menghubungkan status Nizam sebagai santri dengan moralitas
"Saat tahun kedua aku SMA, aku berkenalan dan pacaran dengan Saba yang menjaga toko alat tulis dan fotokopi. Lalu ditahun berikutnya kami masih bersama sampai beberapa waktu setelah aku tamat sekolah, ayahku meninggal. "Yang baru kami ketahui meninggalkan banyak hutang dan bahkan mengagunkan rumah dan beberapa petak kecil tanah kami. "Kemudian Adil yang memang cukup sering berkunjung ke rumah menawarkan bantuan, tapi dia meminta syarat agar aku mau menikah dengannya. "Aku tidak kaget. Karena saat berkunjung ke rumah saat ayah masih hidup aku sadar dia tertarik padaku. Saat itu aku menceritakan keresahanku pada Saba, tapi ia malah menganjurkan bahkan membujuk untuk menerima tawaran Adil. Hanya itu cara untuk menyelamatkan keluargaku.”Nurah sekilas melirik masing-masing sepasang mata pendengarnya. Sebenarnya ia tak benar-benar tak peduli dengan anggapan orang di ruangan ini. Ada sedikit bagian yang diputuskannya untuk tidak diceritakan karena tidak penting dan tak ada hubungannya p
“Mengenai kronologi kejadian di posko. Bagaimana gerak-gerik Saba dan Adil sebelum kejadian?”“Tumbler itu ditaruh di meja oleh Akbar berdekatan dengan Pak Jumali yang menonton TV di depanku. Saba yang baru datang kembali langsung mengambilnya. Kemudian suamiku datang dan Saba menuang bandrek dari tumblernya ke gelas kosong...”“Kau yakin dia mengambil gelas yang kosong?”“Ya, aku yakin. Itu gelas sisa yang tak kebagian kami isi. Akbar juga yang menaruhnya di sana.”“Bagus, teruskan.”“Mereka minum bersamaan, kurasa, aku tak memperhatikannya. Mereka berdua mulai mengeluh kesakitan, dan kejang-kejang. “Aku panik sementara orang-orang sibuk memberi bantuan tak berarti. Saat itu sangat sulit membawa mereka berdua ke rumah sakit karena banjir yang menggenang jalan di bawah tanjakan mulai meninggi lebih dari semata kaki. “Kami membawanya dengan mobil Adil yang disetir orang dari posko karena aku tak bisa menyetir. Tapi semuanya sia-sia.” Nurah mendengus panjang. Masih sulit baginya meng