Dengan lahap Malik menyantap nasi goreng Wak Yong yang gerobaknya mangkal di depan pagar rumahnya. Menyelip di sisi gang yang sempit. Nasi goreng plus bakso isi telur puyuh dengan kerupuk udang memenuhi seperempat piringnya.
Ia duduk sambil menyilakan sebelah kaki dan dengan celana ponggol berwarna dongker yang pudar, Malik terlihat seperti kuli yang mengambil istirahat makan.Beberapa tetangga sebelah juga duduk di bangku-bangku plastik yang ditata berjejer di sisi pagar rumah agar tak menghalangi jalur pejalan kaki maupun pengendara motor.Selain Malik, ada dua orang lagi yang ikut memesan makanan dan mereka berdua duduk berdampingan tepat di seberang dekat dengan pagar milik tetangga.Dua orang bapak umur lima puluhan. Pak Ibnu dan Pak Sutar. Mereka ribut dan gemar bergosip tentang politik. Seperti umumnya babyboomer yang merasa tahu segalanya bermodal mengeklik tautan berita dengan sumber tak legit.Tipe bapak-bapak yang hanya peduli pada opini sendiri dan gampang membodohkan orang lain yang tak sesuai dengan jalan pikirannya. Tapi kali ini pembahasan mereka tidak berkaitan dengan pemilu 2024.Topik yang mereka bahas membuat Malik ikut mendengarkan dengan sikap pura-pura tak menyimak. Sebenarnya Malik pun takkan ketinggalan akan obrolan mereka meski ia makan di loteng kamarnya. Suara kedua lelaki paruh baya itu sudah cukup menggelegar.“Kau lihat berita pembunuhan di Stabat? Dua laki-laki, satu umur empat puluhan dan akhir dua puluhan minum bandrek yang dikasih racun. Mereka mati di depan umum di dalam posko banjir yang ironisnya posko itu diinisiasi oleh si korban usia empat puluhan.” Pak Ibnu memulai percakapan.“Yah, aku baca. Gila! Yang meninggal ini ternyata punya hubungan macam cerita sinetron. Mantan istri si korban yang lebih tua kawin sama si korban yang muda, mantan cewek si korban yang muda jadi istri si korban yang tua.” Pak Sutar menimpali.Wak Yong yang sedang mengiris daun bawang melirik kedua pelanggannya. Merasa ini pertama kalinya kedua orang itu membahas kasus berkaitan dengan skandal rumah tangga.“Bahasa yang mudah dipahami yaitu tukar guling! Sepasang muda mudi dan sepasang bapak ibu, tukaran pasangan, hehehe..” Pak Sutar terkekeh lalu lanjut berkata,“Masing-masing istri mereka sedang membantu di posko. Yang meninggal adalah kedua suami mereka yang duduk bersebelahan karena minum bandrek yang beracun. Istri si korban muda memasak bubur dan istri si korban tua mengaduk bandrek.“Keduanya pasti punya rasa sakit hati terhadap korban-korban. Istri si korban tua ketahuan menyimpan potas di gudang, tapi polisi belum menjadikan dia tersangka. Sulit dibayangkan karena mereka cantik-cantik. Istri si korban muda yang lebih tua sama cantiknya dengan istri si korban tua.“Sayang sekali kalau salah satu dari mereka benar-benar membunuh. Bayangkan kampung itu, langsung punya dua janda kembang!” Keduanya kini terkekeh bersama dan Wak Yong tersenyum tipis dari balik gerobak.Salah satu ibu pembeli Wak Yong yang dari tadi berdiri menunggu pesanannya untuk dibungkus, mengamati percakapan penuh semangat itu dan nimbrung. “Dasar ni bapak-bapak! Ada orang mati yang dipikirin malah istrinya jadi janda kembang,” sungutnya.“Halah Bu Imah, aku yakin dua laki-laki yang mati itu bukan orang baik. Dan malah menurutku sangat mungkin kalau sebenarnya dua perempuan ini kerja sama untuk meracun suami mereka.“Kita tak tahu motif mereka apa. Yang jelas kadang-kadang laki-laki itu tak pandai bersyukur. Dapat istri cantik mau cari yang lain. Salah satu korban yang tewas itu agen pengepul sawit. Tuan tanah juga,” sahut Pak Ibnu.“Wah, banyak dong warisannya.” Mata Bu Imah membulat.Pak Sutar balas bersungut. “Dasar ibu-ibu! Ada orang mati yang dipikirin malah warisannya!”Ketiganya tertawa serempak. Wak Yong tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Malik masih pura-pura tak peduli.Ia tak berminat menginterupsi percakapan dan mengoreksi asumsi serta informasi tak lengkap yang mereka punya. Ia tak merasa perlu ikut dalam obrolan sambil mengungkapkan bahwa dirinya terlibat langsung dalam kasus yang mereka bahas.Lagi pula apa yang akan dikatakanny? Polisi belum mengungkapkan apa pun selain kronologi singkat dari Wakapolsek yang sempat Malik lihat di acara berita TV kriminal lokal, yang bahkan tidak selengkap keterangan Jumali pada wawancara pagi tadi.Penyidikan masih berlangsung. Yang bisa diketahui dengan cukup yakin yaitu target si pembunuh adalah Saba. Untuk sementara. Karena tumbler itu miliknya.“Bisa saja kan, ada yang dengki menaruh racun ke tempat istri si korban tua. Dan, oh, si korban tua itu kan pengusaha. Pasti banyak musuhnya. Kenapa istri si korban tua membunuh suaminya saat dialah yang mengaduk bandrek? Itu terlalu terang-terangan.“Polisi akan langsung curiga. Kenyataannya ia belum juga dijadikan tersangka, pasti polisi juga punya dugaan istri si korban tua dicurangi,” kata Pak Sutar yang tak sengotot Pak Ibnu. Sedikit.“Istri si korban tua itu masih muda. Bisa saja dia punya selingkuhan. Jika suaminya mati, dia bisa mendapat warisan dan hidup bersama pacarnya. Begitulah teoriku,” kata Pak Ibnu.Malik menahan diri untuk tidak berujar, ‘racun potas itu tak cuma ditemukan di kediaman Nurah namun juga ditemukan di rumah dua saksi lain yang berada di posko. Bagaimana? Bapak masih punya teori yang sama?’“Menurutku yang bunuh mereka berdua adalah musuh si agen pengepul sawit. Mungkin beberapa orang dari yang berada di posko. Karena tidak ada kesaksian yang menyatakan melihat racun dimasukkan. Beberapa saksi pasti berbohong,” ujar Pak Sutar.‘Targetnya bukan agen pengepul sawit! Targetnya Saba! Racunnya berasal dari tumblernya! Sebenarnya apa yang kalian baca?’ Mulut Malik terasa gatal.“Bagaimana dengan istri si korban muda pemasak bubur kacang? Meski tidak ditemukan potas di rumahnya, itu tidak membuktikan apa-apa. Aku cukup yakin wanita itu benci dengan mantan suaminya si agen kaya yang memilih si wanita muda dan mungkin juga kepada suaminya sekarang.” Kali ini Bu Imah yang menebak. Sepertinya ia juga mengikuti berita ini.Malik membatin lagi, ‘Tentu itu juga menjadi kecurigaan kami tim advokat perwakilan Nurah. Sasmita dua kali memiliki kesempatan mendekati tumbler itu. Sayangnya para saksi tak melihat Sasmita memasukkan sesuatu yang mencurigakan. Termasuk Nurah sendiri.’Jam sudah menunjukkan angka 20.30 ketika Malik menerima pesan Ilbi.Mereka akan pergi ke kediaman Nurah besok pagi. Ilbi berpesan bahwa kampung itu masih berair dan becek meski banjir telah surut cukup signifikan. Ilbi juga akan membonceng Pak Hito.Pak Hito sendiri akan menyampaikan langsung kepada keluarga yang ditinggalkan almarhum Adil tentang penundaan pembacaan surat wasiat dan pembagian warisan sampai kasus ini terang benderang.Malik kemudian membayar makanannya dan masuk ke rumah tanpa menoleh ke orang-orang masih yang saling silang pendapat itu.Dengan perjalanan lebih satu jam mengendarai sepeda motor mereka sampai di gerbang kampung terjadinya tragedi. Kemudian mereka menempuh jalan yang diaspal sekitar dua ratus meter dan begitu jalan itu memasuki tanjakan, jalannya tidak teraspal. Mereka bertiga pun bisa melihat dari jalan tanjakan yang melewati rumah-rumah panggung maupun berlantai rendah yang halamannya tergenang air dengan warna pekat pada sisi kiri. Sementara sisi kanan merupakan sisi dengan air yang kemarin meninggi dan kini sudah lumayan jauh menyurut meski kedalamannya tetap saja membuat sebuah sampan pencari ikan bisa berlalu lalang seperti yang dilakukan lelaki paruh baya dengan kail pancingnya. Jika memasuki musim kemarau sisi kanan merupakan sungai mati dan berawa. Tanah tanjakan ditimbun tinggi warga untuk tujuan menahan air meluap dari wilayah kanan. Semacam benteng yang menghalangi air untuk menerjang sisi pemukiman di bagian kiri. Karena bagian jalan tinggi dimaksudkan sebagai tameng banjir, mungkin it
“Yah. Tapi akan jauh lebih baik, kalau kita memiliki berbagai sudut pandang dan informasi yang mungkin terlewat atau tak sengaja terlupakan padahal penting dalam kasus ini. “Kami bukan hanya perwakilan dalam urusan warisan tapi juga perwakilan lembaga Tim Independen Advokat Mandiri. Lembaga perlindungan saksi.” Adian diam dan mengangguk. Ia memang tahu sebelumnya tentang lembaga independen apalah itu. Dan tak terlalu yakin apakah cukup berguna sebagai alternatif pengungkapan atas tragedi yang menimpa abangnya ataupun mampu mengawal kesaksian dari pihak korban. Dalam hal ini berarti kesaksian Nurahlah yang akan dikawal, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini yang menyaksikan tragedi di posko. Bukan hanya itu, ia kemungkinan menjadi calon tersangka lantaran bertanggung jawab dalam memasak bandrek dan sidik jarinya tertinggal di tumbler Saba. Semua yang terjadi malam itu amat ganjil bagi Adian. Sejauh yang mampu ia pikirkan itu bukanlah bunuh diri. Saba bisa bunuh diri di rumahn
“Maaf kalian harus mendengar julukan kasarku padanya. Tapi begitulah yang ku katakan pada almarhum Abang tentang pilihannya akan gadis itu.” Terlihat jelas ketidaksukaan pada raut wajah Adian. Ilbi bertanya lagi. “Semenjak periode lima tahun abang Anda berumah tangga dengan Nurah, adakah Anda pernah mengetahui mereka berdua berkonflik atau terkena masalah dari pihak luar?” Adian menggeleng. “Abang hanya meneleponku sekali-sekali. Dia lebih sering bicara dengan ibu. Setahuku tidak pernah ada kejadian yang aneh-aneh menimpanya. “Namun jika kalian bertanya apakah ada konflik lain yang menimpa Abang setelah memboyong Nurah, aku rasa kalian juga sudah tahu dari berita bahwa pekerjanya saat itu, yaitu mantan kekasih Nurah malah mengambil Sasmita dari Abang.” Adian mendengus dan tersenyum kecut. “Aku bersimpati pada Sasmita. Tapi kemudian dia malah main api dengan pekerja Abang. Si Saba itu. Bahkan menurut Abang, Sabalah yang menjodohkan Nurah padanya. “Menjodohkan? Yang benar saja. A
“Ayah tiriku punya kebiasaan minum minuman keras. Pernah suatu kali aku pulang dan mendapati banyak botol bekas minuman di tempat sampah samping kolam. "Aku bilang ini pada Ibu, tapi ia tak terkejut. Sejak itu aku jadi malas menginap di sana dan pindah ke tempat Ayah untuk tidur.” “Jadi seterusnya kau hanya mampir sebentar ke tempat Ibu dan lebih lama di tempat Ayah. Kalau boleh tahu kapan kau mengetahui ayah tirimu pemabuk?” “Hampir setengah tahun kurasa.” “Kau tak pernah mengungkitnya lagi pada ibumu? Mohon maaf jika terlalu ikut campur, tapi karena kau seorang santri, asumsi kami adalah bahwa kau dibesarkan dari keluarga religius. “Apakah ibumu sungguh tidak terlihat terganggu dengan kebiasaan ayah tirimu?” Ilbi sendiri tak yakin mengajukan mempertanyakan model begini. Bisa saja yang lebih religius adalah almarhum Adil sehingga berpikir bahwa pendidikan pesantren adalah yang paling tepat untuk Nizam. Pertanyaan yang menghubungkan status Nizam sebagai santri dengan moralitas
"Saat tahun kedua aku SMA, aku berkenalan dan pacaran dengan Saba yang menjaga toko alat tulis dan fotokopi. Lalu ditahun berikutnya kami masih bersama sampai beberapa waktu setelah aku tamat sekolah, ayahku meninggal. "Yang baru kami ketahui meninggalkan banyak hutang dan bahkan mengagunkan rumah dan beberapa petak kecil tanah kami. "Kemudian Adil yang memang cukup sering berkunjung ke rumah menawarkan bantuan, tapi dia meminta syarat agar aku mau menikah dengannya. "Aku tidak kaget. Karena saat berkunjung ke rumah saat ayah masih hidup aku sadar dia tertarik padaku. Saat itu aku menceritakan keresahanku pada Saba, tapi ia malah menganjurkan bahkan membujuk untuk menerima tawaran Adil. Hanya itu cara untuk menyelamatkan keluargaku.”Nurah sekilas melirik masing-masing sepasang mata pendengarnya. Sebenarnya ia tak benar-benar tak peduli dengan anggapan orang di ruangan ini. Ada sedikit bagian yang diputuskannya untuk tidak diceritakan karena tidak penting dan tak ada hubungannya p
“Mengenai kronologi kejadian di posko. Bagaimana gerak-gerik Saba dan Adil sebelum kejadian?”“Tumbler itu ditaruh di meja oleh Akbar berdekatan dengan Pak Jumali yang menonton TV di depanku. Saba yang baru datang kembali langsung mengambilnya. Kemudian suamiku datang dan Saba menuang bandrek dari tumblernya ke gelas kosong...”“Kau yakin dia mengambil gelas yang kosong?”“Ya, aku yakin. Itu gelas sisa yang tak kebagian kami isi. Akbar juga yang menaruhnya di sana.”“Bagus, teruskan.”“Mereka minum bersamaan, kurasa, aku tak memperhatikannya. Mereka berdua mulai mengeluh kesakitan, dan kejang-kejang. “Aku panik sementara orang-orang sibuk memberi bantuan tak berarti. Saat itu sangat sulit membawa mereka berdua ke rumah sakit karena banjir yang menggenang jalan di bawah tanjakan mulai meninggi lebih dari semata kaki. “Kami membawanya dengan mobil Adil yang disetir orang dari posko karena aku tak bisa menyetir. Tapi semuanya sia-sia.” Nurah mendengus panjang. Masih sulit baginya meng
“Pak Hitolah yang membawa kami. Mungkin Anda sudah mendengar siapa dia. Pak Hitolah yang menyimpan surat wasiat almarhum Adil dan beliau punya lembaga sampingan untuk pendampingan saksi.”Sasmita mencerna kalimat Malik dan mengambil kesimpulan sendiri.“Saya melihat Anda kemarin di kantor polisi. Jadi Anda berada di sana sebagai perwakilan Nurah?”Malik dengan santai menjawab. ”Yah, bisa dianggap sebagai perwakilannya. Tapi tidak sepenuhnya resmi memberi pendampingan hukum. Kemungkinan akan bisa disebut begitu, bagaimanapun Nurah merupakan bagian keluarga Adil. "Sejujurnya kami belum memutuskan untuk memberinya perlindungan hukum jika terjadi apa-apa.”Sasmita bicara tanpa menatap langsung mata Malik dengan senyum pahit. “Jadi Anda mengorek informasi dariku untuk membantu klien Anda?”“Mencari kebenaran juga salah satu tujuan dari lembaga kami,” ucap Malik dengan suaranya yang dalam lalu melanjutkan kalimatnya. “Karena Anda telah mengetahui siapa saya, apakah Anda masih ingin melanju
“Baiklah. Jadi hari itu Saba memulai aktivitasnya seperti biasa. Menunggui kolam di pondok tersebut dan adakah dia ditemani seseorang selama hari tersebut?” “Tidak ada orang lain. Kebetulan akulah yang mengantar sarapan dan makan siangnya.” “Lalu bagaimana dengan tumblernya? Apakah dia selalu membawa tumblernya ke kolam? Siapa yang mengisi air minum di tumblernya hari itu?” Sasmi terlihat sedikit tersinggung. "Aku yang mengisinya dengan air panas. Saba suka membuat kopi dari sachetan sendiri. Memang selalu begitu biasanya. "Tapi jika ada sesuatu yang aneh di air minumnya, bukankah harusnya dia tidak sehat sampai kejadian di posko? "Polisi sudah memeriksa CCTV yang menghadap kolam, tidak ada orang lain selain almarhum suamiku dan beliau juga terlihat berkali-kali minum dari tumbler tersebut.” “Ya. Tentu saja. Bisakah Anda menceritakan kronologi pada malam itu? Bagaimana saat Saba pergi ke posko?” “Aku membantu di posko bagian dapur umum dan datang sebelum Saba. Saba sendiri sej