Sekitar satu jam kemudian ponsel Ilbi menunjukkan notifikasi pesan dari Nurah. Ia telah selesai dimintai keterangan. Mereka yang sedang duduk di teras masjid langsung berjalan ke Polsek.
Sesampai mereka di sana Nurah sedang duduk berdiri dekat sepeda motor miliknya. Ilbi mengusulkan agar mereka bicara di tempat lain dan kembali membuka map di ponsel.“Kita ke tempat restoran Mi Ayam Jogja saja cuma dua ratus lima puluh meter dari sini.”Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 waktu yang cukup tepat untuk mengisi perut dengan makanan berat.Sesampainya di sana. Mereka mengambil tempat paling belakang dekat dinding dan memesan menu yang sama yaitu mi ayam jamur tiram.Nurah tak terlalu tertarik melirik menu dan menyerahkan pada Ilbi untuk memesankan menu yang sama dengannya, begitu pun juga Malik.“Bagaimana penyidikannya?” Ilbi langsung memulai percakapan inti.“Tidak ada masalah. Polisi akan meminta kesaksianku lagi lusa.”“Sasmita juga dipanggil dan kami sempat melihatnya di ruang tunggu. Dia datang saat kau masuk ke ruangan.”“Oh, aku tidak melihatnya saat keluar.”“Mungkin dia ditanyai penyidik yang lain. Baiklah, bisa ceritakan pada kami tentang kronologi kejadiannya.”Nurah menarik napas perlahan. “Baiklah. Pada malam kejadian sekitar hampir jam delapan, Saba datang ke posko dan menghampiriku. Kami sempat bicara sebentar dan dia menanyakan apa yang akan kulakukan."Saat itu aku sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak bandrek yang kubawa dari rumah. Lalu dia menitipkan tumbler miliknya padaku."Dia minta agar mengisikannya dengan bandrek saat aku sudah memasaknya karena dia ingin pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan makan malam. Aku menaruh tumbler miliknya di bangku masak sisi belakangku dengan jarak satu gapaian tangan."Dan aku menelepon Rani, seorang ART di rumah untuk mengantarkan satu bungkusan berisi cengkeh dan kayu manis yang kelupaan kubawa. Beberapa menit kemudian aku melihat istri Saba, Sasmita juga pulang ke rumah...”“Tunggu, dari mana kau tahu kalau Sasmita pulang ke rumah?” Malik memberanikan diri menyela. Ia merasa harus mengatakan sesuatu juga.“Karena aku sempat mendengarnya berkata akan pulang mengambil terpal di rumahnya pada orang-orang dapur. Ada bagian sisi tenda yang kurang lebar dan membuat hujan agak tempias ke arah orang yang sedang memasak. Beberapa waktu kemudian dia pun kembali ke posko membawa terpal.”“Berapa lama waktu dari posko ke rumah kalian masing-masing?” Ilbi kemudian bertanya.“Jalan kaki hanya kurang dari 5 menit.”Ilbi mengangguk“ Lanjutkan.”“Yang jadi perhatianku adalah saat Sasmita balik ke rumah, dia keluar dari arah tengah, masih di dalam area posko."Namun saat kembali ke posko sambil membawa lipatan terpal dia melewati jalan di samping kiri dan melalui belakangku. Saat itu tumbler milik Saba juga di belakangku.” Jelas omongan Nurah mengindikasikan ia curiga pada Sasmita.Ilbi semakin menegakkan punggung. “Apa kau merasa suatu yang aneh saat dia berjalan di belakang? Apakah kau sempat menoleh untuk melihat apa yang dilakukannya?”Nurah menggeleng. “Sayangnya aku tak menaruh perhatian karena fokus mencampur bandrek dengan bahan yang baru diantar Rani. Memang rasanya tidak ada yang janggal kalaupun dia jalan sambil berhenti sebentar karena ada beberapa titik tanah yang becek."Jalan tinggi tempat posko dibangun belum diaspal dan hanya ditimbun bebatuan. Walau begitu tetap saja, kenapa dia harus berjalan dari belakangku?”Nurah menunduk dan mengatur napasnya. “Aku tidak memperhatikan kemungkinan apa yang bisa dilakukannya. Karena selang beberapa detik yang kuingat terpal itu sudah dibentangkan orang-orang di dapur darurat."Kemudian saat aku selesai memasak bandrek, aku minta tolong Akbar menuang ke dalam ceret dan beberapa cangkir karena kami juga membuat untuk beberapa warga yang dekat dengan posko."Lalu Sasmita datang membantu kami. Dia memang sudah selesai membantu di bagian dapur yang memasak bubur kacang. Tapi bukankah cukup membungkus bubur kacangnya sendiri dan memanggil Akbar tanpa harus membawa bungkusan bubur kacang dan ikut membantu?”“Jadi saat Sasmita ikut membantu kalian menuang bandrek, tumbler milik Saba juga diisinya?”Nurah mengangguk. Ini sesuai dengan kesaksian Jumali.“Jadi setidaknya ada dua kejanggalan atau kesempatan seandainya memang Sasmita yang memasukkan racun tersebut,” sela Malik. "Tapi tidak ada saksi yang melihat Sasmita memasukkan racun tersebut baik dirimu maupun Akbar?”Nurah menelan ludah. Ada guratan cemas di wajahnya namun ia tetap terlihat tenang.“Ya. Akbar juga bilang melihat Sasmita membuka tumbler dari awal sampai menutupnya kembali. Dan tak melihatnya memasukkan sesuatu selain bandrek yang kumasak.”Nurah kemudian terdiam beberapa detik sambil melirik sekeliling. Memastikan tak ada orang lain yang telah mencuri dengar.Ilbi menyadari bahwa mereka tak seharusnya bicara lebih banyak dari ini meski jarak antar meja makan tidak terlalu rapat. Pesanan mereka pun tiba namun tak ada yang menyentuh sendok untuk sekedar mengaduk mi yang panas.Malik kemudian bertanya apakah Nurah melihat bagaimana saat Saba dan Adil meminum bandrek.“Aku tak terlalu memperhatikan. Tiba-tiba saja ada yang berteriak bahwa mereka berdua seperti kesakitan. Aku sangat panik karena tak pernah melihat suamiku seperti itu."Ada yang sangat salah dan aku pikir itu mungkin dari bandrek yang baru mereka minum dari tumbler Saba. Aku kemudian menyuruh seorang yang bisa menyetir untuk mengambil mobil di rumah...”Ponsel Nurah berdering. Ia minta izin untuk mengangkatnya.“Halo. Oh. Iya aku baru selesai. Baiklah, aku segera kembali.”Nurah melirik Ilbi dan Malik. "Sepertinya ada sedikit masalah di pergudangan. Apakah kita bisa bicara lain kali?""Ah, ya. Tentu saja," kata Malik langsung. Meski ia harusnya bersikap agak mencegah Nurah pergi secepat sekarang dan secara normatif Ilbi lah yang patutnya memberi izin.Buru-buru Nurah memasukkan ponsel ke tas juga mengambil beberapa lembar uang dan menaruhnya di meja.“Aku mohon maaf. Adian, adik dari Adil meneleponku. Ada hal yang tak dipahaminya dan mendesak di bagian pergudangan. Aku harus mengeceknya sekarang.”“Baiklah. Sebaiknya kau minta dibungkuskan saja dan bayar kepada kasirnya,” usul Ilbi.“Oh, baiklah.” Ia mengambil kembali uangnya dan melakukan seperti yang Ilbi katakan. Sebelum Nurah keluar Ilbi memanggilnya dan bertanya.“Siapa saja yang berada di rumah? Apakah ada keluarga Adil juga di sana?”“Ya. Ibu Adil dan juga Adian. Mereka datang dari Pekan Baru."“Baiklah. Sampai jumpa lagi. Kami juga kemungkinan akan berkunjung ke sana dengan Pak Hito.”Nurah mengangguk kepada keduanya dan segera menuju keluar restoran.“Entah wanita muda ini pandai menguasai diri atau memang tak terlalu bersedih atas kejadian itu,” ujar Malik begitu Nurah menghilang dari pandangan mereka.“Menurutmu begitu?”“Jika dilihat bagaimana dia menikah dengan Adil demi melunasi segala hutangnya, harusnya dia bisa bersikap lebih dramatis untuk tidak memancing prasangka buruk. Tidak masalah apakah dia menyayangi mendiangi suaminya secara tulus atau tidak. Yah, hal yang menyangkut perasaan itu bukan urusan kita.”Ilbi memandang Malik dengan tatapan menarik. "Sekarang kau agak bersikap negatif padanya. Bukankah dia termasuk wanita cantik menurutmu?" Goda Ilbi."Lalu kenapa memangnya? Tetap saja dia mencurigakan kan?" Malik sebenarnya belum memiliki prasangka apa-apa terhadap Nurah.Hanya saja ia mengatakannya agar dirinya tidak mudah terhanyut pesona Nurah.***Dengan lahap Malik menyantap nasi goreng Wak Yong yang gerobaknya mangkal di depan pagar rumahnya. Menyelip di sisi gang yang sempit. Nasi goreng plus bakso isi telur puyuh dengan kerupuk udang memenuhi seperempat piringnya. Ia duduk sambil menyilakan sebelah kaki dan dengan celana ponggol berwarna dongker yang pudar, Malik terlihat seperti kuli yang mengambil istirahat makan. Beberapa tetangga sebelah juga duduk di bangku-bangku plastik yang ditata berjejer di sisi pagar rumah agar tak menghalangi jalur pejalan kaki maupun pengendara motor.Selain Malik, ada dua orang lagi yang ikut memesan makanan dan mereka berdua duduk berdampingan tepat di seberang dekat dengan pagar milik tetangga. Dua orang bapak umur lima puluhan. Pak Ibnu dan Pak Sutar. Mereka ribut dan gemar bergosip tentang politik. Seperti umumnya babyboomer yang merasa tahu segalanya bermodal mengeklik tautan berita dengan sumber tak legit. Tipe bapak-bapak yang hanya peduli pada opini sendiri dan gampang membodohkan
Dengan perjalanan lebih satu jam mengendarai sepeda motor mereka sampai di gerbang kampung terjadinya tragedi. Kemudian mereka menempuh jalan yang diaspal sekitar dua ratus meter dan begitu jalan itu memasuki tanjakan, jalannya tidak teraspal. Mereka bertiga pun bisa melihat dari jalan tanjakan yang melewati rumah-rumah panggung maupun berlantai rendah yang halamannya tergenang air dengan warna pekat pada sisi kiri. Sementara sisi kanan merupakan sisi dengan air yang kemarin meninggi dan kini sudah lumayan jauh menyurut meski kedalamannya tetap saja membuat sebuah sampan pencari ikan bisa berlalu lalang seperti yang dilakukan lelaki paruh baya dengan kail pancingnya. Jika memasuki musim kemarau sisi kanan merupakan sungai mati dan berawa. Tanah tanjakan ditimbun tinggi warga untuk tujuan menahan air meluap dari wilayah kanan. Semacam benteng yang menghalangi air untuk menerjang sisi pemukiman di bagian kiri. Karena bagian jalan tinggi dimaksudkan sebagai tameng banjir, mungkin it
“Yah. Tapi akan jauh lebih baik, kalau kita memiliki berbagai sudut pandang dan informasi yang mungkin terlewat atau tak sengaja terlupakan padahal penting dalam kasus ini. “Kami bukan hanya perwakilan dalam urusan warisan tapi juga perwakilan lembaga Tim Independen Advokat Mandiri. Lembaga perlindungan saksi.” Adian diam dan mengangguk. Ia memang tahu sebelumnya tentang lembaga independen apalah itu. Dan tak terlalu yakin apakah cukup berguna sebagai alternatif pengungkapan atas tragedi yang menimpa abangnya ataupun mampu mengawal kesaksian dari pihak korban. Dalam hal ini berarti kesaksian Nurahlah yang akan dikawal, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini yang menyaksikan tragedi di posko. Bukan hanya itu, ia kemungkinan menjadi calon tersangka lantaran bertanggung jawab dalam memasak bandrek dan sidik jarinya tertinggal di tumbler Saba. Semua yang terjadi malam itu amat ganjil bagi Adian. Sejauh yang mampu ia pikirkan itu bukanlah bunuh diri. Saba bisa bunuh diri di rumahn
“Maaf kalian harus mendengar julukan kasarku padanya. Tapi begitulah yang ku katakan pada almarhum Abang tentang pilihannya akan gadis itu.” Terlihat jelas ketidaksukaan pada raut wajah Adian. Ilbi bertanya lagi. “Semenjak periode lima tahun abang Anda berumah tangga dengan Nurah, adakah Anda pernah mengetahui mereka berdua berkonflik atau terkena masalah dari pihak luar?” Adian menggeleng. “Abang hanya meneleponku sekali-sekali. Dia lebih sering bicara dengan ibu. Setahuku tidak pernah ada kejadian yang aneh-aneh menimpanya. “Namun jika kalian bertanya apakah ada konflik lain yang menimpa Abang setelah memboyong Nurah, aku rasa kalian juga sudah tahu dari berita bahwa pekerjanya saat itu, yaitu mantan kekasih Nurah malah mengambil Sasmita dari Abang.” Adian mendengus dan tersenyum kecut. “Aku bersimpati pada Sasmita. Tapi kemudian dia malah main api dengan pekerja Abang. Si Saba itu. Bahkan menurut Abang, Sabalah yang menjodohkan Nurah padanya. “Menjodohkan? Yang benar saja. A
“Ayah tiriku punya kebiasaan minum minuman keras. Pernah suatu kali aku pulang dan mendapati banyak botol bekas minuman di tempat sampah samping kolam. "Aku bilang ini pada Ibu, tapi ia tak terkejut. Sejak itu aku jadi malas menginap di sana dan pindah ke tempat Ayah untuk tidur.” “Jadi seterusnya kau hanya mampir sebentar ke tempat Ibu dan lebih lama di tempat Ayah. Kalau boleh tahu kapan kau mengetahui ayah tirimu pemabuk?” “Hampir setengah tahun kurasa.” “Kau tak pernah mengungkitnya lagi pada ibumu? Mohon maaf jika terlalu ikut campur, tapi karena kau seorang santri, asumsi kami adalah bahwa kau dibesarkan dari keluarga religius. “Apakah ibumu sungguh tidak terlihat terganggu dengan kebiasaan ayah tirimu?” Ilbi sendiri tak yakin mengajukan mempertanyakan model begini. Bisa saja yang lebih religius adalah almarhum Adil sehingga berpikir bahwa pendidikan pesantren adalah yang paling tepat untuk Nizam. Pertanyaan yang menghubungkan status Nizam sebagai santri dengan moralitas
"Saat tahun kedua aku SMA, aku berkenalan dan pacaran dengan Saba yang menjaga toko alat tulis dan fotokopi. Lalu ditahun berikutnya kami masih bersama sampai beberapa waktu setelah aku tamat sekolah, ayahku meninggal. "Yang baru kami ketahui meninggalkan banyak hutang dan bahkan mengagunkan rumah dan beberapa petak kecil tanah kami. "Kemudian Adil yang memang cukup sering berkunjung ke rumah menawarkan bantuan, tapi dia meminta syarat agar aku mau menikah dengannya. "Aku tidak kaget. Karena saat berkunjung ke rumah saat ayah masih hidup aku sadar dia tertarik padaku. Saat itu aku menceritakan keresahanku pada Saba, tapi ia malah menganjurkan bahkan membujuk untuk menerima tawaran Adil. Hanya itu cara untuk menyelamatkan keluargaku.”Nurah sekilas melirik masing-masing sepasang mata pendengarnya. Sebenarnya ia tak benar-benar tak peduli dengan anggapan orang di ruangan ini. Ada sedikit bagian yang diputuskannya untuk tidak diceritakan karena tidak penting dan tak ada hubungannya p
“Mengenai kronologi kejadian di posko. Bagaimana gerak-gerik Saba dan Adil sebelum kejadian?”“Tumbler itu ditaruh di meja oleh Akbar berdekatan dengan Pak Jumali yang menonton TV di depanku. Saba yang baru datang kembali langsung mengambilnya. Kemudian suamiku datang dan Saba menuang bandrek dari tumblernya ke gelas kosong...”“Kau yakin dia mengambil gelas yang kosong?”“Ya, aku yakin. Itu gelas sisa yang tak kebagian kami isi. Akbar juga yang menaruhnya di sana.”“Bagus, teruskan.”“Mereka minum bersamaan, kurasa, aku tak memperhatikannya. Mereka berdua mulai mengeluh kesakitan, dan kejang-kejang. “Aku panik sementara orang-orang sibuk memberi bantuan tak berarti. Saat itu sangat sulit membawa mereka berdua ke rumah sakit karena banjir yang menggenang jalan di bawah tanjakan mulai meninggi lebih dari semata kaki. “Kami membawanya dengan mobil Adil yang disetir orang dari posko karena aku tak bisa menyetir. Tapi semuanya sia-sia.” Nurah mendengus panjang. Masih sulit baginya meng
“Pak Hitolah yang membawa kami. Mungkin Anda sudah mendengar siapa dia. Pak Hitolah yang menyimpan surat wasiat almarhum Adil dan beliau punya lembaga sampingan untuk pendampingan saksi.”Sasmita mencerna kalimat Malik dan mengambil kesimpulan sendiri.“Saya melihat Anda kemarin di kantor polisi. Jadi Anda berada di sana sebagai perwakilan Nurah?”Malik dengan santai menjawab. ”Yah, bisa dianggap sebagai perwakilannya. Tapi tidak sepenuhnya resmi memberi pendampingan hukum. Kemungkinan akan bisa disebut begitu, bagaimanapun Nurah merupakan bagian keluarga Adil. "Sejujurnya kami belum memutuskan untuk memberinya perlindungan hukum jika terjadi apa-apa.”Sasmita bicara tanpa menatap langsung mata Malik dengan senyum pahit. “Jadi Anda mengorek informasi dariku untuk membantu klien Anda?”“Mencari kebenaran juga salah satu tujuan dari lembaga kami,” ucap Malik dengan suaranya yang dalam lalu melanjutkan kalimatnya. “Karena Anda telah mengetahui siapa saya, apakah Anda masih ingin melanju