Hari ini aku terpaksa bolos kerja lagi dengan alasan ada keluargaku yang sedang sakit. Padahal semua keluargaku ada di kampung. Kalaupun mereka ada yang sakit, aku cukup mengirim uang, karena tidak cukup sehari untuk pulang ke kampung. Ajakan Mas Dodi tempo hari aku iya-kan. Berkencan dengan pria beristri itu harus pandai memanfaatkan situasi, saat Mas Dodi keluar kantor, aku harus bisa mengikutinya. Kalau tidak, maka waktu bersamanya jadi berkurang. Karena tetap saja, Mas Dodi harus menyisakan waktu untuk istrinya di rumah.Aku memilih menunggu di dalam mobil yang berada di parkiran. Sementara Mas Dodi menyelesaikan pekerjaannya dulu. Lumayan lama hingga aku ketiduran. Terbangun ketika mendapat sentuhan di bahu, rupanya Mas Dodi sudah selesai dengan pekerjaannya."Maaf ya, kalau lama nunggu," ujarnya sambil duduk di bangku kemudi."Sudah selesai, Mas?""Sudah. Bosan, ya nunggu di sini?""Lumayan.""Tadi juga aku minta kamu nunggu di cafe depan supaya kamu nggak bosan.""Enggak apa-a
Pov LisaSejak kedatangan Joan ke rumah pagi-pagi dalam keadaan berantakan, sudah lima hari ini aku tidak mendengar kabarnya. Di grup alumni pun dia tidak pernah muncul, padahal sebelumnya sehari sekali atau setiap grup rame Joan selalu berkomentar. Bahkan ia terbilang paling heboh dan aktif. Aku sendiri belum memberitahu perihal rencana pernikahanku dengan mas Nathan pada teman-teman sekolah. Sepertinya Joan benar-benar patah hati, aku juga merasa bersalah karena sempat memberikan kesempatan untuk lebih dekat pasca aku kembali ke sini. Saat itu aku juga bingung, tidak ada orang yang aku kenal di sini. Makanya saat bertemu Joan, aku seperti menemukan tempat curhat. Di samping Joan sendiri yang membuka diri dan kebetulan saat sekolah dulu kami cukup dekat. Joan terlanjur menaruh harapan padaku. Mungkin ia salah sangka, waktu awal-awal aku kembali, disangkanya aku siap membuka hati untuknya. Tapi aku memutuskan untuk menjaga jarak setelah melihat sikap Bu Anita padaku. Aku cukup tahu
Siang ini Meti meminta bertemu sambil makan siang. Sahabat SMA-ku itu penasaran sekali dengan sosok Mas Nathan, calon suamiku. Dia sendiri yang memilih tempatnya. "Tapi kamu yang bayar ya, Lis," pintanya sambil tertawa."Loh, kamu 'kan yang ngajak ketemuan, kamu juga yang memilih tempat. Kenapa mesti aku yang bayar?" Aku menggeleng perlahan kemudian memijat pelipis. Lucu sekali mendengar permintaan Meti."Kamu 'kan sudah jadi Boss dan sebentar lagi akan menjadi Ibu Big Boss. Jadi wajar kalau aku pengen nyicipin rezekimu.""Iya deh, tapi bukan karena aku dipanggil Ibu Bos, ya. Lantas aku mau bayarin makan siang kita.""Haha ... memangnya si beliau, yang harus selalu dipanggil ibu pejabat untuk menarik hatinya." Aku tertawa miring sebab tahu siapa yang dimaksud oleh Meti, yaitu Lena."Sudah ah, jangan ghibah, nanti keterusan."Sambil menunggu makanan datang, aku menceritakan sosok Mas Nathan juga bagaimana kami dulu bertemu. Meti antusias menyimak."Jadi kalian dijodohkan?""Bisa dibil
"Kamu di sini juga?" Aku pura-pura bertanya padahal tadi kutahu Joan juga keluar dari tempat ini. Sepertinya dia memergoki aku masuk dan menunggu hingga aku keluar."Aku nunggu kamu keluar dari tempat ini sejak satu jam yang lalu, El," ucapnya dengan tatapan sayu. Melihat Joan seperti itu, aku jadi gugup campur takut. Khawatir kalau pria ini nekad dan berbuat macam-macam. Benar dugaanku, kalau Joan melihatku masuk ke tempat ini lalu menungguku keluar. Mungkin ia tidak berani menemuiku di dalam karena tahu aku bersama Meti. Dalam hal ini Joan masih punya rasa malu."Ada apa? Soalnya aku sudah mau pulang, Jo." Aku berdoa dalam hati mudah-mudahan Joan tidak berulah."Aku ingin bicara denganmu sebentar saja. Apa bisa kita masuk lagi?" Joan melirik pintu masuk yang berada beberapa meter dari tempat kami berdiri."Di sini saja, Jo. Kalau mau ngomong, ngomong aja!""Atau kita ngobrol di dalam mobil aja?" usulnya lagi."Tidak usah, kalau kamu mau ngomong di sini aja. Aku buru-buru, soalnya ak
[Jangan lupa hari ini kita jadwal fitting baju, Dek.]Aku menghentikan jemari yang sedang mencoret di atas kertas ketika ponselku menyala. Sebuah pesan dari Mas Nathan masuk. Astaga, aku hampir lupa kalau hari ini harus pergi bersama Mas Nathan untuk fitting baju pengantin kami.[Aku ingat kok, Mas. Ini juga lagi nunggu, Mas Nathan mau jemput jam berapa?]Balasku dengan pura-pura tidak lupa, supaya tidak mendapat protes dari calon Suamiku itu.[Satu jam lagi Mas ke sana.]Balasnya singkat. Aku tahu pasti Mas Nathan tengah sibuk. Kalau dia tidak sibuk, pasti akan menelepon bukan mengirim pesan singkat.[Iya Mas, aku tunggu.]Setelah itu aku letakkan kembali ponsel di samping kananku. Lalu kulanjutkan mencoret di atas kertas. Aku sedang mengerjakan sebuah desain baju pesanan salah satu pelangganku. Kuusahakan sebelum Mas Nathan datang desainnya sudah jadi supaya aku bisa mengirimnya pada pelangganku dan meminta pendapat. Apakah dia suka atau tidak. Jika suka, maka aku akan langsung memb
"Ya sudah, Mas percaya. Kalau dia menghubungi lagi, biar Mas yang bicara.""Makasih atas pengertiannya." Aku tersenyum lega, Mas Nathan benar-benar pengertian, semula kukira dia mau mencurigaiku. Meski begitu aku harus tetap menghormatinya dan menjaga perasaannya.Hingga aku selesai fitting baju, Joan tidak ada lagi menghubungiku. Padahal sepertinya Mas Nathan sedang menunggu pria itu menelepon lagi. Entah apa yang akan di katakan Mas Nathan pada Joan. Mudah-mudahan calon suamiku bisa bijaksana. Aku sendiri mengakui, bahwa tidak bisa tegas dalam hal ini. Seharusnya aku bisa mengambil sikap pada Joan. Meski beberapa hari ini aku juga sudah menghindarinya dan memberi pengertian bahwa aku akan segera menikah. Entah aku yang kurang bisa meyakinkan atau memang Joan yang keras kepala, hingga perselisihan secara tidak langsung ini terjadi."Apa dia tahu aku yang akan menerima teleponnya, hingga dia tidak muncul lagi?" tanya Mas Nathan ketika kami sudah kembali berada dalam mobil."Sudahlah,
Hari ini butik kedatangan pelanggan setia yang hampir tiap bulan datang untuk berbelanja atau sekedar melihat-lihat. Bu Anita. Akan tetapi, kedatangan wanita itu saat ini membuatku ketar-ketir. Sikap Joan akhir-akhir ini, yang menyebabkan aku jadi tidak enak terhadap Bu Anita.Awalnya aku meminta salah satu pegawai butik untuk melayani Bu Anita. Maklumlah, Ibu yang satu ini selalu ingin mendapatkan barang yang sempurna. Dia sangat teliti ketika memilih baju yang diinginkan. Dari mulai jahitan ataupun variasi, termasuk warna. Yang terakhir ini yang sangat sulit, wanita yang hampir setiap bulan membeli baju itu kesulitan memilih warna berbeda dari baju sebelumnya. Alhasil ada beberapa warna yang dipilih ulang. Warna kesukaan Bu Anita sendiri adalah warna-warna yang cerah. Pada umumnya, ibu-ibu lain akan memilih warna yang lebih kalem. Tapi berbeda dengan wanita yang satu ini, mungkin saking ingin terlihat glamor hingga ia memilih warna-warna terang dan cerah sebagai warna favoritnya.
Aku berjalan ke arah meja kasir di mana terdapat undangan yang memang sudah siap disebar. Rencananya memang undangan itu akan diberikan pada beberapa pelanggan butik. Kuambil satu lalu menyelipkannya di paper bag milik wanita itu."Saya tunggu kedatangannya, ya, Bu," ucapku sambil menyerahkan paper bag pada Bu Anita setelah wanita itu membayar pada Gina."Saya usahakan untuk datang, tapi saya tidak janji." Bu Anita tersenyum sambil menerima belanjaannya. Aku tahu wanita itu kecewa atas penolakanku.Langkahnya terlihat berat meninggalkan butik. Aku melihatnya dengan perasaan sedikit tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, soal perasaan tidak bisa dipaksakan.'Maaf sudah mengecewakanmu, Bu Anita. Andai saja dulu Ibu bersikap baik padaku,' gumamku dalam hati.Setelah Bu Anita tidak terlihat, aku segera menghubungi Meti untuk meminta dia mengundang di grup alumni SMA."Tapi ini masih satu minggu lagi, Lis. Bukankah kamu takut teman-teman lupa lagi tanggalnya kalau ngundang kejauhan?""Nggak