Siang ini Meti meminta bertemu sambil makan siang. Sahabat SMA-ku itu penasaran sekali dengan sosok Mas Nathan, calon suamiku. Dia sendiri yang memilih tempatnya. "Tapi kamu yang bayar ya, Lis," pintanya sambil tertawa."Loh, kamu 'kan yang ngajak ketemuan, kamu juga yang memilih tempat. Kenapa mesti aku yang bayar?" Aku menggeleng perlahan kemudian memijat pelipis. Lucu sekali mendengar permintaan Meti."Kamu 'kan sudah jadi Boss dan sebentar lagi akan menjadi Ibu Big Boss. Jadi wajar kalau aku pengen nyicipin rezekimu.""Iya deh, tapi bukan karena aku dipanggil Ibu Bos, ya. Lantas aku mau bayarin makan siang kita.""Haha ... memangnya si beliau, yang harus selalu dipanggil ibu pejabat untuk menarik hatinya." Aku tertawa miring sebab tahu siapa yang dimaksud oleh Meti, yaitu Lena."Sudah ah, jangan ghibah, nanti keterusan."Sambil menunggu makanan datang, aku menceritakan sosok Mas Nathan juga bagaimana kami dulu bertemu. Meti antusias menyimak."Jadi kalian dijodohkan?""Bisa dibil
"Kamu di sini juga?" Aku pura-pura bertanya padahal tadi kutahu Joan juga keluar dari tempat ini. Sepertinya dia memergoki aku masuk dan menunggu hingga aku keluar."Aku nunggu kamu keluar dari tempat ini sejak satu jam yang lalu, El," ucapnya dengan tatapan sayu. Melihat Joan seperti itu, aku jadi gugup campur takut. Khawatir kalau pria ini nekad dan berbuat macam-macam. Benar dugaanku, kalau Joan melihatku masuk ke tempat ini lalu menungguku keluar. Mungkin ia tidak berani menemuiku di dalam karena tahu aku bersama Meti. Dalam hal ini Joan masih punya rasa malu."Ada apa? Soalnya aku sudah mau pulang, Jo." Aku berdoa dalam hati mudah-mudahan Joan tidak berulah."Aku ingin bicara denganmu sebentar saja. Apa bisa kita masuk lagi?" Joan melirik pintu masuk yang berada beberapa meter dari tempat kami berdiri."Di sini saja, Jo. Kalau mau ngomong, ngomong aja!""Atau kita ngobrol di dalam mobil aja?" usulnya lagi."Tidak usah, kalau kamu mau ngomong di sini aja. Aku buru-buru, soalnya ak
[Jangan lupa hari ini kita jadwal fitting baju, Dek.]Aku menghentikan jemari yang sedang mencoret di atas kertas ketika ponselku menyala. Sebuah pesan dari Mas Nathan masuk. Astaga, aku hampir lupa kalau hari ini harus pergi bersama Mas Nathan untuk fitting baju pengantin kami.[Aku ingat kok, Mas. Ini juga lagi nunggu, Mas Nathan mau jemput jam berapa?]Balasku dengan pura-pura tidak lupa, supaya tidak mendapat protes dari calon Suamiku itu.[Satu jam lagi Mas ke sana.]Balasnya singkat. Aku tahu pasti Mas Nathan tengah sibuk. Kalau dia tidak sibuk, pasti akan menelepon bukan mengirim pesan singkat.[Iya Mas, aku tunggu.]Setelah itu aku letakkan kembali ponsel di samping kananku. Lalu kulanjutkan mencoret di atas kertas. Aku sedang mengerjakan sebuah desain baju pesanan salah satu pelangganku. Kuusahakan sebelum Mas Nathan datang desainnya sudah jadi supaya aku bisa mengirimnya pada pelangganku dan meminta pendapat. Apakah dia suka atau tidak. Jika suka, maka aku akan langsung memb
"Ya sudah, Mas percaya. Kalau dia menghubungi lagi, biar Mas yang bicara.""Makasih atas pengertiannya." Aku tersenyum lega, Mas Nathan benar-benar pengertian, semula kukira dia mau mencurigaiku. Meski begitu aku harus tetap menghormatinya dan menjaga perasaannya.Hingga aku selesai fitting baju, Joan tidak ada lagi menghubungiku. Padahal sepertinya Mas Nathan sedang menunggu pria itu menelepon lagi. Entah apa yang akan di katakan Mas Nathan pada Joan. Mudah-mudahan calon suamiku bisa bijaksana. Aku sendiri mengakui, bahwa tidak bisa tegas dalam hal ini. Seharusnya aku bisa mengambil sikap pada Joan. Meski beberapa hari ini aku juga sudah menghindarinya dan memberi pengertian bahwa aku akan segera menikah. Entah aku yang kurang bisa meyakinkan atau memang Joan yang keras kepala, hingga perselisihan secara tidak langsung ini terjadi."Apa dia tahu aku yang akan menerima teleponnya, hingga dia tidak muncul lagi?" tanya Mas Nathan ketika kami sudah kembali berada dalam mobil."Sudahlah,
Hari ini butik kedatangan pelanggan setia yang hampir tiap bulan datang untuk berbelanja atau sekedar melihat-lihat. Bu Anita. Akan tetapi, kedatangan wanita itu saat ini membuatku ketar-ketir. Sikap Joan akhir-akhir ini, yang menyebabkan aku jadi tidak enak terhadap Bu Anita.Awalnya aku meminta salah satu pegawai butik untuk melayani Bu Anita. Maklumlah, Ibu yang satu ini selalu ingin mendapatkan barang yang sempurna. Dia sangat teliti ketika memilih baju yang diinginkan. Dari mulai jahitan ataupun variasi, termasuk warna. Yang terakhir ini yang sangat sulit, wanita yang hampir setiap bulan membeli baju itu kesulitan memilih warna berbeda dari baju sebelumnya. Alhasil ada beberapa warna yang dipilih ulang. Warna kesukaan Bu Anita sendiri adalah warna-warna yang cerah. Pada umumnya, ibu-ibu lain akan memilih warna yang lebih kalem. Tapi berbeda dengan wanita yang satu ini, mungkin saking ingin terlihat glamor hingga ia memilih warna-warna terang dan cerah sebagai warna favoritnya.
Aku berjalan ke arah meja kasir di mana terdapat undangan yang memang sudah siap disebar. Rencananya memang undangan itu akan diberikan pada beberapa pelanggan butik. Kuambil satu lalu menyelipkannya di paper bag milik wanita itu."Saya tunggu kedatangannya, ya, Bu," ucapku sambil menyerahkan paper bag pada Bu Anita setelah wanita itu membayar pada Gina."Saya usahakan untuk datang, tapi saya tidak janji." Bu Anita tersenyum sambil menerima belanjaannya. Aku tahu wanita itu kecewa atas penolakanku.Langkahnya terlihat berat meninggalkan butik. Aku melihatnya dengan perasaan sedikit tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, soal perasaan tidak bisa dipaksakan.'Maaf sudah mengecewakanmu, Bu Anita. Andai saja dulu Ibu bersikap baik padaku,' gumamku dalam hati.Setelah Bu Anita tidak terlihat, aku segera menghubungi Meti untuk meminta dia mengundang di grup alumni SMA."Tapi ini masih satu minggu lagi, Lis. Bukankah kamu takut teman-teman lupa lagi tanggalnya kalau ngundang kejauhan?""Nggak
"Sah!" "Sah!""Alhamdulillah."Suara dua orang saksi lantang mengucapkan kata sah, diikuti oleh para hadirin yang berada di sekitar meja akad. Kuucapkan kata alhamdulillah sambil mengusap dada yang bergemuruh, entah apa yang kurasakan saat ini. Meskipun ini bukan yang pertama kalinya aku dihalalkan oleh seorang pria, namun rasanya sangat berbeda. Selesai berdoa, Mas Nathan menggeser duduknya. Tanpa dikomando lagi aku meraih tangannya, kucium dengan takjim. Ini bakti pertama sebagai seorang istri setelah beberapa detik yang lalu Mas Nathan resmi menghalalkan aku. Bahkan di antara teman-teman SMA yang hadir, banyak yang meledek. Begitupun dengan teman-teman semasa kuliah, ada beberapa saja kebetulan ada di kota yang sama. Semuanya tidak ada yang bisa menahan kejahilan mereka. Jika ditanya rasanya bagaimana, tentu saja aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Bahagia dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Hari ini aku resmi menjadi nyonya Nathan Sadewa, seorang pengusaha di b
"Ayo, Sayang." Mas Nathan kembali meraih tanganku dan memintaku untuk melanjutkan langkah. Sebenarnya aku tidak enak meninggalkan Mbak Nadia yang masih berada di bawah tangga."Ayo!" Karena aku bergeming, Mas Nathan kembali mengajak. Akhirnya setelah menganggukkan kepala pada Mbak Nadia sebagai pertanda ucapan permisi, aku pun kembali melangkah hingga sampai ke lantai dua. Kemudian lanjut menuju lantai tiga.Lantai tiga ini bisa dibilang ruang pribadi Mas Nathan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke sini selain para pelayan yang bertugas membersihkan ruangan ini.Begitu menginjakkan kaki ke lantai tiga, sontak saja mulutku terbuka. Apa aku tidak sedang bermimpi? Ruangan ini didekorasi dengan warna putih yang mendominasi serta beberapa bunga berwarna merah di bagian-bagian tertentu."Apa ini tidak salah, Mas? Aku seperti memasuki area gedung tadi lagi." Kuedarkan pandangan menyapu setiap sudut."Tidak. Aku memang sengaja mendesain ruangan ini supaya mirip dengan gedung ta
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny