"Sah!" "Sah!""Alhamdulillah."Suara dua orang saksi lantang mengucapkan kata sah, diikuti oleh para hadirin yang berada di sekitar meja akad. Kuucapkan kata alhamdulillah sambil mengusap dada yang bergemuruh, entah apa yang kurasakan saat ini. Meskipun ini bukan yang pertama kalinya aku dihalalkan oleh seorang pria, namun rasanya sangat berbeda. Selesai berdoa, Mas Nathan menggeser duduknya. Tanpa dikomando lagi aku meraih tangannya, kucium dengan takjim. Ini bakti pertama sebagai seorang istri setelah beberapa detik yang lalu Mas Nathan resmi menghalalkan aku. Bahkan di antara teman-teman SMA yang hadir, banyak yang meledek. Begitupun dengan teman-teman semasa kuliah, ada beberapa saja kebetulan ada di kota yang sama. Semuanya tidak ada yang bisa menahan kejahilan mereka. Jika ditanya rasanya bagaimana, tentu saja aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Bahagia dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Hari ini aku resmi menjadi nyonya Nathan Sadewa, seorang pengusaha di b
"Ayo, Sayang." Mas Nathan kembali meraih tanganku dan memintaku untuk melanjutkan langkah. Sebenarnya aku tidak enak meninggalkan Mbak Nadia yang masih berada di bawah tangga."Ayo!" Karena aku bergeming, Mas Nathan kembali mengajak. Akhirnya setelah menganggukkan kepala pada Mbak Nadia sebagai pertanda ucapan permisi, aku pun kembali melangkah hingga sampai ke lantai dua. Kemudian lanjut menuju lantai tiga.Lantai tiga ini bisa dibilang ruang pribadi Mas Nathan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke sini selain para pelayan yang bertugas membersihkan ruangan ini.Begitu menginjakkan kaki ke lantai tiga, sontak saja mulutku terbuka. Apa aku tidak sedang bermimpi? Ruangan ini didekorasi dengan warna putih yang mendominasi serta beberapa bunga berwarna merah di bagian-bagian tertentu."Apa ini tidak salah, Mas? Aku seperti memasuki area gedung tadi lagi." Kuedarkan pandangan menyapu setiap sudut."Tidak. Aku memang sengaja mendesain ruangan ini supaya mirip dengan gedung ta
Pov Alin[Mas, kenapa teleponku tidak diangkat, pesanku juga dari kemarin tidak dibalas. Apa Mas Dodi sudah bosan padaku, atau ada yang baru?]Kukirimkan pesan tersebut entah untuk yang ke berapa kalinya. Sudah beberapa hari ini Mas Dodi tidak pernah mengangkat teleponku lagi, bahkan pesan yang kukirim tidak pernah terbaca apalagi dibalas.Sejak pertemuanku dengan Lisa di restoran tempo hari, Mas Dodi jadi berubah. Atau jangan-jangan si Lisa berulah. Karena saat itu dia malah merencanakan makan malam dengan Mas Dodi dan istrinya. Aku Jadi curiga, jangan-jangan Lisa memberitahu perihal hubungan kami.Kalau begitu aku harus menyelidikinya. Besok akan kudatangi Mas Dodi di kantornya, mudah-mudahan pria itu mau menemuiku. Tapi aku tidak boleh memberi tahu dia, siapa tahu Mas Dodi malah menghindar.***Malam ini aku bosan sendirian di kamar kos. Biasanya Mas Dodi mengajakku keluar paling tidak seminggu tiga kali. Tapi sudah lebih dari seminggu ini, jangankan jalan, membalas pesan pun tidak
Tak disangka, ketika Dika mau mengantarku pulang, aku berpapasan dengan orang yang selama satu minggu ini sulit kuhubungi. Mas Dodi juga sedang menuju pintu keluar. Di tangannya, seorang wanita berhijab bergelayut manja. Dari ciri-cirinya, aku yakin wanita itu adalah istrinya."Dika?!"Tak kusangka Mas Dodi menyapa Dika, rupanya mereka saling kenal. Ternyata dunia terlalu sempit hingga aku harus berhubungan dengan orang-orang yang saling kenal."Pak Dodi di sini juga?" tanya Dika sambil menyodorkan tangannya. Mereka bersalaman. Aku bingung harus bersikap bagaimana menghadapi dua pria ini. Mau marah pada Mas Dodi, tapi tidak mungkin di depan istrinya dan juga Dika. Mau pura-pura tidak peduli, nyatanya hatiku berontak."Kebetulan kami ingin cari angin segar dan kafe ini menjadi pilihan.""Tempat ini memang cocok untuk sekedar nongkrong atau cari angin segar." Keduanya nampak akrab."Nggak dikenalin, Dik?" Mas Dodi memberikan isyarat dengan matanya sambil melirikku."Ini Alin, aku juga b
"Aku tidak ingin mengorbankan karier dan masa depanku."Sampai di sini aku paham. Mas Dodi lebih memilih karir dan keluarganya. Baiklah. Bagiku tidak masalah. "Oke, kalau itu keputusan Mas Dodi." aku menarik badan dan bersandar pada kursi sambil mengibaskan rambut. Ingin menegaskan pada Mas Dodi kalau aku baik-baik saja dan tidak akan menderita ketika dia lebih memilih istri dan karirnya."Kamu tidak ingin aku perjuangkan?" Pertanyaan Mas Dodi membuatku beralih dari gelas minuman ke wajahnya."Memperjuangkan? Maksud Mas Dodi apa?"Sudah jelas tadi mas Dodi memilih karir dan istrinya. Tapi sekarang aku harus minta diperjuangkan juga?"Aku bisa meninggalkannya demi kamu," ucapnya serius.Enteng sekali Mas Dodi mengatakan bisa meninggalkan istrinya demi aku. Setelah dia lepas dari wanita itu otomatis dia juga akan lepas dari pekerjaannya. Lalu apa yang aku harapkan dari pria pengangguran?"Aku nggak apa-apa. Aku akan baik-baik saja tanpa Mas Dodi." Kupasang senyum se-natural mungkin."T
Aku merasa lega setelah memblokir nomor Mas Dodi. Pria itu tidak akan bisa menggangguku lagi kecuali dia mengganti nomornya. Tapi sepertinya Mas Dodi tidak akan mungkin melakukan itu, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang-orang sekitarnya terutama istrinya. Kecuali Mas Dodi punya nomor baru yang digunakan pada ponsel lain dan tentu saja harus digunakan secara sembunyi-sembunyi dari istrinya. Ribet.Komunikasiku dengan Mas Dika sendiri berjalan lancar. Pria itu ternyata cukup intens bertanya kabar. Aku sempat heran karena Mas Dika tidak pernah beralasan sibuk hingga kapan saja aku menghubunginya pasti langsung dibalas. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana pria ini bekerja jika setiap waktu ia hanya memandangi ponselnya. Tapi kau pikir lagi, Mas Dika ini seorang Bos, jadi dia tinggal memerintah ini dan itu mengawasi orang lalu menerima laporan. Di pertemuan kedua, Mas Dika menggunakan mobil yang berbeda. Aku pikir dia menukarkan mobilnya, tapi Mas Dika bilang masih ada beberapa mobil di
Hari-hariku dipenuhi dengan bunga-bunga setelah mengenal Mas Dika. Bagaimana tidak, pria muda yang penuh kharisma itu setiap hari selalu membuatku tersipu. Mas Dika benar-benar bisa menyenangkan hatiku. Ada saja kejutan yang dia kirimkan ke kantor, entah itu berupa bunga, makanan atau hadiah-hadiah kecil lainnya. Tapi dua hari ini Mas Dika tidak bisa menemuiku, katanya dia ada pekerjaan di luar kota. Aku pun bisa memakluminya, seorang eksekutif muda memang se-sibuk itu.[Maaf ya, Sayang. Aku masih berada di luar kota. Jadi kita belum bisa melepas rindu.]Sebuah pesan masuk dari Mas Dika. Aku tersenyum karena sejak dari tadi pagi dia tidak henti-hentinya mengirimkan kabar atau sebatas kata rindu. Mas Dika benar-benar menghipnotisku, hingga kadang aku lupa bahwa tujuanku menerimanya adalah untuk menikmati uangnya. Seperti tempo hari, aku dengan sukarela membayar makanan yang kami santap setelah dia beralasan dompetnya ketinggalan di mobil.[Tidak apa-apa, Mas. Untuk beberapa hari buatla
Aku mengerjap lalu menggeliat, tapi rasanya mata ini sangat berat dan lengket hingga susah sekali aku membukanya. Sayup-sayup kudengar ada orang yang memanggilku lalu aku pun memaksakan diri untuk membuka mata."Ibu sudah sadar?" tanya seseorang yang berpakaian seperti seragam sebuah klinik. Sontak saja aku terperanjat lalu berusaha untuk duduk namun kepalaku terasa pusing."Ibu baring saja dulu, saya cuma ingin memastikan kalau ibu sudah sadar. Kalau ibu masih mengantuk, tidur saja dulu. Tapi sebelumnya saya minta sampel urine dulu," lanjut wanita itu. Lalu ia membantuku ke kamar mandi untuk mendapat urine."Tapi ... saya di mana?" tanyaku setelah berbaring kembali."Ibu berada di klinik Media Sehat.""Klinik Media Sehat?" Aku mengernyit sebab tidak pernah mendengar nama klinik ini di kotaku."Memangnya ini dimana?" Aku bertanya sambil memegangi kepalaku yang masih terasa berat. Lalu wanita ini menyebutkan nama kota lain, bukan kotaku."Jadi ... kenapa ... aku sampai berada di sini?"