"Aku tidak ingin mengorbankan karier dan masa depanku."Sampai di sini aku paham. Mas Dodi lebih memilih karir dan keluarganya. Baiklah. Bagiku tidak masalah. "Oke, kalau itu keputusan Mas Dodi." aku menarik badan dan bersandar pada kursi sambil mengibaskan rambut. Ingin menegaskan pada Mas Dodi kalau aku baik-baik saja dan tidak akan menderita ketika dia lebih memilih istri dan karirnya."Kamu tidak ingin aku perjuangkan?" Pertanyaan Mas Dodi membuatku beralih dari gelas minuman ke wajahnya."Memperjuangkan? Maksud Mas Dodi apa?"Sudah jelas tadi mas Dodi memilih karir dan istrinya. Tapi sekarang aku harus minta diperjuangkan juga?"Aku bisa meninggalkannya demi kamu," ucapnya serius.Enteng sekali Mas Dodi mengatakan bisa meninggalkan istrinya demi aku. Setelah dia lepas dari wanita itu otomatis dia juga akan lepas dari pekerjaannya. Lalu apa yang aku harapkan dari pria pengangguran?"Aku nggak apa-apa. Aku akan baik-baik saja tanpa Mas Dodi." Kupasang senyum se-natural mungkin."T
Aku merasa lega setelah memblokir nomor Mas Dodi. Pria itu tidak akan bisa menggangguku lagi kecuali dia mengganti nomornya. Tapi sepertinya Mas Dodi tidak akan mungkin melakukan itu, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang-orang sekitarnya terutama istrinya. Kecuali Mas Dodi punya nomor baru yang digunakan pada ponsel lain dan tentu saja harus digunakan secara sembunyi-sembunyi dari istrinya. Ribet.Komunikasiku dengan Mas Dika sendiri berjalan lancar. Pria itu ternyata cukup intens bertanya kabar. Aku sempat heran karena Mas Dika tidak pernah beralasan sibuk hingga kapan saja aku menghubunginya pasti langsung dibalas. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana pria ini bekerja jika setiap waktu ia hanya memandangi ponselnya. Tapi kau pikir lagi, Mas Dika ini seorang Bos, jadi dia tinggal memerintah ini dan itu mengawasi orang lalu menerima laporan. Di pertemuan kedua, Mas Dika menggunakan mobil yang berbeda. Aku pikir dia menukarkan mobilnya, tapi Mas Dika bilang masih ada beberapa mobil di
Hari-hariku dipenuhi dengan bunga-bunga setelah mengenal Mas Dika. Bagaimana tidak, pria muda yang penuh kharisma itu setiap hari selalu membuatku tersipu. Mas Dika benar-benar bisa menyenangkan hatiku. Ada saja kejutan yang dia kirimkan ke kantor, entah itu berupa bunga, makanan atau hadiah-hadiah kecil lainnya. Tapi dua hari ini Mas Dika tidak bisa menemuiku, katanya dia ada pekerjaan di luar kota. Aku pun bisa memakluminya, seorang eksekutif muda memang se-sibuk itu.[Maaf ya, Sayang. Aku masih berada di luar kota. Jadi kita belum bisa melepas rindu.]Sebuah pesan masuk dari Mas Dika. Aku tersenyum karena sejak dari tadi pagi dia tidak henti-hentinya mengirimkan kabar atau sebatas kata rindu. Mas Dika benar-benar menghipnotisku, hingga kadang aku lupa bahwa tujuanku menerimanya adalah untuk menikmati uangnya. Seperti tempo hari, aku dengan sukarela membayar makanan yang kami santap setelah dia beralasan dompetnya ketinggalan di mobil.[Tidak apa-apa, Mas. Untuk beberapa hari buatla
Aku mengerjap lalu menggeliat, tapi rasanya mata ini sangat berat dan lengket hingga susah sekali aku membukanya. Sayup-sayup kudengar ada orang yang memanggilku lalu aku pun memaksakan diri untuk membuka mata."Ibu sudah sadar?" tanya seseorang yang berpakaian seperti seragam sebuah klinik. Sontak saja aku terperanjat lalu berusaha untuk duduk namun kepalaku terasa pusing."Ibu baring saja dulu, saya cuma ingin memastikan kalau ibu sudah sadar. Kalau ibu masih mengantuk, tidur saja dulu. Tapi sebelumnya saya minta sampel urine dulu," lanjut wanita itu. Lalu ia membantuku ke kamar mandi untuk mendapat urine."Tapi ... saya di mana?" tanyaku setelah berbaring kembali."Ibu berada di klinik Media Sehat.""Klinik Media Sehat?" Aku mengernyit sebab tidak pernah mendengar nama klinik ini di kotaku."Memangnya ini dimana?" Aku bertanya sambil memegangi kepalaku yang masih terasa berat. Lalu wanita ini menyebutkan nama kota lain, bukan kotaku."Jadi ... kenapa ... aku sampai berada di sini?"
Pov LisaPagi ini Mas Nathan mengajakku sarapan di lantai bawah. Ternyata Kayla sudah berada di sana. Anak itu pun langsung berhambur memelukku. Berpisah satu malam denganku, sepertinya menyisakan rindu di hati Kayla. Sama seperti halnya diriku.Sarapan pagi bersama Mama mertua juga Mbak Nadia dan suaminya berjalan tanpa suara. Sepertinya keluarga ini punya kebiasaan tidak banyak bicara sambil makan, lantaran baik Mas Nathan maupun Mbak Nadia, sama-sama fokus pada makanannya.Baru setelah selesai makan, kami berpindah ke ruangan di sebelahnya, duduk di sofa sambil bersantai. "Nanti sore aku sudah harus kembali, Ma. Besok pagi aku ada pertemuan penting bersama klien. Bahkan Mas Indra harus membatalkan meetingnya sore ini. Karena besar kemungkinan kami masih di perjalanan," kata Mbak Nadia tanpa jeda sambil melihat ke arah Mama."Untuk sementara, Mama mau tinggal bersama Nathan. Itung-itung perkenalan, supaya lebih dekat lagi dengan Lisa," jawab Mama sambil mengusap lenganku, karena ka
"Tapi kamu menikah denganku. Jadi jangan pernah mendengar omongan orang lain selain suamimu ini. Aku tahu yang terbaik untukku dan hidupku." Mas Nathan kembali meraih tanganku, aku tahu ia sedang berusaha membesarkan hatiku. Juga ingin menegaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja bersama dia. Aku memejamkan mata sesaat, meyakinkan diri bahwa mas Nathan benar-benar tulus mencintaiku. Menerima dan menyayangi Kayla sepenuh hati. "Mama, kapan kita liburan?"Suara Kayla membuatku sontak membuka mata. Entah kapan datangnya, tiba-tiba gadis kecil itu sudah ada di hadapan kami. Tangan kami pun terlepas, Mas Nathan kemudian meraih tubuh putriku dan membawanya ke dalam pangkuan."Memangnya Kayla mau liburan ke mana?" tanyanya sambil menyelipkan anak rambut yang jatuh di kening Kayla."Aku mau berenang sambil main perosotan yang tinggi," jawab Kayla ragu sambil menatap Mas Nathan serius."Cuma itu?""Iya, soalnya kalau berenang sama Mama, dia nggak berani main perosotan." Aku tersenyum mirin
Mbak Nadia yang pertama kali menyadari, bahwa orang yang sedang dia bicarakan ada di ruangan ini. Mulut wanita itu langsung diam, sementara matanya melirikku sinis. Tapi aku tidak bolehnya terlihat lemah."Permisi, Ma, Mbak, aku ke atas dulu." Aku mengangguk sambil tersenyum pada keduanya.Mama terperanjat mendengar suaraku dan mengalihkan pandangannya padaku, kaget karena ketahuan Mbak Nadia tengah membicarakan aku. Sementara Mbak Nadia masih dengan ekspresi yang sama. "Ah iya, Lis. Silakan. Nathan mana?" Aku tahu Mama hanya berbasa-basi."Mas Nathan di taman belakang bersama Kayla."Aku menjawab pertanyaan Mama tapi mataku mencuri pandang pada Mbak Nadia, ingin tahu bagaimana reaksinya mendengar Mas Nathan bersama Kayla. Dan benar saja, wanita itu melirik sinis ke arah lain, sedangkan satu sudut bibirnya terangkat."Mari, Ma." Setelah sedikit membungkukkan badan, aku pun berlalu dan mulai menaiki anak tangga. Sengaja aku memilih fasilitas ini untuk sampai di lantai tiga, siapa tahu
Usai menghubungi Gina, aku pun bermaksud turun kembali untuk menemui Mas Nathan dan Kayla lagi. Ketika menginjakkan kaki di ruang tengah, ternyata Mama dan Mbak Nadia sudah tidak ada di sana. Syukurlah, bukannya aku mau menghindari mereka, cuma hatiku kerap merasa tercubit mendengar ucapan Mbak Nadia yang selalu menyindirku. Beberapa langkah lagi sampai di pintu yang terhubung ke ke halaman belakang, sayup kudengar suara Mbak Nadia tengah berbincang. Awalnya aku tidak menyangka kalau kakak iparku itu sedang berbicara dengan Mas Nathan, tapi semakin mendekat semakin jelas terdengar suara dan pembicaraan mereka."Bukankah di sana juga ada perguruan tinggi yang bagus, Mbak?" Aku mendengar suara Mas Nathan setelah suara Mbak Nadia menghilang."Yesi maunya kuliah di luar kota. Dia menyelesaikan sekolah hingga tamat SMA di sana, katanya bosan dan ingin suasana baru. Sebenarnya BuLik dan Pak Lik tidak mengizinkan karena Yesi itu anak gadis yang belum terbiasa jauh dari orang tuanya. Tapi s