Aku berjalan ke arah meja kasir di mana terdapat undangan yang memang sudah siap disebar. Rencananya memang undangan itu akan diberikan pada beberapa pelanggan butik. Kuambil satu lalu menyelipkannya di paper bag milik wanita itu."Saya tunggu kedatangannya, ya, Bu," ucapku sambil menyerahkan paper bag pada Bu Anita setelah wanita itu membayar pada Gina."Saya usahakan untuk datang, tapi saya tidak janji." Bu Anita tersenyum sambil menerima belanjaannya. Aku tahu wanita itu kecewa atas penolakanku.Langkahnya terlihat berat meninggalkan butik. Aku melihatnya dengan perasaan sedikit tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, soal perasaan tidak bisa dipaksakan.'Maaf sudah mengecewakanmu, Bu Anita. Andai saja dulu Ibu bersikap baik padaku,' gumamku dalam hati.Setelah Bu Anita tidak terlihat, aku segera menghubungi Meti untuk meminta dia mengundang di grup alumni SMA."Tapi ini masih satu minggu lagi, Lis. Bukankah kamu takut teman-teman lupa lagi tanggalnya kalau ngundang kejauhan?""Nggak
"Sah!" "Sah!""Alhamdulillah."Suara dua orang saksi lantang mengucapkan kata sah, diikuti oleh para hadirin yang berada di sekitar meja akad. Kuucapkan kata alhamdulillah sambil mengusap dada yang bergemuruh, entah apa yang kurasakan saat ini. Meskipun ini bukan yang pertama kalinya aku dihalalkan oleh seorang pria, namun rasanya sangat berbeda. Selesai berdoa, Mas Nathan menggeser duduknya. Tanpa dikomando lagi aku meraih tangannya, kucium dengan takjim. Ini bakti pertama sebagai seorang istri setelah beberapa detik yang lalu Mas Nathan resmi menghalalkan aku. Bahkan di antara teman-teman SMA yang hadir, banyak yang meledek. Begitupun dengan teman-teman semasa kuliah, ada beberapa saja kebetulan ada di kota yang sama. Semuanya tidak ada yang bisa menahan kejahilan mereka. Jika ditanya rasanya bagaimana, tentu saja aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Bahagia dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Hari ini aku resmi menjadi nyonya Nathan Sadewa, seorang pengusaha di b
"Ayo, Sayang." Mas Nathan kembali meraih tanganku dan memintaku untuk melanjutkan langkah. Sebenarnya aku tidak enak meninggalkan Mbak Nadia yang masih berada di bawah tangga."Ayo!" Karena aku bergeming, Mas Nathan kembali mengajak. Akhirnya setelah menganggukkan kepala pada Mbak Nadia sebagai pertanda ucapan permisi, aku pun kembali melangkah hingga sampai ke lantai dua. Kemudian lanjut menuju lantai tiga.Lantai tiga ini bisa dibilang ruang pribadi Mas Nathan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke sini selain para pelayan yang bertugas membersihkan ruangan ini.Begitu menginjakkan kaki ke lantai tiga, sontak saja mulutku terbuka. Apa aku tidak sedang bermimpi? Ruangan ini didekorasi dengan warna putih yang mendominasi serta beberapa bunga berwarna merah di bagian-bagian tertentu."Apa ini tidak salah, Mas? Aku seperti memasuki area gedung tadi lagi." Kuedarkan pandangan menyapu setiap sudut."Tidak. Aku memang sengaja mendesain ruangan ini supaya mirip dengan gedung ta
Pov Alin[Mas, kenapa teleponku tidak diangkat, pesanku juga dari kemarin tidak dibalas. Apa Mas Dodi sudah bosan padaku, atau ada yang baru?]Kukirimkan pesan tersebut entah untuk yang ke berapa kalinya. Sudah beberapa hari ini Mas Dodi tidak pernah mengangkat teleponku lagi, bahkan pesan yang kukirim tidak pernah terbaca apalagi dibalas.Sejak pertemuanku dengan Lisa di restoran tempo hari, Mas Dodi jadi berubah. Atau jangan-jangan si Lisa berulah. Karena saat itu dia malah merencanakan makan malam dengan Mas Dodi dan istrinya. Aku Jadi curiga, jangan-jangan Lisa memberitahu perihal hubungan kami.Kalau begitu aku harus menyelidikinya. Besok akan kudatangi Mas Dodi di kantornya, mudah-mudahan pria itu mau menemuiku. Tapi aku tidak boleh memberi tahu dia, siapa tahu Mas Dodi malah menghindar.***Malam ini aku bosan sendirian di kamar kos. Biasanya Mas Dodi mengajakku keluar paling tidak seminggu tiga kali. Tapi sudah lebih dari seminggu ini, jangankan jalan, membalas pesan pun tidak
Tak disangka, ketika Dika mau mengantarku pulang, aku berpapasan dengan orang yang selama satu minggu ini sulit kuhubungi. Mas Dodi juga sedang menuju pintu keluar. Di tangannya, seorang wanita berhijab bergelayut manja. Dari ciri-cirinya, aku yakin wanita itu adalah istrinya."Dika?!"Tak kusangka Mas Dodi menyapa Dika, rupanya mereka saling kenal. Ternyata dunia terlalu sempit hingga aku harus berhubungan dengan orang-orang yang saling kenal."Pak Dodi di sini juga?" tanya Dika sambil menyodorkan tangannya. Mereka bersalaman. Aku bingung harus bersikap bagaimana menghadapi dua pria ini. Mau marah pada Mas Dodi, tapi tidak mungkin di depan istrinya dan juga Dika. Mau pura-pura tidak peduli, nyatanya hatiku berontak."Kebetulan kami ingin cari angin segar dan kafe ini menjadi pilihan.""Tempat ini memang cocok untuk sekedar nongkrong atau cari angin segar." Keduanya nampak akrab."Nggak dikenalin, Dik?" Mas Dodi memberikan isyarat dengan matanya sambil melirikku."Ini Alin, aku juga b
"Aku tidak ingin mengorbankan karier dan masa depanku."Sampai di sini aku paham. Mas Dodi lebih memilih karir dan keluarganya. Baiklah. Bagiku tidak masalah. "Oke, kalau itu keputusan Mas Dodi." aku menarik badan dan bersandar pada kursi sambil mengibaskan rambut. Ingin menegaskan pada Mas Dodi kalau aku baik-baik saja dan tidak akan menderita ketika dia lebih memilih istri dan karirnya."Kamu tidak ingin aku perjuangkan?" Pertanyaan Mas Dodi membuatku beralih dari gelas minuman ke wajahnya."Memperjuangkan? Maksud Mas Dodi apa?"Sudah jelas tadi mas Dodi memilih karir dan istrinya. Tapi sekarang aku harus minta diperjuangkan juga?"Aku bisa meninggalkannya demi kamu," ucapnya serius.Enteng sekali Mas Dodi mengatakan bisa meninggalkan istrinya demi aku. Setelah dia lepas dari wanita itu otomatis dia juga akan lepas dari pekerjaannya. Lalu apa yang aku harapkan dari pria pengangguran?"Aku nggak apa-apa. Aku akan baik-baik saja tanpa Mas Dodi." Kupasang senyum se-natural mungkin."T
Aku merasa lega setelah memblokir nomor Mas Dodi. Pria itu tidak akan bisa menggangguku lagi kecuali dia mengganti nomornya. Tapi sepertinya Mas Dodi tidak akan mungkin melakukan itu, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang-orang sekitarnya terutama istrinya. Kecuali Mas Dodi punya nomor baru yang digunakan pada ponsel lain dan tentu saja harus digunakan secara sembunyi-sembunyi dari istrinya. Ribet.Komunikasiku dengan Mas Dika sendiri berjalan lancar. Pria itu ternyata cukup intens bertanya kabar. Aku sempat heran karena Mas Dika tidak pernah beralasan sibuk hingga kapan saja aku menghubunginya pasti langsung dibalas. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana pria ini bekerja jika setiap waktu ia hanya memandangi ponselnya. Tapi kau pikir lagi, Mas Dika ini seorang Bos, jadi dia tinggal memerintah ini dan itu mengawasi orang lalu menerima laporan. Di pertemuan kedua, Mas Dika menggunakan mobil yang berbeda. Aku pikir dia menukarkan mobilnya, tapi Mas Dika bilang masih ada beberapa mobil di
Hari-hariku dipenuhi dengan bunga-bunga setelah mengenal Mas Dika. Bagaimana tidak, pria muda yang penuh kharisma itu setiap hari selalu membuatku tersipu. Mas Dika benar-benar bisa menyenangkan hatiku. Ada saja kejutan yang dia kirimkan ke kantor, entah itu berupa bunga, makanan atau hadiah-hadiah kecil lainnya. Tapi dua hari ini Mas Dika tidak bisa menemuiku, katanya dia ada pekerjaan di luar kota. Aku pun bisa memakluminya, seorang eksekutif muda memang se-sibuk itu.[Maaf ya, Sayang. Aku masih berada di luar kota. Jadi kita belum bisa melepas rindu.]Sebuah pesan masuk dari Mas Dika. Aku tersenyum karena sejak dari tadi pagi dia tidak henti-hentinya mengirimkan kabar atau sebatas kata rindu. Mas Dika benar-benar menghipnotisku, hingga kadang aku lupa bahwa tujuanku menerimanya adalah untuk menikmati uangnya. Seperti tempo hari, aku dengan sukarela membayar makanan yang kami santap setelah dia beralasan dompetnya ketinggalan di mobil.[Tidak apa-apa, Mas. Untuk beberapa hari buatla
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny