"Bu kita tidur sekamar aja, ya." Tiba-tiba Tuti menyeru di belakangku. Aku menoleh sambil menyipit."Please, ya, Bu." Tuti menangkupkan kedua telapak tangannya di dada, sepertinya ia sangat memohon."Memangnya kenapa kalau kamu tidur sendirian. Di rumahku juga kamu tidur sendirian, apalagi di sini yang sudah bertahun-tahun kamu tinggali.""Iya sih, cuman aku mau tidur bertiga sama Ibu.""Kamar sebelahnya 'kan masih kosong, Tut.""Please ya, Bu."Akhirnya aku mengangguk setelah berkali-kali Tuti memohon.Sebelum tidur anak-anak berkumpul di ruang tengah. Kayla nampak senang sekali bisa berkumpul dengan kakak-kakak sepupunya, apalagi Dinda yang baru saja berulang tahun. Mereka hampir seumuran, jadi ruangan ini sepertinya milik mereka berdua. Sementara aku dan Tuti membantu asisten rumah tangga Mbak Tika yang sedang membereskan sisa-sisa pesta di ruang depan, kemudian beralih ke dapur lantaran tempat itu pun masih berantakan.Hingga Mbak Tika memanggilku."Kayla tertidur, kamu pindahk
"Mas Ardan?!"Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, Mbak Tika memanggil nama suaminya di ujung tangga.Aku menghentikan aktivitas dan berdiri tegak, memandang Mbak Tika yang berjalan lalu melirik Mas Ardan yang hampir sampai ke hadapanku."Mas, kamu apa-apaan, sih?!" Mbak Tika langsung melayangkan tatapan tidak suka."Sayang, please, Mas mohon.""Tapi tidak sekarang, kamu jangan ganggu Lisa."Aku menatap mereka secara bergantian. Obrolan keduanya sama sekali tidak aku mengerti, sebenarnya ada apa antara Mas Ardan dan Mbak Tika."Maaf Mas, Mbak, ada apa sebenarnya? Kok, aku merasa tidak enak.""Engga apa-apa, Lis. Kamu duduk dulu." Mas Ardan lalu berjalan mundur dan duduk di sofa yang ada di sudut ruangan. Mbak Tika sepertinya pasrah dan tidak protes lagi pada suaminya, ia pun duduk di samping Mas Ardan. Aku pun sontak mengikuti mereka lalu duduk dengan perasaan yang masih heran."Begini Lis. Sebenarnya Mas ingin menyampaikan ini sejak kamu pulang ke sini. Cuma dari dulu Mbak-mu sela
Dua minggu dari kejadian itu, Mbak Tika mengirimkan aku sebuah foto. Katanya itu foto orang yang tempo hari akan dijodohkan oleh Mas Ardan. Sepertinya dia pria mapan, terlihat dari tampilannya. Tentu saja, karena di umurnya yang 35 tahun, dia belum berumah tangga, sudah bisa ditebak, kalau selama ini waktunya hanya digunakan untuk mengurusi bisnis. [Ganteng 'kan Lis?]Pesan susulan dari Mbak Tika kubaca sambil tersenyum.[Iya, ganteng, Mbak. Cuma aku belum tahu gantengnya sampai ke hati nggak.]Balasku diakhiri emot senyum. Setelah itu Mbak Tika menghubungiku."Makanya kamu mau 'kan kenalan sama dia, maksud Mbak bertemu gitu.""Aduh, bagaimana ya, Mbak. Aku belum bisa kenalan sama orang lain sebelum surat cerai aku terima. Aku janji setelah aku resmi menjadi janda aku siap kenalan.""Memangnya kapan putusan pengadilan itu keluar?""Katanya perkiraan dua sampai tiga minggu lagi, Mbak.""Ya sudah, Mbak tunggu kabarnya. Oh iya, Riko sendiri bagaimana kabarnya?""Kemarin Ibu menelepon,
"Ibu pasti sampaikan, terima kasih sebelumnya. Jika bukan kamu, tidak ada lagi orang yang memikirkan masa depan kami.""Aku sayang kalian, Bu.""Ibu selalu berdoa supaya hidupmu kedepannya lebih bahagia, Lis.""Terima kasih, Bu. Mudah-mudahan setelah ini Mas Riko juga berubah.""Riko makin menjadi, setiap hari uring-uringan. Mereka belum bisa pergi ke kantor. Uang dari hasil penjualan apartemen mau digunakan untuk operasi wajah Alin. Dia tidak mau ke mana-mana sebelum wajahnya kembali bagus.""Oh ya, Bu. Kalau ada apa apa, Ibu hubungi aku, jangan sungkan-sungkan.""Pasti, Lis. Kamu bukan hanya sekedar menantu bagi Ibu, tapi sudah menjadi seorang anak."Setelah sambungan telepon berakhir, tak terasa sudut mataku sudah basah. Walau bagaimana, Ibu adalah orang yang berarti bagiku. Selama kami berumah tangga, baik Ibu maupun aku tidak pernah menganggap sebagai menantu atau mertua melainkan menganggap anak dan Ibu.Sekali lagi aku menatap dan membaca surat perceraian. Dulu waktu menikah ak
Aku tersenyum tipis mendengar Bu Anita berkata seperti itu. Ada gelagat tersembunyi yang terlihat dari mimik wajahnya."Ma ... sudah, jangan keterusan." Jo terlihat tidak enak."Oh ya, Bu, ini ada keluaran terbaru. Barangkali Ibu suka." Aku mengalihkan pembicaraan lantaran melihat Jo seperti yang risih ketika Mamanya membahas tentang statusnya jomlonya.Aku berjalan beberapa langkah menuju koleksi beberapa gaun terkini. Bu Anita pun mengikuti dengan antusias. Dalam hati aku masih bertanya kenapa sikap Bu Anita jadi berubah drastis. Padahal ketika pertemuan pertama kali wanita ini berubah menjadi seperti membatasi diri pasca mengetahui aku sudah punya Kayla."Wah, senang sekali belanja di butik dilayani oleh ownernya. Kamu memang terbaik El. Tetap rendah hati meskipun kamu jadi bos."Oh, rupanya wanita ini sudah mengetahui jika aku adalah owner butik ini. Lantas apa karena itu dia bersikap baik padaku. Jangan-jangan dia punya maksud tertentu ketika tadi membahas kenaikan jabatan Joan.
Pov Riko.Alin sudah pulang dari rumah sakit setelah lebih dari satu minggu dia dirawat untuk yang kedua kalinya. Sebagian wajahnya masih dipenuhi perban. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana nantinya luka itu setelah kering. Yang jelas wajah Alin tidak akan secantik dulu lagi.Istriku itu sudah bisa berjalan sedikit-sedikit lantaran hanya ada luka ringan di kakinya bekas kecelakaan tempo hari. Tapi Alin belum bisa beraktivitas. Untunglah, Ibu masih berada di sini untuk membantu pekerjaan Bi Yati. Reka yang sedang libur kuliah pun pulang ke sini katanya atas permintaan Lisa. Disaat seperti ini kenapa aku jadi ingat Lisa. Wanita yang selama menjadi istriku tidak pernah mengeluh. Aku tahu Lisa sering sakit, tapi dia tidak pernah berhenti melayaniku."Apa Mas Riko masih mau padaku, kalau melihat wajah baruku ini?" tanya Alin sambil duduk di tepi ranjang di sebelahku."Memangnya kenapa, Sayang? Apa kamu khawatir aku akan berpaling pada wanita yang lebih cantik?"Alin mengangguk, aku pu
"Kalau pake cream itu prosesnya lama, aku maunya cepat. Jalan satu-satunya adalah dengan operasi. Lagian masalah kerja itu 'kan kewajiban suami, masa aku yang harus jadi tulang punggung?!""Iya, tapi sabar dulu. Saat ini aku nggak ada uang. Belum lagi pengobatanku juga masih berjalan.""Pokoknya aku nggak mau keluar rumah, sebelum mukaku mulus kembali. Mas Riko pikirkan saja caranya!!" Setelah itu Alin bangkit dan keluar kamar. Aku lihat jalannya sudah normal, padahal tadi ketika masuk kamar dia masih berjalan perlahan-lahan dan seolah limbung. Jangan-jangan Alin berpura-pura dan barusan lupa saking kesalnya kepadaku.Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang untuk biaya operasi, kalau tidak dituruti bisa-bisa Alin terus ngambek. Aku tidak bisa sendirian di saat seperti ini, aku butuh seseorang yang mendampingi dan menghiburku. Ini gara-gara Lisa yang menguras semua saldo di rekeningku. Untuk apa sebenarnya dia melakukan itu, bukankah Lisa sendiri sudah b
"Tolong antarkan saja ke atas makanannya, Bi.""Baik, Pak."Setelah Bi Yati berlalu, aku kembali membuang nafas kasar. Kenapa di saat aku masih tidak bisa beraktifitas seperti ini, Alin bukannya mengurusku malah dia menambah-nambah beban pikiranku saja dengan terus merajuk seperti itu.Aku tahu Alin tidak akan berhenti merajuk sebelum keinginannya terlaksana. Jalan satu-satunya adalah menjual apartemen itu. Toh sekarang Alin sudah kubawa ke rumah ini. Dulu aku membeli apartemen itu supaya aku bisa bebas menemuinya kapan saja. Bahkan bisa berhari-hari dengan alasan dinas luar pada Lisa. Perempuan itu selalu percaya padaku hingga aku bisa dengan mudah membodohinya. Makanya aku heran ketika sekarang mendapati Lisa sudah lebih cerdas. Bahkan licik.Lima belas menit kemudian aku mendengar suara gaduh dari lantai atas. Segera kugerakan kursi roda menuju ruang tengah. Bersamaan dengan itu Bi Yati turun tergopoh-gopoh sambil membawa baki yang berisi peralatan makan yang sudah hancur."Apa yan
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny