Tespek terbaik, kasih 5 biji mbak." Jawab Herman singkat. Ia takut ada seseorang yang melihat keberadaan mereka disana. Apalagi sekarang, suasana sedang tak aman, bisa dengan mudah musuh Herman menjatuhkan Herman, kalau melihatnya bersama wanita lain. Tak lama, apa yang ia maksud datang, tespek dengan merk tertentu. Kemudian diambilnya, dan langsung kembali ke mobil. Dijalankannya mobilnya dengan cepat. Sampai hanya beberapa menit saja ,ia sudah sampai ditoko kue Amira. Adinda turun disana, dengan membawa beberapa buah tespek, sedangkan sisanya ,ia simpan dibawah jok mobil. "Nanti pulang dari toko, aku jemput. Baik-baik disini." ucap Herman mesra. Kali ini, ia memperlakukan Adinda dengan sangat tak biasa. dikecupnya kening Adinda dengan lembut dan mesra. Kehangatan menjalar saat bibir Herman menyentuh kulit keningnya. Kehangatan yang sangat jarang ia dapatkan, membuat Adinda betah berlama-lama dengan Herman. Herman tak mengetahui, kalau seorang pelayan lain menyaksika
Mobil siapa itu? bukankah mas Herman barusaja berangkat?" Amira menghentikan kegiatannya, lalu membuka gorden disampingnya. Dilihatnya seseorang, yang keluar dari mobil itu. Dengan setelan jas berwarna hitam mengkilat, menggunakan payung, dan didampingi beberapa orang bodyguard. Ia berjalan mendekati rumahnya. Jika dilihat ,dari caranya berjalan. Sepertinya ia tahu, Amira memicingkan matanya, berusaha memperjelas pandangannya. Semakin lama, semakin mereka mendekati rumahnya. "Mba Dhina!! kemarilah cepat!!" Amira berteriak. Ia ketakutan bukan main ,melihat segerombolan orang tersebut semakin mendekatinya. Dhina yang mendengar teriakan Amira ,langsung mendatangi kamar kerja Amira. Dengan terengah engah, ia menghampiri Amira."Ada apa nyonya? kenapa teriak seoerti itu?" tanya Dhina heran. Keringat dingin terlihat mengucur dibalik kening Amira. Ia sangat ketakutan."Suruh Pak Parman menjaga gerbang depan ,kalau perlu bersama security juga. Ada banyak orang datan
"Katakan yang sebenarnya padaku tentang kematian Wisma mas!!" Amira membentak Herman. Sikap hormat yang biasa ia kedepankan, sepertinya sekarang sudah tak berlaku baginya. Herman seketika menegang. Tubuhnya terasa dingin. Desiran darah ditubuhnya, terasa sangat cepat. Ia tak tahu ,kenapa Amira bisa mengetahui masalah ini. "Maksudmu apa sayang? aku tak melakukan apapun." Jelas Herman sambil memegangi pipinya ,yang perih karena tamparan Amira. Dia masih menutupi kebohongannya. Sedangkan Amira hanya meringis menahan muak. Ia tak suka dengan sikap suaminya yang lebih pantas disebut sebagai pecundang. Melenyapkan seseorang dengan cara yang tidak jentle."Aku sudah tahu semuanya mas, apa kau tahu....Wisma mash hidup. Dan tadi, dia datang kerumah!!" Amira setengah berteriak. Ia sengaja melakukan itu, agar suamunya tahu. Dan mau meminta maaf padanya. Herman terlihat mematung. Ia beberapa kali menelan salivanya. Tamparan Amira yang menyakitkan, tak terasa lagi, dikarenakan
Ia menangis meraung. Berteriak histeris. Merasa tak berarti pengorbanannya selama ini, setelah Herman memutuskan untuk pergi meninggalkannya. "Kau bahkan lebih memilih untuk pergi mas!!" Amira terus berteriak. Sebenarnya bukan ini keinginannya. Melainkan ,ia hanya menginginkan Herman menyadari kesalahannya, meminta maaf pada Wisma, Dan semua selesai. Amira ingin rumah tangganya baik-baik saja. Tidak ada kebohongan didalamnya. Apalgai kesalahan Herman yang sangat fatal kali ini. Ia melakukan rencana pembunuhan. Itu yang tidak Amira suka. Dhina yang mendengar Amira menangis histeris, sambil berteriak, berlari menuju kamar nynyanya itu. Spontan ia peluk tubub Amira ,yang terkulai lemas. Wajahnya yang dipenuhi airmata, membuatnya terlihat sangat buruk. Dhina yang terbawa suasana, ikut menangis melihat kejadian seperti itu. "Tenanglah nyonya ,tenangkan dirimu...ada apa ini?" Suara Dhina ikut bergetar. Tubuhnya ikut berguncang karena memeluk Amira yang sedang menangis deng
Andi tak mengerti ,kenapa Amira bisa bersikap kasar. Hal yang jauh dari sifat asli seorang Amira. Dengan tangan bergetar, Andi mengambil koper diatas meja ,yang diserahkan Amira. Ia berdiri, dan berpamitan untuk pergi. Sesaat sebelum Andi melangkah, Amira berpesan terlebih dulu."Satu hal lagi, Wisma belum meninggal. Jadi hati-hati lah kalian, lebih baik meminta maaf dan berdamai ,daripada nanti kena maslalah yang lebih rumit!!" Pesan Amira dengan nada mengancam. Ia tahu, Wisma tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Setiap perbuatan, pasti akan ada balasannya. Apalagi yang Herman lakukan, sudah masuk ranah kriminal. Itu yang akan Wisma uruskan sampai selesai. Andi yang mulai merasa takut, berusaha menyembunyikan perasaannnya. Dihadapan siapapun,Anidi harus bersikap pemberani. Ia tak boleh menampakkan ketakutannya. "Tak ada yang bisa menakutiku nyonya." Balasnya singkat, sambil membungkukkan badannya, lalu pergi meninggalkan Amira. "Sombong sekali ,kau sama p
Amira sedikit merasa ada yang aneh. Pasalnya ,tadi dia menanyakan keberadaan Herman, Andi pun tak mengetahui keberadaan suaminya itu. Suara dibalik telepon tadi, sangat ia kenal. Ia tak mungkin salah mendengar. Tapi akalnya menepisnya. "Untuk apa juga Herman bareng Adinda...gak mungkin lah.." Ia mencoba menghilangkan pikiran negatifnya. Amira memasuki ruangan kerjanya. Ruang pribadi yang belum pernah ia pakai sebelumnya. Ia dudukan tubuhnya dikursi. Ia sibakkan semua pikiran yang membuatnya gundah. Akhirnya ,ia mulai mengecek pembukuan dilaptopnya. Dia hilangkan semua prasangka yang membebaninya. Ia kembalikan niat awalnya untuk datang ke toko. Barusaja ia membuka laptopnya, ia melihat beberapa kabcing kemeja yang berserakan. Kancing dengan merek kemeja yang selalu Herman pakai. Dipungutnya kancing itu. Dia tatap dengan lekat. Perasaan tak enak mulai menghantuinya lagi. " Kancing kemeja mas Herman, kenapa bisa berantakan seperti ini? lagipula untuk apa mas Herma
Hilang sudah harapannya untuk mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Herman. Permintaan terakhir mama Hana tentang pernikahan yang abadi, tak lagi ia gubris. Kini, keinginannya untuk berpisah semakin kuat. Rasa cinta, hormat, dan mengagumi yang masih tersisa ,kini menghilang semua. Terbang bersama pengkhianatan yang Herman lakukan. Seperti tak punya perasaan, Herman tega melakukan iti dibelakangnya. Janji manis yang selalu ia yakinkan, ternyata hanya untuk menutupi kebobrokannya. Semua hilang memuai. Kini tinggal rasa benci, benci, dan benci yang menguasai hati Amira. Keadaan ruangan yang kedap suara ,membuatnya menangis sebebasnya. Ia luapkan semua rasa kecewanya. Menangis adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Rasa sakit yang sesakitnya, kini tengah ia rasakan. Sentuhan yang dia kira hanya untuknya ,ternyata mampu Herman lakukan dengan wanita lain. Ciuman dan dekapan lembut, ternyata bukan hanya padanya Herman lakukan. Ternyata dia bukanlah wanita
"Apa kita panggil tuan saja nyonya?" tanya Parman ,yang sudah siap memberitahu Herman, tentang sakitnya Amira. Dengan cepat Amira menggelengkan kepalanya. Dia tak mau lagi melihat wajah Herman. Jangankan untuk bertemu ,mengucapkan namanya saja ,ia sudah sangat malas. Baginya ,Herman sudah menajdi sebuah kenangan. Ia tak mau lagi mengingat semua tentang Herman. Apapun itu. Luka yang Herman torehkan dihatinya ,terlalu dalam. Sehingga ia tak bisa lagi untuk menahannya. Terlalu banyak pengorbanan Amira yang sudah Herman sia-siakan. Untuk ke sekian kalinya, Amira merasa hidupnya harus terbebas dari Herman. Parman tetap bergeming melihat majikannya. Ia tahu, alasan Amira tak ingin bertemu dengan suaminya. Wajar saja, karena ia pun akan melakukan hal yang sama, andai berada di posisi Amira. Ponsel Parman berbunyi. Seseorang telah mengirim pesan padanya. Dibukanya pesan itu, Dokter Dhani yang sudah mengiriminya pesan. "Parman, setelah cek darah Amira ,ternyata Dia hamil."