"Apa kita panggil tuan saja nyonya?" tanya Parman ,yang sudah siap memberitahu Herman, tentang sakitnya Amira. Dengan cepat Amira menggelengkan kepalanya. Dia tak mau lagi melihat wajah Herman. Jangankan untuk bertemu ,mengucapkan namanya saja ,ia sudah sangat malas. Baginya ,Herman sudah menajdi sebuah kenangan. Ia tak mau lagi mengingat semua tentang Herman. Apapun itu. Luka yang Herman torehkan dihatinya ,terlalu dalam. Sehingga ia tak bisa lagi untuk menahannya. Terlalu banyak pengorbanan Amira yang sudah Herman sia-siakan. Untuk ke sekian kalinya, Amira merasa hidupnya harus terbebas dari Herman. Parman tetap bergeming melihat majikannya. Ia tahu, alasan Amira tak ingin bertemu dengan suaminya. Wajar saja, karena ia pun akan melakukan hal yang sama, andai berada di posisi Amira. Ponsel Parman berbunyi. Seseorang telah mengirim pesan padanya. Dibukanya pesan itu, Dokter Dhani yang sudah mengiriminya pesan. "Parman, setelah cek darah Amira ,ternyata Dia hamil."
Herman yang melihat istrinya merajuk, mencoba memeluknya, dan memberikan untuknya ciuman lembut dipucuk kepala Adinda. Kita sudah habiskan waktu seharian bersama. Kini saatnya aku pulang. Besok kita bertemu lagi ok!!" Herman melepaskan pelukannya, dan bersiap berangkat. Dia masuki mobilnya itu ,kemudian ia mulai menjalankan mobilnya dengan kekuatan penuh. Tak lupa ia membelikan Amira sekuntum mawar merah, dengan wangi yang romantis. Ia sengaja membelinya ,untuk memberikan kejutan pada Amira. Juga dibelinya sebuah cincin emas, yang berbentuk hati. Ia berharap, Amira akan sangat senang, dan bertambah cinta padanya ,karena kejutan yang sudah ia siapkan. sepanjang perjalanan, Herman terus tersenyum. Hari ini ia merasa bahagia luar biasa. Bukan hanya Karena Amira yang kembali padanya, juga karena perusahaannya yang kembali berjalan normal. Dan itu semua berkat Amira. Maka selayaknya Amira mendapatkan sebuah kejutan manis darinya. Begitulah pikirnya Herman. Kini, ia s
Ditatapnya wajah pucat Amira. Dia singkapkan rambut yang sedikit menutupi wajah cantik Amira. Amira yang membuka perlahan matanya. Seketika memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia tak mau disentuh oleh lelaki didepannya. Rasa muak dan jijik yang ia rasakan tak bisa lagi ditahan. Dengan kasar, ia singkirkan tangan suaminya, tangan yang sentuhannya selalu ia rindukan. Tangan yang selalu ia cium, saat hendak bekerja. Kini ia merasa tangan itu tak pantas untuk menyentuhnya. Tangan itu telah kotor. Mata Amira merah padam. Bibirnya terkunci. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang menggebu. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!!" Amira membentak suaminya. Perlahan, tubuhnya berdiri. Menjauh dari Herman. Darah Herman berdesir melihat perubahan sikap pada Amira. Dalam seumur hidupnya, ini kali pertama Amira mengeluarkan taringnya. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Herman sungguh tak mengerti dengan semua ini. Kejutan yang sudah ia siapkan, terlupa
"Kau coba pikirkan kembali Amira, perkataanmu sudah lewat batas!!" Herman memohon sambil melangkahkan kakinya beberapa langkah. Amira yang melihat Herman mendekatinya, sontak langsung mundur menjauhi Herman, lagi ,lagi dan sampai sangat jauh. "Kubilang jangan pernah mendekat. Aku sudah sangat muak denganmu. Tak ada lagi alasan untuk kita bertahan!!" "Tapi bagaimana dengan Vino? dia masih membutuhkan orang tua yang utuh?" Herman mencoba menjadikan Vino sebagai senjatanya. Berharap Amira akan luluh oleh kata-katanya. Amira menyeringai sinis. Vino yang dijadikan alasan oleh Herman sudah tak mempan lagi baginya. Toh, seperti biasanya juga Herman tak pernah mempedulikan Vino. Waktu untuk bertemu saja, tak pernah ia sempatkan. Jadi, tak ada yang memberatkan Amira saat berpisah nanti. "Alasanmu basi, memang kau peduli dengan anakmu? Apa kau tahu sejauh mana perkembangan anakmu sekarang?" Amira mencoba mengetes Herman. Bahkan sampai sekarang saja, Herman belum pernah
POV Amira Hari ini, tubuhku terasa sangat lemas sekali. Kepalaku pusing. Seakan tak mempunyai tenaga, aku tak sanggup bahkan hanya untuk bangun saja. Kejadian kemarin, membuatku lebih dewasa. Bahwa, tidak semua cinta yang kita berikan, kebaikan yang kita suguhkan, akan dibalas dengan hal yang sama. Seperti yang ku alami sekarang ini. Aku rela mengorbankan ijazahku, hanya karena demi rumah tanggaku. Suamiku yang melarangku untuk bekerja, dan menginginkanku menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya. Mengorbankan semua cita dan harapaan masa kecil, hanya untuk berbakti pada suami. Namun hari imi, pwngorbanan sebesar itu, harus terenggut paksa, hanya karena ke egoisan yang namanya lelaki. Dulu ia bilang, kalau penampilanku suatu saat berubah, maka cintanya takkan pernah berubah sampai kapanpun. Tapi kemarin, janji manis itu telah ia langgar sendiri. Dengan alasan aku yang sudah tidak menarik lagi, semua kebaikan dan pengorbananku harus ku relakan sia-sia. Sebu
Apa yang dia lihat?" Herman bertanya, memastikan kalau Amira tak melihat kejadian dimalam peresmian itu. Parman langsung bersikap canggung, Ia bingung, darimana harus memulai bercerita. Ingin rasanya menceritakan apa yang sudah Amira lihat, yang menjadi penyebab menyulutnya Amarah Amira. Ia mencoba meraba mimik wajah Parman terlebih dulu, Setelah dikiranya semua akan baik-baik saja, Parman memulai ceritanya. "Sebelumnya aku minta maaf, kalau lancang." Dengan nada serius, Parman memulai ceritanya ,tentang apa yang dia lihat kemarin. "Sepertinya nyonya Amira kemarin melihat tuan melakukan...eemmm..." ia bingung meneruskan perkataannya. Herman langsung mengubah posisi duduknya. Ia mulai tegang. Seketika tubuhnya bergetar. Ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Parman. "Kau yakin, dia melihatku melakukan itu dengan Adinda?" Herman mendekatkan wajahnya ke arah Parman. Dengan suara yang pelan. Ia tak mau ada yang mendengar pembicaraannya. "Iya, saya juga sempat
Parman meninggalkan Herman yang sudah terlelap. Ia sekarang menuju Amira. Bermaksud akan memberitahukan barusan yang terjadi pada Herman. Ruang pertama yang ia datangi adalah kamar Amira. Sudah beberapa kali ia mengetuk pintu kamar Amira ,namun tak ada sahutan sama sekali, kemudian ia menuruni anak tangga, menuju dapur. Ia pikir, bisa saja bosnya itu sedang membuat masakan. Namun perkiraannya kali ini salah besar. Tak ada Amira disana. Yang ada hanya Dhina, ia sedang serius membuat masakan yang entah siapa yang akan memakannya. Parman menghampiri Dhina. Ia berdiri disamping Dhina. Parman yang biasanya paling jarang masuk dapur. Itupun kalau memang benar-benar mendesak saja. Dhina yang sedang fokus pada masakannya, terkgaet karena ada Herman disampingnya. "Aaah hai, pak Parman, kenapa kau ada disini? kau benar benar membuatku jantungan!!" Teriak Dhina. Parman langsung menutup mulut Dhina dengan kedua tangannya. Bermaksud agar Dhina tidak berbicara terlalu keras.
"Nyonya, sekarang dimana?aku ingin bertemu. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu." Parman ingin memberitahukan tentang kehamilan Amira. Dhani yang belum sempat memberitahukan hal ini pada Amira, meminta Parman untuk menyampaikannya. "Aku sedang tak ingin diganggu Parman. Kalau memang kau ada perlu, bicara sekarang saja." Titah Amira tegas. Ia tak mau lagi harus bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Parman bimbang, antara harus mengatakan kebenaran atau tidak. Setelah dipikir berulang. Akhirnya ia putuskan untuk menyampaikan sebuah berita, yang pastinya sangat mengejutkan bagi Amira. "Dokter Dhani memberiku sebuah pesan, ia mengatakan kalau menurut hasil tes darah kemarin, nyonya dikabarkan positif hamil." Ekspressi muka Amira seketika berubah menjadi muram. Ia tak suka mendengar kabar tentang kehamilannya. Tak seperti seorang wanita kebanyakan, yang menginginkan seorang buah hati. Justru sebaliknya. ia menginginkan anak yang dalam kandungannya kini, bisa kel
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang