Ditatapnya wajah pucat Amira. Dia singkapkan rambut yang sedikit menutupi wajah cantik Amira. Amira yang membuka perlahan matanya. Seketika memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia tak mau disentuh oleh lelaki didepannya. Rasa muak dan jijik yang ia rasakan tak bisa lagi ditahan. Dengan kasar, ia singkirkan tangan suaminya, tangan yang sentuhannya selalu ia rindukan. Tangan yang selalu ia cium, saat hendak bekerja. Kini ia merasa tangan itu tak pantas untuk menyentuhnya. Tangan itu telah kotor. Mata Amira merah padam. Bibirnya terkunci. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang menggebu. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!!" Amira membentak suaminya. Perlahan, tubuhnya berdiri. Menjauh dari Herman. Darah Herman berdesir melihat perubahan sikap pada Amira. Dalam seumur hidupnya, ini kali pertama Amira mengeluarkan taringnya. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Herman sungguh tak mengerti dengan semua ini. Kejutan yang sudah ia siapkan, terlupa
"Kau coba pikirkan kembali Amira, perkataanmu sudah lewat batas!!" Herman memohon sambil melangkahkan kakinya beberapa langkah. Amira yang melihat Herman mendekatinya, sontak langsung mundur menjauhi Herman, lagi ,lagi dan sampai sangat jauh. "Kubilang jangan pernah mendekat. Aku sudah sangat muak denganmu. Tak ada lagi alasan untuk kita bertahan!!" "Tapi bagaimana dengan Vino? dia masih membutuhkan orang tua yang utuh?" Herman mencoba menjadikan Vino sebagai senjatanya. Berharap Amira akan luluh oleh kata-katanya. Amira menyeringai sinis. Vino yang dijadikan alasan oleh Herman sudah tak mempan lagi baginya. Toh, seperti biasanya juga Herman tak pernah mempedulikan Vino. Waktu untuk bertemu saja, tak pernah ia sempatkan. Jadi, tak ada yang memberatkan Amira saat berpisah nanti. "Alasanmu basi, memang kau peduli dengan anakmu? Apa kau tahu sejauh mana perkembangan anakmu sekarang?" Amira mencoba mengetes Herman. Bahkan sampai sekarang saja, Herman belum pernah
POV Amira Hari ini, tubuhku terasa sangat lemas sekali. Kepalaku pusing. Seakan tak mempunyai tenaga, aku tak sanggup bahkan hanya untuk bangun saja. Kejadian kemarin, membuatku lebih dewasa. Bahwa, tidak semua cinta yang kita berikan, kebaikan yang kita suguhkan, akan dibalas dengan hal yang sama. Seperti yang ku alami sekarang ini. Aku rela mengorbankan ijazahku, hanya karena demi rumah tanggaku. Suamiku yang melarangku untuk bekerja, dan menginginkanku menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya. Mengorbankan semua cita dan harapaan masa kecil, hanya untuk berbakti pada suami. Namun hari imi, pwngorbanan sebesar itu, harus terenggut paksa, hanya karena ke egoisan yang namanya lelaki. Dulu ia bilang, kalau penampilanku suatu saat berubah, maka cintanya takkan pernah berubah sampai kapanpun. Tapi kemarin, janji manis itu telah ia langgar sendiri. Dengan alasan aku yang sudah tidak menarik lagi, semua kebaikan dan pengorbananku harus ku relakan sia-sia. Sebu
Apa yang dia lihat?" Herman bertanya, memastikan kalau Amira tak melihat kejadian dimalam peresmian itu. Parman langsung bersikap canggung, Ia bingung, darimana harus memulai bercerita. Ingin rasanya menceritakan apa yang sudah Amira lihat, yang menjadi penyebab menyulutnya Amarah Amira. Ia mencoba meraba mimik wajah Parman terlebih dulu, Setelah dikiranya semua akan baik-baik saja, Parman memulai ceritanya. "Sebelumnya aku minta maaf, kalau lancang." Dengan nada serius, Parman memulai ceritanya ,tentang apa yang dia lihat kemarin. "Sepertinya nyonya Amira kemarin melihat tuan melakukan...eemmm..." ia bingung meneruskan perkataannya. Herman langsung mengubah posisi duduknya. Ia mulai tegang. Seketika tubuhnya bergetar. Ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Parman. "Kau yakin, dia melihatku melakukan itu dengan Adinda?" Herman mendekatkan wajahnya ke arah Parman. Dengan suara yang pelan. Ia tak mau ada yang mendengar pembicaraannya. "Iya, saya juga sempat
Parman meninggalkan Herman yang sudah terlelap. Ia sekarang menuju Amira. Bermaksud akan memberitahukan barusan yang terjadi pada Herman. Ruang pertama yang ia datangi adalah kamar Amira. Sudah beberapa kali ia mengetuk pintu kamar Amira ,namun tak ada sahutan sama sekali, kemudian ia menuruni anak tangga, menuju dapur. Ia pikir, bisa saja bosnya itu sedang membuat masakan. Namun perkiraannya kali ini salah besar. Tak ada Amira disana. Yang ada hanya Dhina, ia sedang serius membuat masakan yang entah siapa yang akan memakannya. Parman menghampiri Dhina. Ia berdiri disamping Dhina. Parman yang biasanya paling jarang masuk dapur. Itupun kalau memang benar-benar mendesak saja. Dhina yang sedang fokus pada masakannya, terkgaet karena ada Herman disampingnya. "Aaah hai, pak Parman, kenapa kau ada disini? kau benar benar membuatku jantungan!!" Teriak Dhina. Parman langsung menutup mulut Dhina dengan kedua tangannya. Bermaksud agar Dhina tidak berbicara terlalu keras.
"Nyonya, sekarang dimana?aku ingin bertemu. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu." Parman ingin memberitahukan tentang kehamilan Amira. Dhani yang belum sempat memberitahukan hal ini pada Amira, meminta Parman untuk menyampaikannya. "Aku sedang tak ingin diganggu Parman. Kalau memang kau ada perlu, bicara sekarang saja." Titah Amira tegas. Ia tak mau lagi harus bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Parman bimbang, antara harus mengatakan kebenaran atau tidak. Setelah dipikir berulang. Akhirnya ia putuskan untuk menyampaikan sebuah berita, yang pastinya sangat mengejutkan bagi Amira. "Dokter Dhani memberiku sebuah pesan, ia mengatakan kalau menurut hasil tes darah kemarin, nyonya dikabarkan positif hamil." Ekspressi muka Amira seketika berubah menjadi muram. Ia tak suka mendengar kabar tentang kehamilannya. Tak seperti seorang wanita kebanyakan, yang menginginkan seorang buah hati. Justru sebaliknya. ia menginginkan anak yang dalam kandungannya kini, bisa kel
Sebagai manusia biasa, ia mempunyai batas kesabaran. Yang semakin ia pendam semakin ia merasakan ketidak sanggupannya, untuk menahan semuanya.***HERMAN POV Kali ini, aku menyerah untuk mengejarmu. Semakin aku mencarimu, semakin kau menghilang. Aku tahu sebesar apa kesalahanku padamu. Kau memang berhak untuk tidak memaafkanku. "Lantas sekarang, untuk siapa lagi aku hidup? untuk alasan apa lagi aku bersemangat menjalani kehidupanku?" Sudah tak ada lagi kah celah dihatimu untuk memaafkanku? Apa kesempatanku untuk memperbaiki segalanya sudah tertutup? Aku memang manusia yang kotor. Penuh dosa, penuh kesalahan. Egoku yang tak bisa ku kalahkan. Dan menyebabkan semua kerusakan ini terjadi. Kumohon jangan siksa aku dengan kepergianmu. Aku bisa mati andai kau benar tak bisa lagi kembali padaku. Apa tak ada sedikitpun rasa berat dihatimu saat kau melangkahkan kakimu tanpaku bersamamu? Ijinkan aku merubah segalanya. Kan kutinggalkan semua yang membuatmu resah. Karen
Surat panggilan sidang pertama sudah ia terima. Tinggal beberapa hari lagi ia akan melaksanakan sidang perdana perceraiannya. Herman yang semakin terlihat tak karuan, dari hari ke hari. Bahkan ia jarang sekali terlihat tersenyum. Dunia ini sudah terasa asam baginya. Tak ada alasan lagi untuk ia tersenyum. Malam ini, Herman akan pulang ke rumah Adinda. Ia butuh seseorang untuknya memberi kekuatan, mengahadapi perceraiannya nanti. Setelah selesai dari pekerjaannya, Herman langsung menjalankan mobilnya, menuju rumah Adinda. Sepanjang perjalanannya, ia terus memikirkan Amira dan Vino. Biasanya, sepulangnya ia dari kantor, ia akan mendapat pesan dari Amira ,untuk memesan makanan kesukaannya, rendang padang. Atau paling tidak, hanya sekedar ucapan mesra, yang menyuruh Herman untuk cepat pulang. Namun kali ini, ponselnya sepi. Sudah beberapa bulan semenjak perpisahannya, Herman lebih mirip dengan sebuah patung. Ia hanya akan terdiam. Dan berbicara saat ada hal yang penti