Surat panggilan sidang pertama sudah ia terima. Tinggal beberapa hari lagi ia akan melaksanakan sidang perdana perceraiannya. Herman yang semakin terlihat tak karuan, dari hari ke hari. Bahkan ia jarang sekali terlihat tersenyum. Dunia ini sudah terasa asam baginya. Tak ada alasan lagi untuk ia tersenyum. Malam ini, Herman akan pulang ke rumah Adinda. Ia butuh seseorang untuknya memberi kekuatan, mengahadapi perceraiannya nanti. Setelah selesai dari pekerjaannya, Herman langsung menjalankan mobilnya, menuju rumah Adinda. Sepanjang perjalanannya, ia terus memikirkan Amira dan Vino. Biasanya, sepulangnya ia dari kantor, ia akan mendapat pesan dari Amira ,untuk memesan makanan kesukaannya, rendang padang. Atau paling tidak, hanya sekedar ucapan mesra, yang menyuruh Herman untuk cepat pulang. Namun kali ini, ponselnya sepi. Sudah beberapa bulan semenjak perpisahannya, Herman lebih mirip dengan sebuah patung. Ia hanya akan terdiam. Dan berbicara saat ada hal yang penti
Bukannya menolong, Ia malah semakin menjadi. Kemarahannya semakin memuncak, saat Parman dengan lantangnya menentang dirinya untuk tidak menolong Adinda. "Terserah kau saja, aku sudah muak dengan semua ini!!" Herman malah pergi begitu saja. Meninggalkan Parman yang sudah siap pergi ke Rumah sakit. Darah yabg terus mengalir dari rahim Adinda, akibat lemparan hebat yang Herman lakukan, menyebabkan Amira kehilangan banyak darah. Bagi Parman, saat ini, bukanlah antara musuh dan kawan, tetapi tentang nyawa dua orang manusia. Nyawa Adinda yang terancam an nyawa seorang calon anak manusia didalam rahim Adinda. Dengan segera, Parman membawa Amira ke Rumah Sakit terdekat. Dia segera menelepon taksi. Dan dengan segera taksi pun datang membawanya dan Adinda. Dia panik tak karuan. Pasalnya, dia hanya sendirian membawa Adinda. Supir didepan, melirik Parman sesekali. Ia ikut panik melihat Adinda yang berlumuran banyak darah. "Istrinya kenapa pak?" Tanya supir itu penasaran. Par
Andi merasa heran dengan tuannya itu. Ia bahkan akan segera bercerai, tapi masih selalu mencari tahu segala hal tentang Amira. "Akan saya cari tahu secepatnya tuan." Jawabnya singkat. Ia hanya ingin agar tuannya tidak membebaninya dengan hal konyol. Jadi ia iyakan saja perintahnya ,yang menurut Andi aneh. "Tuan ,hari ini ada perayaan yang harus tuan datangi. Ulang tahun perusahaan Antan grup Tuan. Apa tuan akan datang?" Tanya Andi. Jadwal Herman hari ini adalah mengahadiri acara ulang perusahaan Antana grup. Ia hampir lupa, karena masalah yang tengah ia hadapi saat ini. "Tentu saja, aku akan datang. Sebentar lagi, aku akan sampai." Jawab Herman, sambil menutup panggilannya. "Hanya butuh waktu sebentar saja, kini Herman sudah sampai di kantornya. Ia hanya menjemput Andi Dan langsung berangkat menuju pertemuan dengan Antana Grup. Selama didalam perjalanan, Herman erlihat sangat gelisah. Ia tak bisa duduk dengan tenang. Pikirannya sangat kalut hari ini. Andi yang
Atika yang berjalan cepat, tak mengetahui kalau Herman tengah mengikutinya. Sedangkan Herman, ia terus mengikuti arah Atika ,yang berjalan semakin cepat. "Atika ,kaukah itu....Atika..tunggu!!" Herman terus berteriak. Mengejar Atika yang semakin menjauh.Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mengintip dibalik dinding. Melihat Atika yang sedang berbicara dengan seorang wanita. Berpenampilan sederhana. Namun berwibawa. Wajahnya kini nampak semakin cantik. Dengan omperutnya yang membuncit. Ia masih tampak elegan. Senyum menghiasai wajahnya, membuat hati Herman seperti layaknya taman yang tandus. Disirami ari hujan. sejuk dan membuat subur kembali. Dahaganya, kini terasa disiram kesejukan embun. Hilang semua rasa rindu yang menggelayut berat di pundaknya. Ia kini tengah melihat sosok Amira. Istrinya yang hampir membuatnya gila. Istrinya yang pergi darinya hampir satu tahun itu. Ingin rasanya ia memeluknya sekarang juga. Namun akal sehatnya masih berfungsi. Ia hanya mengawasi Amira dari
Aku mau bertemu dengan Amira. Aku ingin meminta maaf padanya." Terbaca ketulusan Adinda dikertas itu. Parman memicingkan matanya. Ia akhirnya paham, apa yang dikatakan Adinda. "Baiklah, akan kupertemukan kau dengannya." Ucap Parman sambil mengeluarkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Amira. "Ada apa Parman?" Suara Amira dibalik teleponnya. Parman seketika merasa ragu, tetapi ini keinginan Adinda. Ia takut, kalau ini akan menjadi permintaan terakhirnya. Melihat kondisi Adinda yang sangat kritis. "Sebelumnya, aku minta maaf nyonya, tapi ini benar adanya. Ada yang ingin bertemu dengan anda, sekarang juga." Jawabnya pelan. Amira merasa heran. Ia mengira ,itu adalah Herman. Dengan cepat, ia menolak permintaan dari Adinda. Ia tak mau lagi berurusan dengan Adinda. "Jangan pernah kau berniat untuk mempertemukan kita lagi!! Karena itu hanyalah percuma!!! Bentak Amira ,tanpa mengetahui terlebih dulu, siapa yang ingin bertemu dengannya. "Maaf nyonya, saya tak bermaksud apapun. Aku hany
"Nyonya, memangnya siapa sih yang sakit?" Tanya Atika penasaran. Pasalanya, Amira tak memintanya dari awal, kalau ia akan menemui temannya yang sakit. Semuanya terkesan mendadak. "Hmm...sebenarnya, yang akan kita jenguk saat ini adalah seorang perempuan, yang dulu berselingkuh dengan Herman. Katanya, dia ingin bertemu denganku. Dia sakit, dan sedang dirawat disini." Amira memberikan penjelasan panjang lebar. Namun wajahnya terlihat sangat santai. Walau dalam hatinya, tetap saja, ada perasaan gugup yang menghinggapinya. Yang ia takutkan adalah, usahanya untuk melupakan semua kesakitan dimasa silam, akan terusik kembali. Ia takut akan teringat semua perasaan yang membuatnya terjatuh setahun yang lalu. "Hahhh...anda serius nyonya? anda mau bertemu dengan wanita yang sudah merusak rumah tangga anda? sudahlah nyonya...lebih baik kita pulang saja. " Balas Atika. Ia khawatir akan kesehatan Amira. Berhubung, saat ini Amira sedang hamil tua. Amira hanya tersenyum menimpali
Parman mengangguk pelan. Ia mengiyakan apa yang Amira lihat. Parman mulai mendekati Amira. Dengan rasa yang sangat berat, ia katakan. Kalau wanita yang selama ini menjadi selingkuhan Herman, tak lain adalah Adinda. Atau Ania, yang Amira kenal. Adinda menatap sayu. Matanya memerah, cairan bening itu, keluar dari ujung matanya. Rasa bersalah yang teramat dalam, kini tengah ia rasakan. Tangannya melambai, memanggil Amira untuk mendekat. Dada Amira terasa sangat sesak. Seperti ada tali yang terikat kuat di kerongkongannya. Ia merasakan berat, sangat berat didadanya. Bahkan untuk bernafas saja, ia merasa sangat kesulitan. Dia mencoba mengatur nafasnya. Langkahnya tak bisa maju. Ia seperti sebuah patung. Yang terdiam tak bergerak. Inikah kenyataannya? inikah yang harus ia hadapi saat ini? Amira bergetar. Ia tak bisa memaksakan dirinya, untuk mendekati Adinda saat ini. Sedangkan Adinda, yang saat ini, tubuh dan wajahnya dipenuhi dengan kabel dan selang infus, terus melambaikan ta
Airmata Adinda yang terus mengalir, membuat matanya menjadi bengkak. Namun belum bisa meluluhkan hati Herman. Terlalu banyak rasa sakit yang telah Adinda torehkan dihatinya. Melihat keadaan Adinda yang hampir sekarat pun, tak membuat Amira memaafkannya dengan mudah. Gara-gara Adinda dan Herman, nasib anaknya kini menjadi seorang broken home. Yang semua orang tahu, bagaimana biasanya anak yang mengalami broken home. Akibat perceraian kedua orangtuanya, Vino dan calon anak keduanya yang akan menjadi korban. "Kau bisa meminta maaf sekarang, saat ajal hampir menjemputmu. Apa kau tak punya niat untuk itu sebelumnya?" Tanya Amira dengan ketus. Entah mengapa, hatinya yang lembut, dan mudah memaafkan. Kini berubah menjadi sekeras batu. Baginya, jika kebaikan seseorang selalu dipermainkan. Maka tak ada lagi alasan untuk menjadi seorang yang baik. Adinda terus menangis. Mulutnya seakan ingin berbicara, berteriak meminta maaf padanya. Hanya saja, lidahnya yang kaku. Membuatnya tak
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang