Parman mengangguk pelan. Ia mengiyakan apa yang Amira lihat. Parman mulai mendekati Amira. Dengan rasa yang sangat berat, ia katakan. Kalau wanita yang selama ini menjadi selingkuhan Herman, tak lain adalah Adinda. Atau Ania, yang Amira kenal. Adinda menatap sayu. Matanya memerah, cairan bening itu, keluar dari ujung matanya. Rasa bersalah yang teramat dalam, kini tengah ia rasakan. Tangannya melambai, memanggil Amira untuk mendekat. Dada Amira terasa sangat sesak. Seperti ada tali yang terikat kuat di kerongkongannya. Ia merasakan berat, sangat berat didadanya. Bahkan untuk bernafas saja, ia merasa sangat kesulitan. Dia mencoba mengatur nafasnya. Langkahnya tak bisa maju. Ia seperti sebuah patung. Yang terdiam tak bergerak. Inikah kenyataannya? inikah yang harus ia hadapi saat ini? Amira bergetar. Ia tak bisa memaksakan dirinya, untuk mendekati Adinda saat ini. Sedangkan Adinda, yang saat ini, tubuh dan wajahnya dipenuhi dengan kabel dan selang infus, terus melambaikan ta
Airmata Adinda yang terus mengalir, membuat matanya menjadi bengkak. Namun belum bisa meluluhkan hati Herman. Terlalu banyak rasa sakit yang telah Adinda torehkan dihatinya. Melihat keadaan Adinda yang hampir sekarat pun, tak membuat Amira memaafkannya dengan mudah. Gara-gara Adinda dan Herman, nasib anaknya kini menjadi seorang broken home. Yang semua orang tahu, bagaimana biasanya anak yang mengalami broken home. Akibat perceraian kedua orangtuanya, Vino dan calon anak keduanya yang akan menjadi korban. "Kau bisa meminta maaf sekarang, saat ajal hampir menjemputmu. Apa kau tak punya niat untuk itu sebelumnya?" Tanya Amira dengan ketus. Entah mengapa, hatinya yang lembut, dan mudah memaafkan. Kini berubah menjadi sekeras batu. Baginya, jika kebaikan seseorang selalu dipermainkan. Maka tak ada lagi alasan untuk menjadi seorang yang baik. Adinda terus menangis. Mulutnya seakan ingin berbicara, berteriak meminta maaf padanya. Hanya saja, lidahnya yang kaku. Membuatnya tak
Anak yang sangat pandai. Ialah yang selama ini menjadi alasan untuk Amira tetap bertahan dalam keterpurukannya. Mata bulat Vino, yang mempeihatkan betapa miripnya Vino dengan ayahnya. Membuat rindu Amira semakin kuat akan Herman. Namun, ia semakin kuat ingin menghapus Herman dari semua bayangan di pikirannya itu. Kekuatan itu selalu muncul, kala ia mengingat segala penghianatan yang Herman lakukan. "Mengapa aku tiba tiba merindukannya? Apa sebenarnya aku memang belum bisa melupakannya?" Amira bertanya pada dirinya sendiri. Memang sejauh ini, ia berhasil menghapuskan Herman dari ingatannya. Tetapi itu hanya sementara. Buktinya, saat ini ia sangat merindukan sosok yang pernah hadir didalam hidupnya dulu. Senyuman Herman tetiba datang membayangi pikirannya. Seperti jaelangkung, ia datang tanpa diundang. Dan pergi begitu saja, tanpa ia minta. Setelah merasa puas bermain main dengan Vino, Amira kembali menuju kamarnya. Ia ingin sejenak memanjakan tubuhnya. Direbahkann
Tubuh yang lelah, mata yang tak bisa lagi terbuka lebar. Memaksanya untuk tidur. Sehingga akhirnya, ia tertidur kembali didalam lelahnya.*** Herman tersenyum sendiri. Ia sangat berbahagia hari ini. Usahanya untuk bertemu kembali dengan Amira, kini sebentar lagi akan terwujud. Ia telah mengantongi nomor ponsel dan alamat lengkap Amira. Jika mau, sekarang juga ia bisa menemuinya. Tapi tak semudah itu. Ia harus sedikit bersabar, agar Amira tak pergi lagi dari sisinya. Sudah ia siapkan segala kejutan yang akan ia persembahkan saat pertemuannya dengan Amira nanti. Tinggal menghitung hari saja, ia akan kembali menatap wajah istrinya itu. Sementara, Herman sama sekali tak peduli dengan Keadaan Adinda. Setelah kejadian kemarin, ia pergi begitu saja. Mencuci tangan atas segala perbuatannya. Sedangkan Parman yang masih setia menunggui Adinda, kini ditemani kekasih dari Adinda. Gawatnya, lelaki yang menjadi kekasih dari Adinda, sudah melaporkan Herman ke pihak polisi. Dan saat ini, H
Waktu yang ditunggu tunggu akhirnya datang juga. Acara syukuran yang sudah direncanakan dengan sangat matang, kini akan segera dilaksanakan. Herman yang sudah menunggu hari spesial ini, sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Amira. Dia siapkan penampilan yang paling terbaik, yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Cincin dan segala kado yang sudah ia siapkan untuk Amira, sudah siap diberikan pada Amira. Herman melihat dirinya dikaca, dia harus terlihat sempurna dimata Amira. Dengan menampilkan senyumnya yang paling manis. Ia kini sudah siap melangkah menuju kantornya. Andi yang sudah menunggunya daritadi, ternganga melihat penampilan Herman yang tak seperti biasanya. Ia terlihat jauh lebih tampan, dan rapi. Setelah kepergian Amira, Herman tidak mempedulikan lagi penampilannya. Bahkan ia terkesan tidak mementingkan lagi penampilan, dan keadaan tubuhnya. Yang dulu ia terlihat sangat atletis, tubuh yang sixpack, semua mata yang memandang, pasti akan terpesona melihatny
Rasa kagum, yang bercampur dengan perasaan cinta, semakin kuat ia rasakan. Tangannya sudah tak sabar untuk memeluk tubuh Amira, yang dulu tiap malam ia peluk. Bayangan rasa hangat tubuh Amira, kembali menyengat ditubuh Herman. Ia mulai meindukan kehangatan yang dulu selalu ia dapatkan dari Amira. Rasanya, perasaan itu kembali menggelora dihatinya. Ia tak bosan terus menatap Amira dari kejauhan. terlihat senyumnya tersungging manis dipipinya. Sungguh Amira menggodanya saat ini.*** Parman dan Edwin tengah mempersiapkan segala hal untuk penangkapan Herman. Beberapa anggota polisi, dan seperangkat persiapannya, sudah siap pula. Hanya tinggal mrnunggu komando saja, mereka siap meluncur, menuju tempat Herman. "Segala sudah siap, apa anda sudah siap juga pak?" Tanya salah satu polisi pada Parman, yang masih sibuk dengan ponselnya. Ia barusaja selesai menghubungi Andi. Untuk menanyakan keberadaan Herman. "Mari pak, target juga sudah da ditempat." Jawab Parman mantap. Setelah ia menghu
Ada apa polisi datang kemari? mungkin mereka salah alamat. Aku tak ada urusan dengan polisi!!!" Tegasnya sendiri, sambil berjalan melangkah, menuju halaman luar. Ia ingin memastikan, apa sebenarnya yang terjadi di acaranya. Herman menolehkan terlebih dulu wajahnya, dilihatnya Amira. Kemudian senyum dengan percaya dirinya. Walaupun Amira tidak menghiraukannya, namun Herman sangat yakin, kalau Amira masih mencintainya. Segera Herman keluar, dia temui polisi yang sudah berdiri, dengan segala kelengkapannya. Namun yang membuat Herman bertambah heran, ada Parman dan Lelaki kekasih Adinda. Herman langsung teringat, dengan apa yang dia lakukan tempo hari terhadap Adinda dan Edwin. Dia majukan beberapa langkah kakinya, menemui tamu yang tam di undang itu. "Maaf pak, ada perlu apa? acara belum dimulai. Kalau bapak-bapak memang ada perlu, kita selesaikan saja sekarang!" Ajak Herman pada mereka, sambil mengajak mereka untuk masuk ke ruangan khusus. Para polisi, Parman dan Edwin, meng
"Lepaskan aku, berani beraninya kau Hermaaan...!!" Amira mencoba berontak dari genggaman Herman. Ia merasa takut, kalau Herman akan lebih jauh melakukan sesuatu. Namun Herman tak menanggapinya. Ia masih saha memeluk tubuh Amira. Yang selama ini ia rindukan. Amira yang tak berkutik, akhirnya pasrah dengan keadaan. Ia hanya bisa menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan Herman. Terdengar isakan tangisan Herman. Terasa sangat tulus. Tangisan yang belum oernah ia dengar sebelumnya. Tiba tiba tangan Herman mengusap lembut rambut Amira. "Aku mohon maafkan semua kesalahanku, izinkan aku untuk menebus semua kesalahanku. Jangan pernah tinggalkan aku lagi. Aku tak tahu, apa kita akan bisa bertemu lagi setelah ini atau tidak." Airmata Herman menetes perlahan, membasahi tangan Amira. Amira yang melihat cairan bening itu, kemudian perlahan menatap kearah wajah Herman. Terlihat Herman yang memejamkan matanya, menikmati pelukan dengan Amira. Entah mengapa, Amira kini membalas pelukan Herm
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang