Waktu yang ditunggu tunggu akhirnya datang juga. Acara syukuran yang sudah direncanakan dengan sangat matang, kini akan segera dilaksanakan. Herman yang sudah menunggu hari spesial ini, sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Amira. Dia siapkan penampilan yang paling terbaik, yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Cincin dan segala kado yang sudah ia siapkan untuk Amira, sudah siap diberikan pada Amira. Herman melihat dirinya dikaca, dia harus terlihat sempurna dimata Amira. Dengan menampilkan senyumnya yang paling manis. Ia kini sudah siap melangkah menuju kantornya. Andi yang sudah menunggunya daritadi, ternganga melihat penampilan Herman yang tak seperti biasanya. Ia terlihat jauh lebih tampan, dan rapi. Setelah kepergian Amira, Herman tidak mempedulikan lagi penampilannya. Bahkan ia terkesan tidak mementingkan lagi penampilan, dan keadaan tubuhnya. Yang dulu ia terlihat sangat atletis, tubuh yang sixpack, semua mata yang memandang, pasti akan terpesona melihatny
Rasa kagum, yang bercampur dengan perasaan cinta, semakin kuat ia rasakan. Tangannya sudah tak sabar untuk memeluk tubuh Amira, yang dulu tiap malam ia peluk. Bayangan rasa hangat tubuh Amira, kembali menyengat ditubuh Herman. Ia mulai meindukan kehangatan yang dulu selalu ia dapatkan dari Amira. Rasanya, perasaan itu kembali menggelora dihatinya. Ia tak bosan terus menatap Amira dari kejauhan. terlihat senyumnya tersungging manis dipipinya. Sungguh Amira menggodanya saat ini.*** Parman dan Edwin tengah mempersiapkan segala hal untuk penangkapan Herman. Beberapa anggota polisi, dan seperangkat persiapannya, sudah siap pula. Hanya tinggal mrnunggu komando saja, mereka siap meluncur, menuju tempat Herman. "Segala sudah siap, apa anda sudah siap juga pak?" Tanya salah satu polisi pada Parman, yang masih sibuk dengan ponselnya. Ia barusaja selesai menghubungi Andi. Untuk menanyakan keberadaan Herman. "Mari pak, target juga sudah da ditempat." Jawab Parman mantap. Setelah ia menghu
Ada apa polisi datang kemari? mungkin mereka salah alamat. Aku tak ada urusan dengan polisi!!!" Tegasnya sendiri, sambil berjalan melangkah, menuju halaman luar. Ia ingin memastikan, apa sebenarnya yang terjadi di acaranya. Herman menolehkan terlebih dulu wajahnya, dilihatnya Amira. Kemudian senyum dengan percaya dirinya. Walaupun Amira tidak menghiraukannya, namun Herman sangat yakin, kalau Amira masih mencintainya. Segera Herman keluar, dia temui polisi yang sudah berdiri, dengan segala kelengkapannya. Namun yang membuat Herman bertambah heran, ada Parman dan Lelaki kekasih Adinda. Herman langsung teringat, dengan apa yang dia lakukan tempo hari terhadap Adinda dan Edwin. Dia majukan beberapa langkah kakinya, menemui tamu yang tam di undang itu. "Maaf pak, ada perlu apa? acara belum dimulai. Kalau bapak-bapak memang ada perlu, kita selesaikan saja sekarang!" Ajak Herman pada mereka, sambil mengajak mereka untuk masuk ke ruangan khusus. Para polisi, Parman dan Edwin, meng
"Lepaskan aku, berani beraninya kau Hermaaan...!!" Amira mencoba berontak dari genggaman Herman. Ia merasa takut, kalau Herman akan lebih jauh melakukan sesuatu. Namun Herman tak menanggapinya. Ia masih saha memeluk tubuh Amira. Yang selama ini ia rindukan. Amira yang tak berkutik, akhirnya pasrah dengan keadaan. Ia hanya bisa menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan Herman. Terdengar isakan tangisan Herman. Terasa sangat tulus. Tangisan yang belum oernah ia dengar sebelumnya. Tiba tiba tangan Herman mengusap lembut rambut Amira. "Aku mohon maafkan semua kesalahanku, izinkan aku untuk menebus semua kesalahanku. Jangan pernah tinggalkan aku lagi. Aku tak tahu, apa kita akan bisa bertemu lagi setelah ini atau tidak." Airmata Herman menetes perlahan, membasahi tangan Amira. Amira yang melihat cairan bening itu, kemudian perlahan menatap kearah wajah Herman. Terlihat Herman yang memejamkan matanya, menikmati pelukan dengan Amira. Entah mengapa, Amira kini membalas pelukan Herm
Dengan tergesa, Amira berjalan meninggalkan acara yang membuatnya malu setengah mati. Ja tak menyangka, akan mengalami kejadian buruk seperti tadi. Dengan segera, ia membereskan semua barang barang miliknya, yang tadi ia bawa ke tempat itu. "Amira...tunggu aku, Herman dengan tergesa pula mengejar Amira. Tak ada sedikitpun maksud dari Herman untuk kabur dari para polisi itu. Melihat Amira yang tiba-tiba pergi, membuat Herman panik, dan ikut berlari untuk mengejarnya. Sedangkan tidak dengan para polisi yang menyaksikan. Mereka mengira, kalau Herman akan melarikan diri dari mereka. Sehingga dengan cepat, mereka mengejar Herman. "Heii..berhenti Herman! kami bilang berhenti!!" sambung para polisi, yang kini saling berlarian. Dan berhasil membuat suasana menjadi gaduh. Para tamu yang hadir ikut menjerit karena panik. Mereka tak tahu, ada polisi yang diam disana, menyaksikan acara yang diadakan Herman. Meliht Herman yang terus berlari, dengan terpaksa, mereka melayangkan satu temba
Terlihat polisi itu mengerutkan keningnya. Ia nampak berfikir keras. Mungkin harus Amira dan Herman harus dipertemukan terlebih dulu, agar Herman cepat sadar, dan penyelidikan segera dilakukan. "Apa anda mengenal istri dari Herman? kalau memang anda mengenalnya, bawa saja dia kemari. Agar semua berjalan dengan cepat. Kami tak bisa menunggu terlalu lama." Ucap polisi itu. Justru itulah tujuan dari Parman. Tanpa disengaja, ternyata mereka mempunyai niat dan tujuan yang sama. "Saya tahu pak, biar nanti saya bawa kemari istrinya." Ucap Parman. Dengan segera, ia hubungi Amira. Ia beritahukan keberadaan Herman sekarang. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, saat Amira mulai putus asa mencari keberadaan Herman, kini dengan sendirinya Parman memberitahukan keberadaan Herman. "Maaf nyonya, aku Parman, apa anda bersedia menjenguk tuan Herman, saat ini dia sedang pingsan dan belum sadarkan diri. Daritadi, hanya nama anda yang ia sebut." Ucap Parman. Amira merasa terharu dengan penjelasa
Sejenak tukang ojek itu terdiam. Ia merasa ragu, namun Amira terus memaksanya, sampai akhirnya ia tak punya pilihan lain. "Baiklah nyonya, tapi aku sarankan, jika nanti nyonya merasakan nyeri atau apapun itu, tolong beritahu saya." Ucap tukang ojek itu, sambil menyalakan motornya. Amira yang sudah tidak sabar, langsung menggunakan helmnya, dan menaiki motor itu. Segera tukang ojek menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Ia tahu resiko yang akan dia alami, jika ia harus menambah kecepatan jalannya. "Dipercepat lagi bang, aku harus segera menemui orang yang sedang kritis." Ucap Amira, yang sedikit berteriak, karena suaranya terdengar pelan, oleh angin jalanan. "Ini sudah saya percepat nyonya, lagipula, kondisi anda tak memungkinkan, jika aku harus lebih menambah kecepatan motorku." Jawab tukang ojek, yang terus bersikukuh dengan kecepatan motornya. Amira berdecak kesal. Ia sengaja memakai motor, untuk menhindari kemacetan, agar bisa dengan segera menemui Herman, namun tu
"Setelah semua yang Herman lakukan padanya, ia tetap berkorban untuk Herman. Perempuan yang paling setia, yang pernah aku kenal." Parman bergumam dalam hatinya. Amira tak oeduli seberapa sering Herman memperlakukannya dengan buruk, tetapi ia tetap berbuat yang terbaik untuk Herman. Parman yang terus menyaksikan kepergian Amira, sampai Amira dan tukang ojek itu benar benar lenyap dari pandangannya. *** "Apa kita masih lama pak ke alamat itu?" tanya Amira yang mulai lelah dengan posisi duduknya. Dia sudah menghabiskan dua jam untuk menempuh perjalanan itu, namun tanda tanda tempat itu akan sampai masih belum terlihat. Perutnya sudah mulai terasa kram. Sangat sakit ia rasakan. "Apa nyonya merasa sakit? perjalanan masih jauh. Kita barusaja sampai setengah perjalanan." Jawab tukang ojek itu. Amira yang sudah mulai tak fokus, karena merasa lelah dan kesakitan dibagian perutnya. "Apa kita bisa berhenti sejenak? aku sudah tak kuat. Perutku sakit sekali." Ajak Amira, yang ber
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang