Beranda / Romansa / Karma(penyesalan) / Penembakan Herman

Share

Penembakan Herman

Penulis: Nadaaulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dengan tergesa, Amira berjalan meninggalkan acara yang membuatnya malu setengah mati. Ja tak menyangka, akan mengalami kejadian buruk seperti tadi. Dengan segera, ia membereskan semua barang barang miliknya, yang tadi ia bawa ke tempat itu.

"Amira...tunggu aku, Herman dengan tergesa pula mengejar Amira. Tak ada sedikitpun maksud dari Herman untuk kabur dari para polisi itu. Melihat Amira yang tiba-tiba pergi, membuat Herman panik, dan ikut berlari untuk mengejarnya. Sedangkan tidak dengan para polisi yang menyaksikan. Mereka mengira, kalau Herman akan melarikan diri dari mereka. Sehingga dengan cepat, mereka mengejar Herman.

"Heii..berhenti Herman! kami bilang berhenti!!" sambung para polisi, yang kini saling berlarian. Dan berhasil membuat suasana menjadi gaduh. Para tamu yang hadir ikut menjerit karena panik. Mereka tak tahu, ada polisi yang diam disana, menyaksikan acara yang diadakan Herman. Meliht Herman yang terus berlari, dengan terpaksa, mereka melayangkan satu temba
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma(penyesalan)   Cinta Lama Bersemi Kembali

    Terlihat polisi itu mengerutkan keningnya. Ia nampak berfikir keras. Mungkin harus Amira dan Herman harus dipertemukan terlebih dulu, agar Herman cepat sadar, dan penyelidikan segera dilakukan. "Apa anda mengenal istri dari Herman? kalau memang anda mengenalnya, bawa saja dia kemari. Agar semua berjalan dengan cepat. Kami tak bisa menunggu terlalu lama." Ucap polisi itu. Justru itulah tujuan dari Parman. Tanpa disengaja, ternyata mereka mempunyai niat dan tujuan yang sama. "Saya tahu pak, biar nanti saya bawa kemari istrinya." Ucap Parman. Dengan segera, ia hubungi Amira. Ia beritahukan keberadaan Herman sekarang. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, saat Amira mulai putus asa mencari keberadaan Herman, kini dengan sendirinya Parman memberitahukan keberadaan Herman. "Maaf nyonya, aku Parman, apa anda bersedia menjenguk tuan Herman, saat ini dia sedang pingsan dan belum sadarkan diri. Daritadi, hanya nama anda yang ia sebut." Ucap Parman. Amira merasa terharu dengan penjelasa

  • Karma(penyesalan)   Perjuangan Amira

    Sejenak tukang ojek itu terdiam. Ia merasa ragu, namun Amira terus memaksanya, sampai akhirnya ia tak punya pilihan lain. "Baiklah nyonya, tapi aku sarankan, jika nanti nyonya merasakan nyeri atau apapun itu, tolong beritahu saya." Ucap tukang ojek itu, sambil menyalakan motornya. Amira yang sudah tidak sabar, langsung menggunakan helmnya, dan menaiki motor itu. Segera tukang ojek menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Ia tahu resiko yang akan dia alami, jika ia harus menambah kecepatan jalannya. "Dipercepat lagi bang, aku harus segera menemui orang yang sedang kritis." Ucap Amira, yang sedikit berteriak, karena suaranya terdengar pelan, oleh angin jalanan. "Ini sudah saya percepat nyonya, lagipula, kondisi anda tak memungkinkan, jika aku harus lebih menambah kecepatan motorku." Jawab tukang ojek, yang terus bersikukuh dengan kecepatan motornya. Amira berdecak kesal. Ia sengaja memakai motor, untuk menhindari kemacetan, agar bisa dengan segera menemui Herman, namun tu

  • Karma(penyesalan)   Pengorbanan Amira

    "Setelah semua yang Herman lakukan padanya, ia tetap berkorban untuk Herman. Perempuan yang paling setia, yang pernah aku kenal." Parman bergumam dalam hatinya. Amira tak oeduli seberapa sering Herman memperlakukannya dengan buruk, tetapi ia tetap berbuat yang terbaik untuk Herman. Parman yang terus menyaksikan kepergian Amira, sampai Amira dan tukang ojek itu benar benar lenyap dari pandangannya. *** "Apa kita masih lama pak ke alamat itu?" tanya Amira yang mulai lelah dengan posisi duduknya. Dia sudah menghabiskan dua jam untuk menempuh perjalanan itu, namun tanda tanda tempat itu akan sampai masih belum terlihat. Perutnya sudah mulai terasa kram. Sangat sakit ia rasakan. "Apa nyonya merasa sakit? perjalanan masih jauh. Kita barusaja sampai setengah perjalanan." Jawab tukang ojek itu. Amira yang sudah mulai tak fokus, karena merasa lelah dan kesakitan dibagian perutnya. "Apa kita bisa berhenti sejenak? aku sudah tak kuat. Perutku sakit sekali." Ajak Amira, yang ber

  • Karma(penyesalan)   Gagal Bertemu Amira

    Wisma terus memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Ia takut kalau Amira akan melahirkan diperjalanan. Melihat kondisinya, Amira memang akan melahirkan sebelum waktu yang ditentukan. Menurut perasaannya, Ia merasakan kontraksi karena stress, dan terlalu kecapaian. Mengingat kali ini saja, Amira masih memaksakan dirinya untuk menaiki motor, yang seharusnya itu tak ia lakukan. "Kau memang keras kepala Amira!!" Gerutu Wisma sambil terus melihat kearah Amira. Yang kini semakin memperlihatkan ekspresi kesakitannya. Amira tak membalas lagi protesan Wisma. Jangankan untuk membalasnya, membuka mata saja ,mungkin ia sudah tak sanggup. "Bersabarlah sebentar Amira, semua akan baik baik saja." Pintah Wisma pada Amira. Ia mencoba menenangkan Amira. Berharap Amira sedikit rileks. Sehingga tak mempengaruhi keadaan jiwanya. Lama sudah mereka berada diperjalanan. Akhirnya mereka sampai di klinik milik Wisma. Wisma dengan siaganya, langsung mengangkat tubuh Amira kedalam kliniknya. "Pera

  • Karma(penyesalan)   Kembalinya Adinda

    Adinda, ya..wanita yang masuk ke ruangan Herman kali ini adalah Adinda. Ia sudah sembuh dari sakitnya. Kini ia berjalan perlahan, mendekati Herman yang terduduk lemah diatas ranjang pesakitannya. Matanya nanar menatap Herman. Tersirat rasa bersalah didalam mata Adinda. Adinda yang statusnya kini masih sebagai istri sah Herman. Kini datang menemuinya. Entah untuk apalagi, yang jelas perasaan Adinda masih sangat dalam untuk Herman. Walaupun Herman telah memperlakukannya dengan buruk. Edwin memang kekasihnya, ia memang pemuas kebutuhan sex nya. Karena Herman yang sudah kurang bergairah, semenjak kepergian Amira dari hidupnya, Amira mencari lelaki pemuas kebutuhan birahinya. Tapi hatinya hanya untuk Herman. Sungguh hanya untuknya. Tak ada yang lain sampai saat ini. Herman yang sudah sangat muak dengan Adinda. Mencoba membuang mukanya. Ia tak mau lagi menatap sosok didepannya. Terbayangkan olehnya, bagaimana ketika ia melakukan hubungan terlarang itu, dan dengan mata kepalanya sen

  • Karma(penyesalan)   Busuknya Adinda

    "Amira sudah tahu tentang hubungan kita mas, jadi tak adalagi yang perlu ditutup tutupi. Kita bisa bebas menjalankan pernikahan kita." Ajak Adinda setengah memaksa. "Aku akan mencabut laporanku tentang penganiayaan itu, asal kau tak menceraikanku." Adinda mencoba memberikan tawaran pada Herman. Ia berharap, Herman akan menerima tawaran itu. "Aku tak perlu bantuanmu. Aku bisa bebas dengan usahaku sendiri." Jawab Herman dengan sombongnya. "Adinda tersenyum sinis. Ia meremehkan kekuatan Herman kali ini. Ia yakin, kalau akhirnya Herman akan menerimanya kembali. Karena ia sudah menyusun rencana, agar bisa membuat Herman kembali padanya. Akal busuk Adinda memang tak pernah ada habisnya. Ia selalu mempunyai cara untuk merebut Herman dari Amira. Adinda yang mengetahui kalau Amira akan menemui Herman, ia sengaja langsung datang ke tempat Herman terlebih dahulu, agar nanti jika Amira sampai, ia akan melihat Herman tengah bersama Adinda. Dan niat untuk bercerai dengan Herman menja

  • Karma(penyesalan)   Usaha Adinda Merebut Herman Kembali

    "Amira, apa kabarmu..aku dengar kau sudah melahirkan yah? selamat untuk kelahiran anak keduamu ya...Oiya Amira, kamu kan sebentar lagi mau bercerai dari Herman kan? berhubung kau sudah tahu siapa selingkuhan suamimu, kalau begitu, aku minta izin untuk memilikinya seutuhnya ya? Begitulah isi pesan dari Adinda untuk Amira. Memang dia wanita yang tidak punya rasa malu. Dan tepatnya lagi, tak punya hati. Ketika kemarin ia tertidur lemah, saat ajal hampir menjemputnya, Ia memohon maaf pada Amira, merasa khilaf telah melakukan kesalahan, merebut suami orang. Namun kini, saat ia sehat kembali. Ia ambil jurus seribu langkah untuk memanfaatkan keadaan. Dimana saat hubungan Amira dan Herman sedang tidak baik, justru ia dengan sengaja menjadi hama didalam hubungan mereka. Adinda tersenyum puas ketika pesannya sudah terkirim. Walaupun belum dibaca oleh sang pemilik, tetapi setidaknya, nanti Amira akan membacanya. Terlepas akan dibalas atau tidak, itu terserah. Yang terpenting baginya ada

  • Karma(penyesalan)   Amira di Rumah Sakit

    Kalau saja ia tak malu, mungkin sekarang ia sudah berjingkrak karena kebahagiaannya. "Boleh aku melihat baby girl yang imut itu gak? tanya Atika pada Wisma. Wisma menganggukan kepalanya. Pertanda menyetuji keinginan Atika. Dengan segera, ia berlari menuju ruangan bayi. Dilihatnya anak majikannya itu, yang nampak menggeliat lucu. Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya. Mungkin saja, agar ayahnya tahu, kalau dia adalah anak Herman. Dipandangnya dengan lekat wajah imut bayi itu. Kemudian ia mengambil fotonya, dan menguploadnya di snap wa nya. Parman yang saat ini sedang memainkan ponselnya, tak sengaja melihat snap dari Atika. Dan langsung membelalakkan matanya. Ia yakin kalau foto bayi itu adalah anak dari Amira. Seketika, ia langsung berdiri, dan menuju ruangan Herman. Ia akan memberitahukan, kalau anaknya sudah lahir. Siapa tahu dengan begitu, Herman akan cepat pulih, dan penyelidikan kasus penganiayaan kemarin akan segera diproses. Ia sudah lelah harus menunggui Herman, dan meng

Bab terbaru

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

  • Karma(penyesalan)   Menyambut Adinda

    Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"

  • Karma(penyesalan)   Welcome Adinda

    Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal

  • Karma(penyesalan)   Ikhlas Walaupun Berat

    "Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang

DMCA.com Protection Status