"Amira, apa kabarmu..aku dengar kau sudah melahirkan yah? selamat untuk kelahiran anak keduamu ya...Oiya Amira, kamu kan sebentar lagi mau bercerai dari Herman kan? berhubung kau sudah tahu siapa selingkuhan suamimu, kalau begitu, aku minta izin untuk memilikinya seutuhnya ya? Begitulah isi pesan dari Adinda untuk Amira. Memang dia wanita yang tidak punya rasa malu. Dan tepatnya lagi, tak punya hati. Ketika kemarin ia tertidur lemah, saat ajal hampir menjemputnya, Ia memohon maaf pada Amira, merasa khilaf telah melakukan kesalahan, merebut suami orang. Namun kini, saat ia sehat kembali. Ia ambil jurus seribu langkah untuk memanfaatkan keadaan. Dimana saat hubungan Amira dan Herman sedang tidak baik, justru ia dengan sengaja menjadi hama didalam hubungan mereka. Adinda tersenyum puas ketika pesannya sudah terkirim. Walaupun belum dibaca oleh sang pemilik, tetapi setidaknya, nanti Amira akan membacanya. Terlepas akan dibalas atau tidak, itu terserah. Yang terpenting baginya ada
Kalau saja ia tak malu, mungkin sekarang ia sudah berjingkrak karena kebahagiaannya. "Boleh aku melihat baby girl yang imut itu gak? tanya Atika pada Wisma. Wisma menganggukan kepalanya. Pertanda menyetuji keinginan Atika. Dengan segera, ia berlari menuju ruangan bayi. Dilihatnya anak majikannya itu, yang nampak menggeliat lucu. Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya. Mungkin saja, agar ayahnya tahu, kalau dia adalah anak Herman. Dipandangnya dengan lekat wajah imut bayi itu. Kemudian ia mengambil fotonya, dan menguploadnya di snap wa nya. Parman yang saat ini sedang memainkan ponselnya, tak sengaja melihat snap dari Atika. Dan langsung membelalakkan matanya. Ia yakin kalau foto bayi itu adalah anak dari Amira. Seketika, ia langsung berdiri, dan menuju ruangan Herman. Ia akan memberitahukan, kalau anaknya sudah lahir. Siapa tahu dengan begitu, Herman akan cepat pulih, dan penyelidikan kasus penganiayaan kemarin akan segera diproses. Ia sudah lelah harus menunggui Herman, dan meng
"Hai kau, apa apaan kau Adinda?!!" Herman berteriak dengan emosi. Melihat Adinda yang dengan garangnya menyobek kerah baju Herman. Kemudian ia lanjutkan kembali menyobek bajunya sendiri, dibagian dada dan tangannya. Ia kemudian berteriak minta tolong sekuat tenaga. Dan berusaha memanggil dokter dan suster. "Tolooong, tolooong aku..!!" Ia terus berteriak. Meronta ronta sendiri. Herman tak tahu apa yang sedang Adinda lakukan. Dengan terpaksa, ia memaksakan dirinya untuk berdiri, dengan menumpu pada satu kaki, ia berdiri, dan mencoba menutup mulut Adinda. Namun sayang, ia kalah cepat dengan dokter dan polisi yang terlanjur sudah masuk kedalam ruangan. Sehingga mereka melihat seolah Herman sedang membekap mulut Adinda. Dan dengan keadaan baju Adinda yang sudah koyak bagian depan dan tangannya. Serta kerah baju Herman yang ikut sobek pula. "Haii...hentikan!! apa yang kau lakukan Herman!!" Bentak salah satu polisi yang melihat kejadian itu. Serentak ia langsung melepaskan bekap
Dirasakan sedikit linu dibagian perutnya. Kemudian ia mengusapnya lembut. "Kau sudah melahirkan anakmu Mira, dia sangat cantik sepertimu." Ucap Wisma, sedikit menggoda Amira. Amira tertegun mendengar perkataan Wisma, yang menyebutkan kalau anak keduanya adalah seorang perempuan. Bahagianya ia bukan main. Amira tersenyum tipis. Rasa sakitnya kini hilang begitu saja, saat mendengar anak bayinya selamat. Ia coba bergerak, ingin sekali rasanya melihat segera bayinya. "Dimana dia? aku ingin memangkunya." Ucapnya pelan. Wisma mencoba menenangkan Amira. Lukanya masih sangat basah. Ia harus beristirahat dulu untuk beberapa jam ke depan, baru boleh beranjak dari ranjangnya. "Sabarlah dulu Mira, kau baru saja menjalankan operasi. Nanti juga kau akan melihatnya setiap hari." Ucap Wisma. Ia sangat faham kalau Amira memang sudah tidak sabar ingin melihat bayi kecilnya. "Kau sudah tak ingin bertemu ayah bayimu lagi kan?" Goda Wisma pada Amira, yang kini tak lagi membahas Herman. Padaha
"Aku bersumpah demi anak dan istriku, aku takkan pernah sekalipun meminta pertolonganmu." Ucap Herman dengan tegas, saat Adinda menemuinya, dan memaksanya untuk meminta bantuan padanya. Tekad Herman sudah bulat. Apapun yang akan terjadi, Herman takkan pernah kembali pada Adinda. Mendengar Herman yang menolaknya, Adinda tersenyum licik. Ia mengetuk ngetuk ponselnya dimeja. "Semua terserah padamu, aku hanya menawarkan bantuan saja." Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada Wajah Herman yang tegang. Adinda bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa saja melakukan hal yang keji pada Amira, asal Herman bisa kembali padanya. Tak ada laki laki lain yang membuatnya sangat terobsesi. Selain Herman, yang selalu membuatnya ingin memilikinya. "Sadarlah Adinda, kau sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, bukan cinta jika begini caranya!!" Herman mulai berteriak. Kesabarannya sudah mulai habis. Herman pun berdiri dari duduknya. Dan akan kembali kedalam sel nya. Ya.
Sampai Adinda benar benar tak terlihat lagi, ia kemudian memukul jeruji besi itu dengan keras. Ia merasa menyesal karena tak bisa berada disamping Amira. Setiap kata kata Adinda, terngiang jelas ditelinganya. Saat diaenyebutkan kalau Amira sudah melahirkan anak keduanya. Dan seorang bayi perempuan yang lucu kini sudah hadir didunia. Rasa ingin melihat darah dagingnya itu, sangat menyiksanya. Tubuhnya beringsut kebawah. Ia menangisi nasib buruk yang terjadi padanya. Hidupnya kini serasa hancur. Berpisah dari istri dan anaknya, dan kemudian ia harus hidup didalam jeruji besi ini. Dan entah sampai kapan ia akan berada didalam kegelapan itu. Ia tundukkan kepalanya diatas kedua lututnya. Dipeluknya kakinya yang terlipat itu dengan kedua tangannya. Sungguh keadaannya kini sangat memprihatinkan sekali. "Hemm..." Suara deheman seorang pria, membuatnya terbangun. Dan mencoba menegakkan tubuhnya. Dilihatnya dari bawah, ujung sepatu sampai tiba dia melihat muka lelaki yang kini berada di
Mendengar penuturan dari Wisma. Herman hanya terdiam. Ia sudah berprasangka buruk terhadap mantan kekasih istrinya itu. Yang sebenarnya, tak selamanya musuh menjadi musuh. Kemudian, dengan perlahan, ia menerima sodoran tangan Wisma, dan menerima tawarannya. "Aku sebenarnya tak menginginkan perceraian itu, tetapi Amira sudah terlanjur membenciku, dan aku tak bisa melakukan apapun. Aku sungguh sangat menyesali perbuatanku menyia nyiakan anak dan istriku, hanya demi seorang perempuan, yang ternyata ia tak lain seorang srigala." Herman seolah meluapkan segala yang mengganjal dihatinya. Entah mengapa, ia merasa ingin memeberitahukan apa yang dia rasakan saat ini. Ia ceritakan semua keluh kesahnya selama Amira meninggalkannya. Semua kehidupannya berubah. Hampir tak ada senyuman lagi didalam hari harinya. Ia sangat terluka dengan kepergian Amira dari hidupnya. Mendengar penuturan Herman, Wisma merasa sangat iba. Akhirnya ia tahu, isi hati yang sebenarnya dari musuhnya itu. Sebagai s
"Cobalah kau pikirkan lagi Amira, anakmu membutuhkan ayahnya. Jangan kau kedepankan egomu." Wisma mencoba menasehati Amira dengan pelan. Mendengar apa yang dikatakan Wisma, Amira hanya pasrah. Dalam hati kecilnya sebenarnya Amira tak menginginkan perceraian itu hanya saja hatinya tak bisa lagi untuk diajak berkompromi. Mungkin saat ini, ia masih merasakan kesakitan yang sudah Herman berikan. Namun masih ada rasa cinta walau hanya sebiji jagung. "Entahlah Wisma, aku perlu waktu untuk memikirkan itu." Amira mencoba mengakhiri perbincangannya mengenai Herman. Rasa malas mulai menghampirinya, jika ia harus berurusan kembali dengan Herman. Besok adalah sidang perdana perceraian mereka, Wisma menyarankan agar Amira memikirkan kembali keputusannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Wisma, terngiang dipikirannya. Sempat ada rasa ingin membatalkan ini semua. Namun ia belum yakin betul. Ia butuh waktu lebih lama untuk memikirkan hal ini. Amira yang telah siap untuk kembali ke ruma