"Aku bersumpah demi anak dan istriku, aku takkan pernah sekalipun meminta pertolonganmu." Ucap Herman dengan tegas, saat Adinda menemuinya, dan memaksanya untuk meminta bantuan padanya. Tekad Herman sudah bulat. Apapun yang akan terjadi, Herman takkan pernah kembali pada Adinda. Mendengar Herman yang menolaknya, Adinda tersenyum licik. Ia mengetuk ngetuk ponselnya dimeja. "Semua terserah padamu, aku hanya menawarkan bantuan saja." Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada Wajah Herman yang tegang. Adinda bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa saja melakukan hal yang keji pada Amira, asal Herman bisa kembali padanya. Tak ada laki laki lain yang membuatnya sangat terobsesi. Selain Herman, yang selalu membuatnya ingin memilikinya. "Sadarlah Adinda, kau sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, bukan cinta jika begini caranya!!" Herman mulai berteriak. Kesabarannya sudah mulai habis. Herman pun berdiri dari duduknya. Dan akan kembali kedalam sel nya. Ya.
Sampai Adinda benar benar tak terlihat lagi, ia kemudian memukul jeruji besi itu dengan keras. Ia merasa menyesal karena tak bisa berada disamping Amira. Setiap kata kata Adinda, terngiang jelas ditelinganya. Saat diaenyebutkan kalau Amira sudah melahirkan anak keduanya. Dan seorang bayi perempuan yang lucu kini sudah hadir didunia. Rasa ingin melihat darah dagingnya itu, sangat menyiksanya. Tubuhnya beringsut kebawah. Ia menangisi nasib buruk yang terjadi padanya. Hidupnya kini serasa hancur. Berpisah dari istri dan anaknya, dan kemudian ia harus hidup didalam jeruji besi ini. Dan entah sampai kapan ia akan berada didalam kegelapan itu. Ia tundukkan kepalanya diatas kedua lututnya. Dipeluknya kakinya yang terlipat itu dengan kedua tangannya. Sungguh keadaannya kini sangat memprihatinkan sekali. "Hemm..." Suara deheman seorang pria, membuatnya terbangun. Dan mencoba menegakkan tubuhnya. Dilihatnya dari bawah, ujung sepatu sampai tiba dia melihat muka lelaki yang kini berada di
Mendengar penuturan dari Wisma. Herman hanya terdiam. Ia sudah berprasangka buruk terhadap mantan kekasih istrinya itu. Yang sebenarnya, tak selamanya musuh menjadi musuh. Kemudian, dengan perlahan, ia menerima sodoran tangan Wisma, dan menerima tawarannya. "Aku sebenarnya tak menginginkan perceraian itu, tetapi Amira sudah terlanjur membenciku, dan aku tak bisa melakukan apapun. Aku sungguh sangat menyesali perbuatanku menyia nyiakan anak dan istriku, hanya demi seorang perempuan, yang ternyata ia tak lain seorang srigala." Herman seolah meluapkan segala yang mengganjal dihatinya. Entah mengapa, ia merasa ingin memeberitahukan apa yang dia rasakan saat ini. Ia ceritakan semua keluh kesahnya selama Amira meninggalkannya. Semua kehidupannya berubah. Hampir tak ada senyuman lagi didalam hari harinya. Ia sangat terluka dengan kepergian Amira dari hidupnya. Mendengar penuturan Herman, Wisma merasa sangat iba. Akhirnya ia tahu, isi hati yang sebenarnya dari musuhnya itu. Sebagai s
"Cobalah kau pikirkan lagi Amira, anakmu membutuhkan ayahnya. Jangan kau kedepankan egomu." Wisma mencoba menasehati Amira dengan pelan. Mendengar apa yang dikatakan Wisma, Amira hanya pasrah. Dalam hati kecilnya sebenarnya Amira tak menginginkan perceraian itu hanya saja hatinya tak bisa lagi untuk diajak berkompromi. Mungkin saat ini, ia masih merasakan kesakitan yang sudah Herman berikan. Namun masih ada rasa cinta walau hanya sebiji jagung. "Entahlah Wisma, aku perlu waktu untuk memikirkan itu." Amira mencoba mengakhiri perbincangannya mengenai Herman. Rasa malas mulai menghampirinya, jika ia harus berurusan kembali dengan Herman. Besok adalah sidang perdana perceraian mereka, Wisma menyarankan agar Amira memikirkan kembali keputusannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Wisma, terngiang dipikirannya. Sempat ada rasa ingin membatalkan ini semua. Namun ia belum yakin betul. Ia butuh waktu lebih lama untuk memikirkan hal ini. Amira yang telah siap untuk kembali ke ruma
Bobot tubuh Amira seakan tak terasa berat bagi Wisma. Ia begitu menikmati setiap langkahnya memeluk tubuh Amira. Sambil sesekali ia menatap ke arah wajah Amura. Yang menurutnya semakin lama, ia semakin cantik. "Kau sungguh membuatku tak bisa berkonsentrasi Amira." Wisma berbicara sendiri didalam hatinya. Langkahnya semakin ia percepat. Ia tak mau terlalu lama didalam bayangan Amira. Begitupun Amira yang merasa sangat gugup dengan sikap manis Wisma. Ia merasa sangat salah tingkah. "Aku berat yah ?" Tanyanya polos. Wisma hanya menggeleng pelan. "Aku suka berat badanmu." celetuk Wisma. Ia memang selalu berhasil membuat Amira salah tingkah. Wisma menidurkan tubuh Amira. Dan memperbaiki posisinya. Dengan sangat telaten, Wisma memperlakukan Amira begitu istimewa. "Andai suamiku seperti ini." Gumam Amira dalam hatinya. Ia sungguh mendambakan Herman bisa bersikap seperti itu padanya. Namun, itu hanya mimpi. Yang pada kenyataannya, Ia tak seromantis Wisma. Setelah Amira tidur dengan posisi
"Aku bisa saja merebut Amira darimu, jika aku mau. Tapi aku bukanlah dirimu yang mngedepankan ego sendiri. Bagiku, melihat Amira berbahagia, itu lebih dari cukup. Karena memang itulah tujuanku." Jawaban Wisma membuat Herman diam seribu bahasa. Ia benar benar mngunci rapat mulut Herman dalam satu jawaban. Memang sifat Wisma sangat jauh berbeda dari Herman. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya untuk memiliki Amira, sedangkan dia bisa saja untuk melakukan itu jika ia mau. Herman langsung mengalihkan pembicaraannya. Kini ia tak lagi membahas Amira. "Jadi untuk selanjutnya, apa yang akan kalian lakukan untuk membebaskanku?" Herman bertanya kembali pada Wisma dan Andi. "Anda hanya tinggal duduk manis saja, nanti akan ada lawyer pilihanku yang mengurus semuanya." ucap Wisma tenang. Pembawaan Wisma yang tenang dan berkharisma, menjadikan Herman merasa canggung berada didekat Wisma.G "Ba- baiklah..aku serahkan semuanya padamu!!" ucap Herman. Kemudian seorang polisi menghampiri
Ditengah perjalanan, ia membeli sebuah parsel, dan sebuh bucket bunga mawar. Ia akan memberikannya oada Amira. Tak lupa, ia membelikan mainan untuk Vino. Ia gunakan kesempatan ini, karena menurutnya, setelah nanti Amira kembali dengan Herman, ia tak mungkin lagi bisa seenaknya beetandang kerumah Amira. Ia memilih milih bunga yang akan dijadikan bucket. Dipilihnya beberapa mawar berwarna putih dan pink. Diciumnya bunga itu. Semerbak wanginya membuatnya tenang. "Aku yakin, kau akan suka ini Amira." Gumamnya pelan. Ia lengkungkan senyum dibibirnya. Kemudian ia menyerahkan bunga pilihannya pada karyawan di florist itu. Setelah semua selesai, ia melanjutkan kembali perjalanannya. Sambil terus tersenyum, sesekali ia mencium wangi bunga itu. Ia akan membawa kabar baik utnuk Amira, dan membawa beberapa hadiah untuknya. Tak lama, ia sampai. Dikihatnya Amira tengah duduk diatas ayunan ditama depan rumahnya. "Sungguh indah istri orang." Ia bergumam sendiri. Memandang Amira yang nampak
"Sebenarnya aku tak berniat kemari, ini semua rencana Wisma." Jawab Amira. Masih dengan tangan yang saling bermain diatas meja. Herman menghela nafas kecewa. Sungguh bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Apa kau bisa meninggalkan kami berdua saja Wisma?" Herman mencoba mengingtkan Wisma, kalau dirinya sedang ingin berdua dengan istri tercintanya itu. Wisma hanya melirik tajam. Rasa cemburu menjalar dihatinya. Tapi bukankah ini merupakan idennya? "Baiklah..aku akan keluar, kau panggil saja aku jika ada apa apa." Ucap Wisma sambil berlalu keluar dari ruangan besuk. Dengan terpaksa, ia keluar darisana. Ia faham betul, kalau Herman kini sangat merindukan Amira. Andai ini bukan dikantor polisi, mungkin entah apa yang akan Herman lakukan untuk meluapkan rasa rindunya itu. Tetiba tangan Herman memegang tangan lembut Amira. Ia menggengam erat tangan halus itu. Tangan yang dulu selalu menghangatkannya. Yang lama tak ia sentuh, kini bisa ia sentuh kembali. Ia memegang tangan Amira sa
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang