Ditengah perjalanan, ia membeli sebuah parsel, dan sebuh bucket bunga mawar. Ia akan memberikannya oada Amira. Tak lupa, ia membelikan mainan untuk Vino. Ia gunakan kesempatan ini, karena menurutnya, setelah nanti Amira kembali dengan Herman, ia tak mungkin lagi bisa seenaknya beetandang kerumah Amira. Ia memilih milih bunga yang akan dijadikan bucket. Dipilihnya beberapa mawar berwarna putih dan pink. Diciumnya bunga itu. Semerbak wanginya membuatnya tenang. "Aku yakin, kau akan suka ini Amira." Gumamnya pelan. Ia lengkungkan senyum dibibirnya. Kemudian ia menyerahkan bunga pilihannya pada karyawan di florist itu. Setelah semua selesai, ia melanjutkan kembali perjalanannya. Sambil terus tersenyum, sesekali ia mencium wangi bunga itu. Ia akan membawa kabar baik utnuk Amira, dan membawa beberapa hadiah untuknya. Tak lama, ia sampai. Dikihatnya Amira tengah duduk diatas ayunan ditama depan rumahnya. "Sungguh indah istri orang." Ia bergumam sendiri. Memandang Amira yang nampak
"Sebenarnya aku tak berniat kemari, ini semua rencana Wisma." Jawab Amira. Masih dengan tangan yang saling bermain diatas meja. Herman menghela nafas kecewa. Sungguh bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Apa kau bisa meninggalkan kami berdua saja Wisma?" Herman mencoba mengingtkan Wisma, kalau dirinya sedang ingin berdua dengan istri tercintanya itu. Wisma hanya melirik tajam. Rasa cemburu menjalar dihatinya. Tapi bukankah ini merupakan idennya? "Baiklah..aku akan keluar, kau panggil saja aku jika ada apa apa." Ucap Wisma sambil berlalu keluar dari ruangan besuk. Dengan terpaksa, ia keluar darisana. Ia faham betul, kalau Herman kini sangat merindukan Amira. Andai ini bukan dikantor polisi, mungkin entah apa yang akan Herman lakukan untuk meluapkan rasa rindunya itu. Tetiba tangan Herman memegang tangan lembut Amira. Ia menggengam erat tangan halus itu. Tangan yang dulu selalu menghangatkannya. Yang lama tak ia sentuh, kini bisa ia sentuh kembali. Ia memegang tangan Amira sa
Sehari setelah membesuk Herman bersama Amira, kini Wisma datang kembali bersama dengan seorang pengacara pribadinya. Pengacara itulah yang nanti akan membantu proses pengadilan Herman. "Ini orang yang akan memperjuangkanmu besok. Herman menyodorkan tangannya pada pengacara itu untuk diajak Bersalaman."Senang bekerja sama dengan Anda."Ucap Herman sembari memegang tangan pengacara itu. "Semoga kita bisa menjadi partner tidak hanya untuk kasus ini." Balas pengacara itu kembali. Mereka saling berpegang tangan, dan mengeratkan pegangannya. Lama mereka berbincang, sepertinya ada chemistry yang kuat diantara mereka. Itu menjadi sebuah kabar baik, karena mungkin ke depannya Herman akan terus menggunakan jasanya dalam segala kasusnya. Wisma dan engacaranya berpamitan. Mereka akan bertemu lagi besok. Di acara persidangan. Sedangkan Amira, yang kini tengah sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawanya besok. Ia akan membesuk Herman kembali, setelah pulang dari persidangan percera
Kalau begitu, hubungi Andi saja nyonya, kita tak bisa berhenti begitu saja, mereka membawa senjata tajam Sedsngkan kita hanya perempuan semua." Tantri memberi instruksi pada Amira, yang malah kebingungan menghubungi siapa. Suasana semakin tegang. Mereka saling berpegang tangan. Atika dan Dhina semakin mengeratkan pelukan mereka pada anak anak Amira, yang terus menangis, menambah ketegangan suasana. "Semua tak bisa dihubungi ,kita hubungi siapa lagi ini?" Amira panik bukan main. Ia bahkan tak bisa berfikir jernih. Harus pada siapa ia minta tolong saat ini. Sedangkan mobil itu yang semakin mendekati mereka. Tiba tiba ia ingat akan Parman. Ya..sopirnya yang dulu pernah membantunya, semoga saja bisa membantunya lagi. Karena memang hanya dia harapan mereka saat ini. "Hallo nyonya, ada apa?" suara Parman dibalik ponsel Amira. "Parman kau dimana? apa kau bisa membantuku? aku saat ini sedang berada dijalan x. Kami akan pergi ke tempat sidang Herman, tetapi ada segerombolan lelaki, y
Sidang telah usai. Dan Herman ditetapkan bebas dari tuduhan yang dilayangkan. Kini ia bisa menghirup udara bebas kembali. Sungguh indah hidupnya kali ini. Takdir sedsng berpihak padanya. Perceraiannya dibatalkan, dan dia kini bebas dari tuduhan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan. Herman tersenyum puas. Ia menoleh ke belakang, dan tampak kini ada Amira, serta kedua anaknya. "Sidang kami tutup sampai disini!""TOK TOK TOK" Palu kini sudah diketuk. Semua yang menyaksikan pun ikut bubar dengan berakhirnya sidang ini. Herman bersalaman dengan pengacaranya. Pun sebaliknya. Ia saling bersalaman dengan semua pengacra disana. Mereka sedikit berbincang tentang suatu hal. "Terimakasih banyak untuk bantuannya. Berkat Anda, saya bisa bebas dari tuduhan ini." Ucap Herman bangga."Ini karena memang anda tak bersalah tuan!" Jawab pengacaranya. Kini mereka berjabat tangan. Dan Herman menatap Amira dari kejauhan. Terukir senyum tipis di bibir indahnya. Ia menghampiri istrinya, yang sedar
"Pergilah mas..selamatkan Adinda sekarang juga ,ia bisa berbuat nekad!" Perintah Adinda pada Herman, yang sampai saat ini masih memeluknya. Sedsngkan Herman tak peduli sama sekali dengan Adinda. "Tak mungkin aku meninggalkanmu lagi Amira, itu hanya kesalahanku dulu. Aku tak ingin mengulanginya lagi." "Tak penting dengan perasaanku mas, nyawanya lebih penting dari perasaanku." Amira berderai airmata. Sakit yang tak bisa diungkapkan. Membuat Amira hanya bisa berbuat pasrah. Herman sendiri tak tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus mengikuti keinginan Amira? atau tetap bersamanya? Mengingat Adinda yang bisa saja berbuat nekad jika tak dipenuhi keinginannya, kemudian ia melangkah dengan pelan, mencoba mendekati Adinda. "Jangan bermain main dengan senjata itu. Aku akan ikuti apa maumu okey!!" Pinta Herman, yang terus melangkah mendekati Adinda. Langkahnya yang perlahan, kini semakin mendekati Adinda. Dengan satu sergapan saja, Herman kini mengambil Alih senjata yang ada ditang
Mobil yang ditumpangi Amira ,kini sudah sampai dirumah kontrakan Amira. Dengan perlahan,Amira turun dari mobilnya. Ia pulanh dengan membawa luka dalam dihatinya. Sunggu hari ini membuatnya sangat lelah. Lelah hati, fikiran dan tubuhnya. Ia yang berangkat dengan semangatnya, kini pulang dengan wajah kusuh, dan muka yangs semrawut. Langkahnya pun sangat pelan. Ia masih terus terngiang akan kata kaata Adinda tentang hubungan mereka. Tak lama, Herman menyusulnya. Ia keluar mobilnya dengan berlari sekencangnya. Amira yang tak sadar kalau Herman mengikutinya, masih terus berjalan menuju rumahnya. Tiba tiba sebuah tangan memeluknya dari belakang. Tangan kekar yang sudah lama tak ia genggam. Kini berada tepat dipinggangnya. Sambil berbisik pelan ,dan deru nafas yang terengah engah, Herman terus membisikkan kata maaf yang tak hentinya. "Maafkan aku Amira, aku mohon maafkan aku. Kau jangan pernah pergi lagi dariku. Aku sungguh tak sanggup jauh darimu dan anak anak kita." Herman memejam
Adinda kini sudah berada didalam mobil Herman. Ia terus mengembangkan senyumnya. Bahagianya ia bukan main, saat Herman kembali menjemputnya. Ia bwepikiran bahwa Herman masih sangat mencintainya. Buktinya, ja membawanya kembali, dan bahkan sekarang, Herman sanggup berterus terang tentang hubungan mereka pada Amira. Herman sudah berniat untuk menceraikan Adinda, namun Amira menolaknya. Ia tak ingin suaminya itu mejadi lelaki bejad. Yang hanya akan menikmati tubuh wanita itu, saat ia menginginkannya, kemudian membuangnya begitu saja, saat ia sudah bosan. Rencana Amira sungguh diluar batas nalar Herman. Ia tak tahu apa yang sedang Amira sembunyikan darinya. Entah apa yang akan ia lakukan, jika sampai satu rumah dengan Adinda. "Kau akan mengajakku tinggal dirumahmu mas?" Dengan wajah berseri, Adinda bertanya pada Herman yang masih terdiam. Wajahnya tak bersahabat sedikitpun. Ia benci melakukan ini, hanya saja Amira yang menyuruhnya. Sehingga ia tak bisa menolaknya begitu saja. "Ka