Beranda / Romansa / Karma(penyesalan) / Rencana Busuk Adinda

Share

Rencana Busuk Adinda

Penulis: Nadaaulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sehari setelah membesuk Herman bersama Amira, kini Wisma datang kembali bersama dengan seorang pengacara pribadinya. Pengacara itulah yang nanti akan membantu proses pengadilan Herman.

"Ini orang yang akan memperjuangkanmu besok. Herman menyodorkan tangannya pada pengacara itu untuk diajak Bersalaman.

"Senang bekerja sama dengan Anda."Ucap Herman sembari memegang tangan pengacara itu.

"Semoga kita bisa menjadi partner tidak hanya untuk kasus ini." Balas pengacara itu kembali. Mereka saling berpegang tangan, dan mengeratkan pegangannya.

Lama mereka berbincang, sepertinya ada chemistry yang kuat diantara mereka. Itu menjadi sebuah kabar baik, karena mungkin ke depannya Herman akan terus menggunakan jasanya dalam segala kasusnya. Wisma dan engacaranya berpamitan. Mereka akan bertemu lagi besok. Di acara persidangan.

Sedangkan Amira, yang kini tengah sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawanya besok. Ia akan membesuk Herman kembali, setelah pulang dari persidangan percera
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma(penyesalan)   Sidang pembebasan

    Kalau begitu, hubungi Andi saja nyonya, kita tak bisa berhenti begitu saja, mereka membawa senjata tajam Sedsngkan kita hanya perempuan semua." Tantri memberi instruksi pada Amira, yang malah kebingungan menghubungi siapa. Suasana semakin tegang. Mereka saling berpegang tangan. Atika dan Dhina semakin mengeratkan pelukan mereka pada anak anak Amira, yang terus menangis, menambah ketegangan suasana. "Semua tak bisa dihubungi ,kita hubungi siapa lagi ini?" Amira panik bukan main. Ia bahkan tak bisa berfikir jernih. Harus pada siapa ia minta tolong saat ini. Sedangkan mobil itu yang semakin mendekati mereka. Tiba tiba ia ingat akan Parman. Ya..sopirnya yang dulu pernah membantunya, semoga saja bisa membantunya lagi. Karena memang hanya dia harapan mereka saat ini. "Hallo nyonya, ada apa?" suara Parman dibalik ponsel Amira. "Parman kau dimana? apa kau bisa membantuku? aku saat ini sedang berada dijalan x. Kami akan pergi ke tempat sidang Herman, tetapi ada segerombolan lelaki, y

  • Karma(penyesalan)   Adinda Nekad

    Sidang telah usai. Dan Herman ditetapkan bebas dari tuduhan yang dilayangkan. Kini ia bisa menghirup udara bebas kembali. Sungguh indah hidupnya kali ini. Takdir sedsng berpihak padanya. Perceraiannya dibatalkan, dan dia kini bebas dari tuduhan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan. Herman tersenyum puas. Ia menoleh ke belakang, dan tampak kini ada Amira, serta kedua anaknya. "Sidang kami tutup sampai disini!""TOK TOK TOK" Palu kini sudah diketuk. Semua yang menyaksikan pun ikut bubar dengan berakhirnya sidang ini. Herman bersalaman dengan pengacaranya. Pun sebaliknya. Ia saling bersalaman dengan semua pengacra disana. Mereka sedikit berbincang tentang suatu hal. "Terimakasih banyak untuk bantuannya. Berkat Anda, saya bisa bebas dari tuduhan ini." Ucap Herman bangga."Ini karena memang anda tak bersalah tuan!" Jawab pengacaranya. Kini mereka berjabat tangan. Dan Herman menatap Amira dari kejauhan. Terukir senyum tipis di bibir indahnya. Ia menghampiri istrinya, yang sedar

  • Karma(penyesalan)   Amira Kecewa

    "Pergilah mas..selamatkan Adinda sekarang juga ,ia bisa berbuat nekad!" Perintah Adinda pada Herman, yang sampai saat ini masih memeluknya. Sedsngkan Herman tak peduli sama sekali dengan Adinda. "Tak mungkin aku meninggalkanmu lagi Amira, itu hanya kesalahanku dulu. Aku tak ingin mengulanginya lagi." "Tak penting dengan perasaanku mas, nyawanya lebih penting dari perasaanku." Amira berderai airmata. Sakit yang tak bisa diungkapkan. Membuat Amira hanya bisa berbuat pasrah. Herman sendiri tak tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus mengikuti keinginan Amira? atau tetap bersamanya? Mengingat Adinda yang bisa saja berbuat nekad jika tak dipenuhi keinginannya, kemudian ia melangkah dengan pelan, mencoba mendekati Adinda. "Jangan bermain main dengan senjata itu. Aku akan ikuti apa maumu okey!!" Pinta Herman, yang terus melangkah mendekati Adinda. Langkahnya yang perlahan, kini semakin mendekati Adinda. Dengan satu sergapan saja, Herman kini mengambil Alih senjata yang ada ditang

  • Karma(penyesalan)   Permintaan Amira

    Mobil yang ditumpangi Amira ,kini sudah sampai dirumah kontrakan Amira. Dengan perlahan,Amira turun dari mobilnya. Ia pulanh dengan membawa luka dalam dihatinya. Sunggu hari ini membuatnya sangat lelah. Lelah hati, fikiran dan tubuhnya. Ia yang berangkat dengan semangatnya, kini pulang dengan wajah kusuh, dan muka yangs semrawut. Langkahnya pun sangat pelan. Ia masih terus terngiang akan kata kaata Adinda tentang hubungan mereka. Tak lama, Herman menyusulnya. Ia keluar mobilnya dengan berlari sekencangnya. Amira yang tak sadar kalau Herman mengikutinya, masih terus berjalan menuju rumahnya. Tiba tiba sebuah tangan memeluknya dari belakang. Tangan kekar yang sudah lama tak ia genggam. Kini berada tepat dipinggangnya. Sambil berbisik pelan ,dan deru nafas yang terengah engah, Herman terus membisikkan kata maaf yang tak hentinya. "Maafkan aku Amira, aku mohon maafkan aku. Kau jangan pernah pergi lagi dariku. Aku sungguh tak sanggup jauh darimu dan anak anak kita." Herman memejam

  • Karma(penyesalan)   Kedatangan Amira

    Adinda kini sudah berada didalam mobil Herman. Ia terus mengembangkan senyumnya. Bahagianya ia bukan main, saat Herman kembali menjemputnya. Ia bwepikiran bahwa Herman masih sangat mencintainya. Buktinya, ja membawanya kembali, dan bahkan sekarang, Herman sanggup berterus terang tentang hubungan mereka pada Amira. Herman sudah berniat untuk menceraikan Adinda, namun Amira menolaknya. Ia tak ingin suaminya itu mejadi lelaki bejad. Yang hanya akan menikmati tubuh wanita itu, saat ia menginginkannya, kemudian membuangnya begitu saja, saat ia sudah bosan. Rencana Amira sungguh diluar batas nalar Herman. Ia tak tahu apa yang sedang Amira sembunyikan darinya. Entah apa yang akan ia lakukan, jika sampai satu rumah dengan Adinda. "Kau akan mengajakku tinggal dirumahmu mas?" Dengan wajah berseri, Adinda bertanya pada Herman yang masih terdiam. Wajahnya tak bersahabat sedikitpun. Ia benci melakukan ini, hanya saja Amira yang menyuruhnya. Sehingga ia tak bisa menolaknya begitu saja. "Ka

  • Karma(penyesalan)   Tinggal satu Rumah

    Mereka sudah sampai dirumah Herman. Amira lansgung turun dari mobilnya. Ia menatap rumah yang sudah hampir 1 tahun tak ia tempati lagi. Matanya mengelilingi sekitar rumah. Taman yang biasanya terjaga rapi, dan rumput hijau yang selalu ia rawat, kini tak adalagi. Semua terlihat sangat usang. Sejak kepergian Amira dari rumah Herman, Suasana rumah itu menjadi mengerikan. Tak adalagi air mengalir ditaman, tak adalagi bunga bunga warna warni, yang biasa Amira rawat. Semua hilang bersama perginya Amira. Dan kini Amira telah kembali. Ia akan mengembalikan semua yang pernah hilang dari rumah ini. Seperti kisah cintanya yang saat ini usang, ia akan berusaha kembali merajut kisah mereka, yang sebenarnya sangat sulit dan butuh waktu lama untuk mengembalikannya seperti semula. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun langkahnya terhenti, saat ia menatap ke arah balkon, disana tengah berdiri seorang wanita yang menatap ke arahnya dengan tatapan yang menusuk. Dialah Adinda. Dengan tanp

  • Karma(penyesalan)   Kegundahan Herman

    "Sudah ku tegaskan padamu, kalau kau disini hanyalah tamu. Aku sengaja membawamu kemari, agar kau mengerti posisimu!!" Amira berkata dengan nada tegas. Sambil merapatkan giginya. Sedangkan kedua tangannya merobek salah satu baju milik Adinda. Melihat Amira yang dengan beraninya merobek baju miliknya, Adinda semakin tersulut emosinya. Ia berdiri, dan mendekati Amira. Tangannya sudah bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan manis untuk Amira. Namun dengan sekali tangkap, Amira mampu menangkis tangan Adinda yang kini sudah dekat dengan pipinya. "Jangan coba kau untuk menamparku. Kau pikir aku bisa kau kalahkan?" Amira membuang tangan Adinda dengan kasar. Hal itu membuat Adinda semakin memanas. Ia mencoba menjambak rambut Amira. Namun sebuah teguran keras membuatnya menghentikan sikapnya. "Hentikan!!" Kau berani beraninya menampar Amira dirumahnya sendiri?" Tangan kasar Herman menghentikan sergapan tangan Adinda, yang sebentar lagi akan mendarat di pipi Amira. Amira semakin m

  • Karma(penyesalan)   Rencana Perangkap Herman

    Seketika, Andi mendapatkan ide yang menurutnya bisa menjadi jalan keluar untuk masalah yanh dihadapi tuannya itu. Masalah hati sungguh lebih pelik dari urusan kantornya. "Hmm..istri kedua anda adalah seorang player. Ia bahkan bisa dengan mudah tergoda oleh lelaki lain, yang bisa memuaskannya." Terang Andi, sambil ia membayangkan, saat dimana Adinda merayunya tanpa rasa malu. Herman berpikir keras. Ia heran, kenapa Andi bisa mengetahui sifat istrinya itu. Ia tak tahu, kalau Adinda pernah merayunya beberapa saat yang lalu. "Darimana kau tahu kalau dia seorang player?" Herman memicingkan sebelah alisnya. Andi tersedak saat mendengar tuannya bertanya demikian. Hampir saja dia keceplosan, dan memberitahukan kalau Adinda pernah merayunya. "Apa Anda lupa, dulu anda pernah memergokinya dengan lelaki lain? bahkan anak yang ia kandung bukankah bukan darah daging anda?" Andi mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia takut, kalau sampai Herman akan mengetahui tentang peristiwa tak menyen

Bab terbaru

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

  • Karma(penyesalan)   Menyambut Adinda

    Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"

  • Karma(penyesalan)   Welcome Adinda

    Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal

  • Karma(penyesalan)   Ikhlas Walaupun Berat

    "Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang

DMCA.com Protection Status