"Sudah ku tegaskan padamu, kalau kau disini hanyalah tamu. Aku sengaja membawamu kemari, agar kau mengerti posisimu!!" Amira berkata dengan nada tegas. Sambil merapatkan giginya. Sedangkan kedua tangannya merobek salah satu baju milik Adinda. Melihat Amira yang dengan beraninya merobek baju miliknya, Adinda semakin tersulut emosinya. Ia berdiri, dan mendekati Amira. Tangannya sudah bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan manis untuk Amira. Namun dengan sekali tangkap, Amira mampu menangkis tangan Adinda yang kini sudah dekat dengan pipinya. "Jangan coba kau untuk menamparku. Kau pikir aku bisa kau kalahkan?" Amira membuang tangan Adinda dengan kasar. Hal itu membuat Adinda semakin memanas. Ia mencoba menjambak rambut Amira. Namun sebuah teguran keras membuatnya menghentikan sikapnya. "Hentikan!!" Kau berani beraninya menampar Amira dirumahnya sendiri?" Tangan kasar Herman menghentikan sergapan tangan Adinda, yang sebentar lagi akan mendarat di pipi Amira. Amira semakin m
Seketika, Andi mendapatkan ide yang menurutnya bisa menjadi jalan keluar untuk masalah yanh dihadapi tuannya itu. Masalah hati sungguh lebih pelik dari urusan kantornya. "Hmm..istri kedua anda adalah seorang player. Ia bahkan bisa dengan mudah tergoda oleh lelaki lain, yang bisa memuaskannya." Terang Andi, sambil ia membayangkan, saat dimana Adinda merayunya tanpa rasa malu. Herman berpikir keras. Ia heran, kenapa Andi bisa mengetahui sifat istrinya itu. Ia tak tahu, kalau Adinda pernah merayunya beberapa saat yang lalu. "Darimana kau tahu kalau dia seorang player?" Herman memicingkan sebelah alisnya. Andi tersedak saat mendengar tuannya bertanya demikian. Hampir saja dia keceplosan, dan memberitahukan kalau Adinda pernah merayunya. "Apa Anda lupa, dulu anda pernah memergokinya dengan lelaki lain? bahkan anak yang ia kandung bukankah bukan darah daging anda?" Andi mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia takut, kalau sampai Herman akan mengetahui tentang peristiwa tak menyen
Adinda terlihat sangat kecewa, saat usahanya untuk menyediakan makanan tak dihargai Herman. Makanan yang banyak, dengan segala ragam, ia lewati begitu saja. Tanpa ia menyentuhnya sedikitpun. Amira melirik sinis pada Adinda. Yang mengerucutkan bibirnya."Kau lihat kan? dia tak tertarik dengan hidanganmu!" Ucap Amira, sambil melengos meninggalkan Adinda yang berdiri dalam kekecewaannya. Melihat Amira yang berjalan menyusul Herman, Adinda semakim marah. "Hai...mau kemana kau?" Amira hanya menoleh, lalu melambaikan tangannya dengan menang pada Adinda. Ia kini tengah menyusul suaminya ke kamar. Dalam hatinya, ia bersorak kegirangan karena bisa mengalahkan Adinda. Dan membuat Herman tak berpaling pada masakan yang Adinda masak. "Maaas.." Amira masuk kamar, dan mendapati Herman sedang tidur meringkuk. Ia nampak tidak bersemangat."Hmm...iya, masuklah!""Kau darimana saja mas? kenapa kau tak bilang padaku kalau mau pergi?""Apa kau peduli?""Kenapa kau bilang begitu? tentu saja aku
Herman kini tengah mandi. Ia yang merasa kesal karena keinginannya tak terpenuhi. Ia gagal melakukan hubungan yang sudah lama ia mimpikan dengan Amira. "Aah..aku sangat kesal. Harusnya tadi aku sudah melakukannya dengan Amira." Ia terus mengguyur tubuhnya yang terasa panas, karena menahan hasratnya.Dengan terpaksa, ia menuntaskan keinginannya itu sendirian. "Aku memilki dua istri, namun untuk hal ini saja, aku harus menyelesaikannya sendiri. Sungguh miris hidupku." Herman menggerutu kesal. Ia meratapi nasibnya yang buruk. Selepas mandi, ia bergegas memakai pakaiannya kembali. Sebentar lagi, Andi akan datang bersama lelaki yang akan menggoda Adinda. Ia harus menyiapkan strategi agar Adinda bisa masuk dalam perangkapnya. Barusaja ia selesai berpakaian, Andi sudah berada didepan rumahnya. Ia datang bersama laki laki. Yang dari penampilannya sungguh membuat mata terpukau. Herman saja bisa takjub melihatnya. Sungguh laki laki itu sangat nyaman dipandang. Terutama paras
Mendengar Herman yang menolak Amira untuk ikut kerjasama bersama Denis, Amira semakin merasa kecewa. Dia mengira kalau Herman tak ingin dirinya merasa teeganggu dengan ikutnya Amira didalamnya. "Anda dengar sendiri tuan, kalau suamiku melarangku untuk aku ikut andil dalam proyek ini ,jadi saya permisi dulu. Tutur Amira dengan berapi api. Salah Herman, yang tak berterus terang dari awal, sehingga menimbulkam salah paham diantara mereka. Dengan emosi, Amira pergi dan keluar dari ruang kerja Herman. Dia menahan rasa kecewa yang teramat sangat. Dia masuki kamarnya. Dan menidurkan dirinya dikasur empuknya itu. Sedangkan Herman, yang melihat Amira berubah mimik mukanya, ia tahu, kalau Istri pertamanya itu sedang marah padanya. Dengan segera, ia menyusul Amira. Dan pergi dari ruangannya. "Aku permisi dulu, nanti aku kemari lagi." Ucap Herman yang langsung mengejar Amira. "Amira, buka pintunya!" Tak ada sahutan dari Amira. Sekali lagi Herman mengetuk pintunya."Amira...ayolah jangan
"Sudah aku jelaskan padamu sayang, kalau aku sangat amat membencinya." Herman kembali memeluk kembali istrinya. Entah kenapa, hari ini, ia ingin sekali terus memeluk istrinya. Rasa hangat dan nyaman yang disalurkan oleh istrinya, membuatnya merasa tak ingin berjauhan dengan istrinya. "Mas...sudah malam, apa kau belum mengantuk? besok aku harus mulai kembali mengecek toko, sudah lama aku tak mengunjungi toko. Aku rindu mas." Ucap Amira manja. "Jangan dulu tidur, kau sudah berjanji akan melayaniku malam ini. Kau harus menepati janjimu sayang." Herman menggoda Amira. Ia yang sejak siang menahan keinginannya, akhirnya memberanikan dirinya untuk berterus terang pada Amira. Tentu saja Amira tak mungkin menolaknya, yang sebenarnya, ia pun merindukan kehangatan dari Herman. Hanya saja sebagai seorang perempuan, ia malu untuk mengungkapkannya lebih dulu. Herman segera mematikan lampu kamarnya. Dan selanjutnya, mereka terhanyut dalam suasana malam yang dingin, yang membuat mereka sem
"Sungguh wanita itu selalu membuat masalah." Gerutu Andi, yang merasa direpotkan oleh Adinda. Setelah semalaman dia mengurus Adinda, pagi ini ia merasa masih sangat mengantuk. Sedangkan Herman dia merasa segar pagi ini. Karena aktifitasnya semalam. Melihat Andi yang masih tidur, Herman memnangungkannya. Hari ini ia akan memulai kembali aktifitasnya. Pergi ke kantor seperti biasa. "Bangunlah! sudah siang ini..!" Herman membangunkan Andi yang masih tidur meringkuk. Sedangkan Denis yang semalam pulang, belum kembali datang kerumah Herman. Hari ini adalah hari dimana rencana mereka bertiga akan dilakukan. Andi dan Herman akan berangkat bersama, sedangkan Adinda yang akan dijemput oleh Denis. Andi membuka matanya pelan. Dikedipkan matanya pelan. Sorot sinar matahari membuat matanya pegal. Sehingga dengan terpaksa, ia membuka matanya yang sebenarnya masih ingin ia pejamkan. "Oh..tuan sudah bangun?" Andi bertanya, sembari bangun dari tidurnya. Dan menggeliatkan tubuhnya. Merenta
"Amira, kau ini kenapa?tanpa sebab kau diamkan aku begitu?" Herman yang benar benar tak mengerti dengan perubahan sikap Amira yang sangat tiba tiba. Seperti itulah perempuan, laki laki harus mengerti walau tak diungkapkan. Laki laki harus faham apa yang diinginkan pasangannya, walaupun ia tak meminta. Herman merasa jengah sendiri. Ia tak tahu harus berbuat apalagi, agar Amira mau mengatakan alasan dibalik kemarahannya. "Baiklah kalau kau tak mau ikut denganku, aku pergi saja," Herman mangancam Amira. Mana mungkin Herman bisa pergi meninggalkan Amira begitu saja. Ia hanya menggertak Amira, agar Amira ikut dengannya. Melihat suasana yang mendung, mungkin diperkirakan akan turun hujan tak lama lagi. Herman hanya khawatir terhadap istrinya itu. Karena tak sabar dengan sikap Amira yang susah sekali diajak naik ke mobilnya, akhirnya Herman mengalah. Ia yang turun, dan memangku tubuh Amira dimasukkannya kedalam mobilnya. Dan dengan cepat, Herman menjalankan mobilnya. Namun, Amira mas
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang