"Sungguh wanita itu selalu membuat masalah." Gerutu Andi, yang merasa direpotkan oleh Adinda. Setelah semalaman dia mengurus Adinda, pagi ini ia merasa masih sangat mengantuk. Sedangkan Herman dia merasa segar pagi ini. Karena aktifitasnya semalam. Melihat Andi yang masih tidur, Herman memnangungkannya. Hari ini ia akan memulai kembali aktifitasnya. Pergi ke kantor seperti biasa. "Bangunlah! sudah siang ini..!" Herman membangunkan Andi yang masih tidur meringkuk. Sedangkan Denis yang semalam pulang, belum kembali datang kerumah Herman. Hari ini adalah hari dimana rencana mereka bertiga akan dilakukan. Andi dan Herman akan berangkat bersama, sedangkan Adinda yang akan dijemput oleh Denis. Andi membuka matanya pelan. Dikedipkan matanya pelan. Sorot sinar matahari membuat matanya pegal. Sehingga dengan terpaksa, ia membuka matanya yang sebenarnya masih ingin ia pejamkan. "Oh..tuan sudah bangun?" Andi bertanya, sembari bangun dari tidurnya. Dan menggeliatkan tubuhnya. Merenta
"Amira, kau ini kenapa?tanpa sebab kau diamkan aku begitu?" Herman yang benar benar tak mengerti dengan perubahan sikap Amira yang sangat tiba tiba. Seperti itulah perempuan, laki laki harus mengerti walau tak diungkapkan. Laki laki harus faham apa yang diinginkan pasangannya, walaupun ia tak meminta. Herman merasa jengah sendiri. Ia tak tahu harus berbuat apalagi, agar Amira mau mengatakan alasan dibalik kemarahannya. "Baiklah kalau kau tak mau ikut denganku, aku pergi saja," Herman mangancam Amira. Mana mungkin Herman bisa pergi meninggalkan Amira begitu saja. Ia hanya menggertak Amira, agar Amira ikut dengannya. Melihat suasana yang mendung, mungkin diperkirakan akan turun hujan tak lama lagi. Herman hanya khawatir terhadap istrinya itu. Karena tak sabar dengan sikap Amira yang susah sekali diajak naik ke mobilnya, akhirnya Herman mengalah. Ia yang turun, dan memangku tubuh Amira dimasukkannya kedalam mobilnya. Dan dengan cepat, Herman menjalankan mobilnya. Namun, Amira mas
Mereka begitu menikmati perjalanan ini. Adinda yang memang sangat mudah untuk jatuh cinta, sehingga dengan mudah ditaklukkan oleh Denis."Kau sudah sarapan Adinda?" Denis mencoba mengakerabkan dirinya dengan wanita disampingnya ini. 'Hmm ... sudah tadi," jawabnya sambil terus tersipu. Ia menyangka, kalau Denis memang benar benar jatuh hati padanya. "Aku belum sarapan, apa kau mau menemaniku untuk sekedar makan pagi?" Denis mulai melancarkan aksinya. Dia ingin tahu apa jawaban yang diberikan Adinda. "Tentu saja boleh... bahkan aku bisa menemanimu lebih dari itu," "Maksudmu""Ooh...ee..ee..tidak, maksudku adalah, jika kau mau aku menemanimu yang lain, aku juga bisa," "Yang lain? contohnya?" Denis mulai memojokkan Adinda. Ternyata benar. Mudah bahkan sangat mudah memdapatkan simpati dari Adinda. "Aah..untuk kali ini, mungkin aku hanya butuh menemanimu sekedar makan saja, tapi lain waktu...aku tak jamin jika aku mengharapkanmu yang lebih," Adinda yang mendengar penuturan Denis,
Tak terasa, waktu yang mereka habiskan sudah hampir dua jam, hanya sekedar makan bersama. Kini mereka sedikitnya saling mengenal. Timbul perasaan berbeda pada Adinda untuk Denis. Mungkin ini awal dari rasa cinta. Sedangkan Herman, dia mencari keberadaan Adinda. Karena ulah Adinda lah, kini Amira marah padanya. Ia akan membuat perhitungan pada Adinda, atas semua perkataan bohongnya pada Amira. Dikunjunginya ruangan Adinda, namun tak nampak ia berada disana. Kemudian, ia datangi ruangan Andi, dimana Denis harusnya pun berada disana. "Andi, apa kau tahu dimana Adinda berada?""Daritadi aku disini mengerjakan banyak hal, aku tak tahu menahu tentang perempuan itu," tutur Andi. Ia yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya. Tak tahu kemana perginya Adinda. "Mungkin sedang berkencan dengan Denis," celetuknya lagi. Ia bisa berkata begitu, karena sampai sekarang, Denis tak nampak batang hidungnya. Sedangkan menurut kabar yang ia terima dari staf lain, kalau Denis sudah sampai sejak
Spontan, tangan Adinda memeluk tubuh Denis. Ia memejamkan matanya, merasakan kehangatan tubuh laki laki didepannya itu. Di tenggelamkannya kepalanya di dada milik Denis. Begitupun tangan Denis, ia sama melingkarkan tangannya dipinggang Adinda. Mereka saling menyalurkan kehangatan dan kenyamanan. "Terimakasih untuk semuanya. Kita baru saling mengenal, tetapi aku sudah merasa nyaman denganmu," Adinda mengungkapkan isi hatinya. Ia benar benar merasa nyaman, walaupun mereka baru saling kenal beberapa hari saja. Kini mereka saling terlelap dalam dekapan pasangannya. Sampai mereka tak sadar, ada dua pasang mata yang tengah memperhatikan mereka. Ya .. dia Andi. Ia yang awalnya ingin menanyakan kemajuan rencananya tentang Adinda dan dirinya, namun tanpa ditanyakan, ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, kalau Denis sudah berhasil mengambil hati Adinda. Entah Denis yang susah terampil dalam menggoda perempuan, atau karena Adinda yang mudah dirayu. Yang jelas, kini mereka sa
Adinda dengan memakai handuknya, keluar dari kamar mandi, dengan sangat pelan. Ia jinjitkan kakinya, agar jalannya tak mengeluarkan suara berisik. Ia tak mau kalau sampai Denis terbangun karenanya. Dengan berjalan tanpa suara, ia mendekati kopernya, yang kebetulan berada disamping Denis. Semakin ia mendekat, wangi aroma sabun yang ia gunakan, semakin tercium oleh hidung Denis. Ia mengendus wangi itu. Wangi segar yang keluar dari tubuh Adinda. Tiba tiba, saat Adinda jongkok, mengambil pakainnya didalam koper, suara resletingnya yang tak bisa ia pelankan. Membuat Denis terbangun. Perlahan ia kedipkan matanya. Sampai beberapa kali ia kucek matanya. Barulah ia ingat, kalau didepannya ada Adinda yang tanpa memakai baju. Ia hanya mengenakan handuk sebatas dada, dan seatas lutut. Tubuhnya kini terekspose lebih jelas. Pundak dan punggung yang mulus, yang biasa ia lihat tertutup baju, kini ia lihat secara langsung. Ia menelan salivanya. Membayangkan hal jorok yang tiba tiba muncul beg
"Denis ... Denis," panggilnya didepan pintu kamar milik Denis. Semenit, dua menit,.. sampai lima menit lebih tak ada sahutan dari Denis. "Hmmm... mungkin dia sedang berada di kamar mandi," pikirnya. Namun sudah setengah jam berlalu, Denis belum juga membuka pintu kamarnya. Akhirnya Adinda mulai penasaran, ia coba menghubungi nomor ponsel Denis, namun nomornya tidak aktif. Kembali ia mengetok pintu kamar Denis. Sampai akhirnya satu jam berlalu, orang yang dihampirinya tak kunjung membuka pintu untuknya. Kesabaran Adinda kini mulai hilang. Ia memanggil pelayan hotel, dan menanyakan tentang keberadaan Denis. "Mas, orang yang tidur dikamar nomor 24 sedang kemana yah kira kira? barangkali Anda melihatnya?" tanyanya pada pelayan itu. "Sebentar bu, biar saya cek dulu. Pelayan itu melihat data para tamu yang masih berada dihotel itu. Dicarinya tamu yang bernama Denis. Namun ia tak menemukan nama itu. Disana tertulis jika Denis sudah check out dari hotel beberapa jam yang lalu. "Maaf
Amira kini termenung dikamarnya sendirian, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri, yang tak pernah mempercayai perkataan suaminya. Justru ia malah lebih percaya dengan kata kata Adinda. Perkataan Adinda memang selalu membuatnya yakin. "Sekarang mas Herman marah padaku. Apa yang harus aku lakukan?" Amira terus berpikir. Ia mencoba mencari solusi tentang masalahnya ini. Namun tiba tiba, perutnya terasa lapar. Ia kini menuju ruang makan. Diambilnya nasi dan lauk yang sudah tersedia, makanan yang sudah ia siapkan untuk Herman, kini hanya menjadi pajangan. Herman yang sedang tak berselera untuk makan, membiarkan makanannya begitu saja. Amira makan sambil tampak berpikir. Ia melamunkan hubungannya dengan Herman. Begitu banyak cerita yang sudah mereka lalaui berdua. Banyak suka dan duka yang sudah mereka lewati. Tapi baru kali ini, ia merasakan permasalahan yang sangat rumit. Dimana ketika Adinda mulai memasuki kehidupan mereka. Saat Amira sedang termenung, menikmati lamunannya, Tiba tib