Sambil bergetar, Adinda mengambil teh yang diberikan Andi. Ia tak menyangka, kalau orang sedingin Andi, bisa bersikap lembut dan hangat kepadanya. Sambil terus melirik menatap Andi. Ia merasa malu sendiri, karena sikapnya yang tak pernah ramah padanya. "Terimakasih untuk teh nya," ucap Adinda pelan. Andi kemudian berdiri, dan mengambil obat pusing, lantas ia memberikannya pada Adinda. "Minumlah obat ini ,kau masih pusing bukan?" tanya Andi lagi. Entah mengapa Andi ingin terus memperhatikan Adinda. Ia mulai berasa khawatir saat melihat Adinda yang tak baik baik saja. "Tak perlu, nanti juga sembuh sendiri," Adinda mencoba menolak perhatian yang diberikan oleh Andi. "Aku tak biasa minum obat sembarangan, jadi simpan saja," Adinda menyuruh Andi menyimpan kembali obat yang ia berikan ketempatnya. Baiklah kalau begitu," Andi menaruh kembali obat yang ia bawa, dan menyimpannya kembali dikotak obat. "Kau semalam habis darimana?" Andi bertanya pada Adinda. Sedangkan Adinda hanya diam
"Mas, ada yang mengetuk pintu," ucap Amira pada Herman. Herman terdiam, mendengarkan dengan seksama, ia memastikan apa benar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ternyata memang benar, suara ketukan itu dari pintu utama. "Biar aku saja yang membukanya," ucap Herman, dan langsung turun dari ranjangnya, lalu menuju ke arah pintu. "Ceklek" pintu terbuka,Kini terlihat jelas, siapa dihadapannya. Adinda yang berdiri sambil tertunduk, dan Andi yang berdiri tegap."Kalian, kenapa bisa bareng begini?" tanya Herman kaget. "Ceritanya panjang tuan, nanti aku ceritakan, aku harus kembali ke kantor," ucapnya sambil membungkukkan badannya."Kau sudah pergi ke kantor? memangnya ini jam berapa?" "Jam 9 tuan, ini sudah siang," jawab Andi lagi, sambil menunjukkan jam ditangannya. Herman kaget mendengarnya. Ia segera kembali kedalam, tanpa menghiraukan, ataupun bertanya pada Adinda sepatah kata pun. Adinda hanya menunduk malu. Sebenarnya ia merasa malu harus kembali kerumah Herman, namun ia belum
Mendengar nama Adinda, Herman tiba tiba merasa malas. Ia sangat tak ingin mendengar nama itu lagi. Namun dia menghargai istrinya, akhirnya ia mencoba bersikap ramah, "Ada apa dengan wanita itu sayang? apa dia membuat masalah lagi?" tanya Herman dengan malas."Tidak sayang, tapi dia sakit, dia sakit parah. Aku sudah memanggil dokter Dhani, tapi dia belum datang sampai sekarang," Amira yang panik, tak bisa mengatur pola bicaranya. Ia terus saja berbicara tanpa jeda. "Paling dia sakit biasa sayang, tak usah panik lah!" tutur Herman pada Amira, yang terus menceritakan Adinda. "Kumohon sayang, pulanglah ... aku tak bisa menunggunya sendirian, aku takut akan terjadi apa apa padanya," Amira menjelaskan dengan lemah. Ia sangat ketakutan melihat keadaan Adinda yang semakin parah. Sedangkan Dokter Dhani yang belum juga datang, membuatnya semakin panik dan ketakutan.* "Baiklah, tunggulah disana, aku segera pulang," Ujar Herman, dan langsung membereskan semua barang yang ia bawa tadi. Deng
Lama sudah mereka menunggu diluar. Dokter yang menangani pun belum juga keluar. Suasana yang paling tak disukai keluarga pasien saat mereka harus menunggu kabar tentang keadaan pasien. Sudah berapa kali Amira berganti posisi sejak menunggu Adinda. Hatinya sungguh cemas dan khawatir. Ia terus mondar mandir. Berharap keadaan kritis Adinda akan segera berakhir. "Sayang, tenang lah ... kau duduk saja, jangan panik begitu!" tegur Herman pada Amira yang sedari tadi tak bisa diam. Seperti sebuah setrika lebih tepatnya. Ia merasa tak nyaman dengan keadaan Adinda. Tiba tiba suara ponsel Amira berbunyi. Telepon masuk dari karyawannya di toko. "Iya Nania ada apa?" Amira menjawab panggilan masuknya di ponsel. "Ibu kira kira tiba jam berapa di toko?" Tanya Nania pada Amira. Mereka sudah kewalahan di toko. Selain banyak pelanggan yang datang, banyak pula yang memesan kue dari tokonya ,sedangkan semua karyawan sudah memegang tugas masing masing. "Sepertinya aku tak datang dulu ke toko, k
Herman semakin panik mendengar jawaban dari tetangga toko Amira tersebut. Ia semakin tak karuan. Dicobanya untuk menghubungi nomor milik Amira. "Nomor telepon yang anda tuju sedang tidak aktif," selalu begitulah jawaban dari nomor Amira. Herman seakan kehilangan arah. Ia yang sedang tak enak pikiran, bertambah kacau. Ketakutannya akan kehilangan Amira, kini ternyata harus dia alami. Istrinya yang tadi masih komunikasi dengannya, dengan tiba tiba menghilang tak berjejak. "Amira... kau jangan membuatku takut Amira, kumohon kemana kah engkau?" Jantung Herman sudah tak beraturan lagi. Langkahnya ia percepat, semua lorong sudah ia telusuri. Bahkan, ia sudah mampir ke beberapa toko disana, untuk menanyakan keberadaan istrinya itu. Namun semua memberikan jawaban yang sama. Tak aa yang melihat keberadaan Amira. Seketika, Herman ambrukkan tubuhnya di lantai. dinding yang menjadi penopang tubuhnya yang seperti tak mempunyai bobot badan lagi. Ia kini terisak. Airmata yang sudah ia tahan se
Herman kini melajukan mobilnya kembali. Ia menuju kantor polisi, berniat untuk melaporkan kehilangan istrinya. Sungguh menghilangnya Amira membuatnya hampir depresi. Sungguh aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri, andai terjadi sesuatu pada dirimu Amira!" lirih Herman dalam hatinya. Ia terus melajukan mobilnya dengan sangat cepat. Kini, ia sudah sampai di Kantor polisi. Dengan cepat ia masuk kedalamnya. Terdapat dua orang polisi yang sedang berjaga disana. "Maaf pak, selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang polisi disana."Aku mau melaporkan tentang kehilangan pak," "Kehilangan apa?" "Aku kehilangan istriku pak, dari sejak pagi dia pergi, namun sampai sore begini ia tak kunjung pulang, dan aku mencoba menghubungi ponselnya. Namun tak aktif pula," jelas Herman dengan nada penuh harap. Polisi itu dengan seksama mendengarkan penjelasan Herman. "Tunggu sebentar, istri bapak pergi dari rumah sejak pagi tadi? ini baru jam 5 sore pak, apa bapak sudah menc
Amira masuk dengan langkah yang perlahan, seolah ia takut melihat kondisi Adinda. Dibukanya dengan pelan pintu kamar tempat Adinda dirawat, ia menyelinap seperti seseorang yang sedang mengintip. Entah mengapa, jantungnya berdetak sangat cepat. Ia sangat takut kalau harus melihat kondisi Adinda yang tak baik. Betapa terkejutnya Amira, saat melihat Adinda. Wajahnya yang berubah, karena pembengkakan yang di alaminya, membuat pangling siapa pun yang melihat. Hati Amira merasa teriris melihat kondisi madunya itu. "Oh Tuhan, Adinda, ku harap kau baik baik saja. Aku tak menginginkan kau menjadi seperti ini,"lirihnya. Tak terasa, air matanya menetes melihat Adinda. Sungguh hatinya ikut sakit melihat Adinda yang sakit. "Apa dia bisa berbicara mas?" tanya Amira pada Herman, yanh beridiri mematung disampingnya. Herman merasa bersalah, karena menolak menunggu Adinda, saat tadi Adinda menginginkan Herman disampingnya. Digenggamnya tangan Adinda. Ia mencoba menguatkan Adinda melalui gengga
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang