Lama sudah mereka menunggu diluar. Dokter yang menangani pun belum juga keluar. Suasana yang paling tak disukai keluarga pasien saat mereka harus menunggu kabar tentang keadaan pasien. Sudah berapa kali Amira berganti posisi sejak menunggu Adinda. Hatinya sungguh cemas dan khawatir. Ia terus mondar mandir. Berharap keadaan kritis Adinda akan segera berakhir. "Sayang, tenang lah ... kau duduk saja, jangan panik begitu!" tegur Herman pada Amira yang sedari tadi tak bisa diam. Seperti sebuah setrika lebih tepatnya. Ia merasa tak nyaman dengan keadaan Adinda. Tiba tiba suara ponsel Amira berbunyi. Telepon masuk dari karyawannya di toko. "Iya Nania ada apa?" Amira menjawab panggilan masuknya di ponsel. "Ibu kira kira tiba jam berapa di toko?" Tanya Nania pada Amira. Mereka sudah kewalahan di toko. Selain banyak pelanggan yang datang, banyak pula yang memesan kue dari tokonya ,sedangkan semua karyawan sudah memegang tugas masing masing. "Sepertinya aku tak datang dulu ke toko, k
Herman semakin panik mendengar jawaban dari tetangga toko Amira tersebut. Ia semakin tak karuan. Dicobanya untuk menghubungi nomor milik Amira. "Nomor telepon yang anda tuju sedang tidak aktif," selalu begitulah jawaban dari nomor Amira. Herman seakan kehilangan arah. Ia yang sedang tak enak pikiran, bertambah kacau. Ketakutannya akan kehilangan Amira, kini ternyata harus dia alami. Istrinya yang tadi masih komunikasi dengannya, dengan tiba tiba menghilang tak berjejak. "Amira... kau jangan membuatku takut Amira, kumohon kemana kah engkau?" Jantung Herman sudah tak beraturan lagi. Langkahnya ia percepat, semua lorong sudah ia telusuri. Bahkan, ia sudah mampir ke beberapa toko disana, untuk menanyakan keberadaan istrinya itu. Namun semua memberikan jawaban yang sama. Tak aa yang melihat keberadaan Amira. Seketika, Herman ambrukkan tubuhnya di lantai. dinding yang menjadi penopang tubuhnya yang seperti tak mempunyai bobot badan lagi. Ia kini terisak. Airmata yang sudah ia tahan se
Herman kini melajukan mobilnya kembali. Ia menuju kantor polisi, berniat untuk melaporkan kehilangan istrinya. Sungguh menghilangnya Amira membuatnya hampir depresi. Sungguh aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri, andai terjadi sesuatu pada dirimu Amira!" lirih Herman dalam hatinya. Ia terus melajukan mobilnya dengan sangat cepat. Kini, ia sudah sampai di Kantor polisi. Dengan cepat ia masuk kedalamnya. Terdapat dua orang polisi yang sedang berjaga disana. "Maaf pak, selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang polisi disana."Aku mau melaporkan tentang kehilangan pak," "Kehilangan apa?" "Aku kehilangan istriku pak, dari sejak pagi dia pergi, namun sampai sore begini ia tak kunjung pulang, dan aku mencoba menghubungi ponselnya. Namun tak aktif pula," jelas Herman dengan nada penuh harap. Polisi itu dengan seksama mendengarkan penjelasan Herman. "Tunggu sebentar, istri bapak pergi dari rumah sejak pagi tadi? ini baru jam 5 sore pak, apa bapak sudah menc
Amira masuk dengan langkah yang perlahan, seolah ia takut melihat kondisi Adinda. Dibukanya dengan pelan pintu kamar tempat Adinda dirawat, ia menyelinap seperti seseorang yang sedang mengintip. Entah mengapa, jantungnya berdetak sangat cepat. Ia sangat takut kalau harus melihat kondisi Adinda yang tak baik. Betapa terkejutnya Amira, saat melihat Adinda. Wajahnya yang berubah, karena pembengkakan yang di alaminya, membuat pangling siapa pun yang melihat. Hati Amira merasa teriris melihat kondisi madunya itu. "Oh Tuhan, Adinda, ku harap kau baik baik saja. Aku tak menginginkan kau menjadi seperti ini,"lirihnya. Tak terasa, air matanya menetes melihat Adinda. Sungguh hatinya ikut sakit melihat Adinda yang sakit. "Apa dia bisa berbicara mas?" tanya Amira pada Herman, yanh beridiri mematung disampingnya. Herman merasa bersalah, karena menolak menunggu Adinda, saat tadi Adinda menginginkan Herman disampingnya. Digenggamnya tangan Adinda. Ia mencoba menguatkan Adinda melalui gengga
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.