Beranda / Romansa / Karma(penyesalan) / Maaf Aku Khilaf

Share

Maaf Aku Khilaf

Penulis: Nadaaulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Adinda dengan memakai handuknya, keluar dari kamar mandi, dengan sangat pelan. Ia jinjitkan kakinya, agar jalannya tak mengeluarkan suara berisik. Ia tak mau kalau sampai Denis terbangun karenanya. Dengan berjalan tanpa suara, ia mendekati kopernya, yang kebetulan berada disamping Denis.

Semakin ia mendekat, wangi aroma sabun yang ia gunakan, semakin tercium oleh hidung Denis. Ia mengendus wangi itu. Wangi segar yang keluar dari tubuh Adinda. Tiba tiba, saat Adinda jongkok, mengambil pakainnya didalam koper, suara resletingnya yang tak bisa ia pelankan. Membuat Denis terbangun. Perlahan ia kedipkan matanya. Sampai beberapa kali ia kucek matanya. Barulah ia ingat, kalau didepannya ada Adinda yang tanpa memakai baju. Ia hanya mengenakan handuk sebatas dada, dan seatas lutut. Tubuhnya kini terekspose lebih jelas.

Pundak dan punggung yang mulus, yang biasa ia lihat tertutup baju, kini ia lihat secara langsung. Ia menelan salivanya. Membayangkan hal jorok yang tiba tiba muncul beg
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma(penyesalan)   Misi Gagal

    "Denis ... Denis," panggilnya didepan pintu kamar milik Denis. Semenit, dua menit,.. sampai lima menit lebih tak ada sahutan dari Denis. "Hmmm... mungkin dia sedang berada di kamar mandi," pikirnya. Namun sudah setengah jam berlalu, Denis belum juga membuka pintu kamarnya. Akhirnya Adinda mulai penasaran, ia coba menghubungi nomor ponsel Denis, namun nomornya tidak aktif. Kembali ia mengetok pintu kamar Denis. Sampai akhirnya satu jam berlalu, orang yang dihampirinya tak kunjung membuka pintu untuknya. Kesabaran Adinda kini mulai hilang. Ia memanggil pelayan hotel, dan menanyakan tentang keberadaan Denis. "Mas, orang yang tidur dikamar nomor 24 sedang kemana yah kira kira? barangkali Anda melihatnya?" tanyanya pada pelayan itu. "Sebentar bu, biar saya cek dulu. Pelayan itu melihat data para tamu yang masih berada dihotel itu. Dicarinya tamu yang bernama Denis. Namun ia tak menemukan nama itu. Disana tertulis jika Denis sudah check out dari hotel beberapa jam yang lalu. "Maaf

  • Karma(penyesalan)   Tentang Adinda

    Amira kini termenung dikamarnya sendirian, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri, yang tak pernah mempercayai perkataan suaminya. Justru ia malah lebih percaya dengan kata kata Adinda. Perkataan Adinda memang selalu membuatnya yakin. "Sekarang mas Herman marah padaku. Apa yang harus aku lakukan?" Amira terus berpikir. Ia mencoba mencari solusi tentang masalahnya ini. Namun tiba tiba, perutnya terasa lapar. Ia kini menuju ruang makan. Diambilnya nasi dan lauk yang sudah tersedia, makanan yang sudah ia siapkan untuk Herman, kini hanya menjadi pajangan. Herman yang sedang tak berselera untuk makan, membiarkan makanannya begitu saja. Amira makan sambil tampak berpikir. Ia melamunkan hubungannya dengan Herman. Begitu banyak cerita yang sudah mereka lalaui berdua. Banyak suka dan duka yang sudah mereka lewati. Tapi baru kali ini, ia merasakan permasalahan yang sangat rumit. Dimana ketika Adinda mulai memasuki kehidupan mereka. Saat Amira sedang termenung, menikmati lamunannya, Tiba tib

  • Karma(penyesalan)   Pertolongan Andi

    Sambil bergetar, Adinda mengambil teh yang diberikan Andi. Ia tak menyangka, kalau orang sedingin Andi, bisa bersikap lembut dan hangat kepadanya. Sambil terus melirik menatap Andi. Ia merasa malu sendiri, karena sikapnya yang tak pernah ramah padanya. "Terimakasih untuk teh nya," ucap Adinda pelan. Andi kemudian berdiri, dan mengambil obat pusing, lantas ia memberikannya pada Adinda. "Minumlah obat ini ,kau masih pusing bukan?" tanya Andi lagi. Entah mengapa Andi ingin terus memperhatikan Adinda. Ia mulai berasa khawatir saat melihat Adinda yang tak baik baik saja. "Tak perlu, nanti juga sembuh sendiri," Adinda mencoba menolak perhatian yang diberikan oleh Andi. "Aku tak biasa minum obat sembarangan, jadi simpan saja," Adinda menyuruh Andi menyimpan kembali obat yang ia berikan ketempatnya. Baiklah kalau begitu," Andi menaruh kembali obat yang ia bawa, dan menyimpannya kembali dikotak obat. "Kau semalam habis darimana?" Andi bertanya pada Adinda. Sedangkan Adinda hanya diam

  • Karma(penyesalan)   Adinda Sakit

    "Mas, ada yang mengetuk pintu," ucap Amira pada Herman. Herman terdiam, mendengarkan dengan seksama, ia memastikan apa benar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ternyata memang benar, suara ketukan itu dari pintu utama. "Biar aku saja yang membukanya," ucap Herman, dan langsung turun dari ranjangnya, lalu menuju ke arah pintu. "Ceklek" pintu terbuka,Kini terlihat jelas, siapa dihadapannya. Adinda yang berdiri sambil tertunduk, dan Andi yang berdiri tegap."Kalian, kenapa bisa bareng begini?" tanya Herman kaget. "Ceritanya panjang tuan, nanti aku ceritakan, aku harus kembali ke kantor," ucapnya sambil membungkukkan badannya."Kau sudah pergi ke kantor? memangnya ini jam berapa?" "Jam 9 tuan, ini sudah siang," jawab Andi lagi, sambil menunjukkan jam ditangannya. Herman kaget mendengarnya. Ia segera kembali kedalam, tanpa menghiraukan, ataupun bertanya pada Adinda sepatah kata pun. Adinda hanya menunduk malu. Sebenarnya ia merasa malu harus kembali kerumah Herman, namun ia belum

  • Karma(penyesalan)   Penyakit Serius

    Mendengar nama Adinda, Herman tiba tiba merasa malas. Ia sangat tak ingin mendengar nama itu lagi. Namun dia menghargai istrinya, akhirnya ia mencoba bersikap ramah, "Ada apa dengan wanita itu sayang? apa dia membuat masalah lagi?" tanya Herman dengan malas."Tidak sayang, tapi dia sakit, dia sakit parah. Aku sudah memanggil dokter Dhani, tapi dia belum datang sampai sekarang," Amira yang panik, tak bisa mengatur pola bicaranya. Ia terus saja berbicara tanpa jeda. "Paling dia sakit biasa sayang, tak usah panik lah!" tutur Herman pada Amira, yang terus menceritakan Adinda. "Kumohon sayang, pulanglah ... aku tak bisa menunggunya sendirian, aku takut akan terjadi apa apa padanya," Amira menjelaskan dengan lemah. Ia sangat ketakutan melihat keadaan Adinda yang semakin parah. Sedangkan Dokter Dhani yang belum juga datang, membuatnya semakin panik dan ketakutan.* "Baiklah, tunggulah disana, aku segera pulang," Ujar Herman, dan langsung membereskan semua barang yang ia bawa tadi. Deng

  • Karma(penyesalan)   Hilangnya Amira

    Lama sudah mereka menunggu diluar. Dokter yang menangani pun belum juga keluar. Suasana yang paling tak disukai keluarga pasien saat mereka harus menunggu kabar tentang keadaan pasien. Sudah berapa kali Amira berganti posisi sejak menunggu Adinda. Hatinya sungguh cemas dan khawatir. Ia terus mondar mandir. Berharap keadaan kritis Adinda akan segera berakhir. "Sayang, tenang lah ... kau duduk saja, jangan panik begitu!" tegur Herman pada Amira yang sedari tadi tak bisa diam. Seperti sebuah setrika lebih tepatnya. Ia merasa tak nyaman dengan keadaan Adinda. Tiba tiba suara ponsel Amira berbunyi. Telepon masuk dari karyawannya di toko. "Iya Nania ada apa?" Amira menjawab panggilan masuknya di ponsel. "Ibu kira kira tiba jam berapa di toko?" Tanya Nania pada Amira. Mereka sudah kewalahan di toko. Selain banyak pelanggan yang datang, banyak pula yang memesan kue dari tokonya ,sedangkan semua karyawan sudah memegang tugas masing masing. "Sepertinya aku tak datang dulu ke toko, k

  • Karma(penyesalan)   Pesan Terakhir Adinda

    Herman semakin panik mendengar jawaban dari tetangga toko Amira tersebut. Ia semakin tak karuan. Dicobanya untuk menghubungi nomor milik Amira. "Nomor telepon yang anda tuju sedang tidak aktif," selalu begitulah jawaban dari nomor Amira. Herman seakan kehilangan arah. Ia yang sedang tak enak pikiran, bertambah kacau. Ketakutannya akan kehilangan Amira, kini ternyata harus dia alami. Istrinya yang tadi masih komunikasi dengannya, dengan tiba tiba menghilang tak berjejak. "Amira... kau jangan membuatku takut Amira, kumohon kemana kah engkau?" Jantung Herman sudah tak beraturan lagi. Langkahnya ia percepat, semua lorong sudah ia telusuri. Bahkan, ia sudah mampir ke beberapa toko disana, untuk menanyakan keberadaan istrinya itu. Namun semua memberikan jawaban yang sama. Tak aa yang melihat keberadaan Amira. Seketika, Herman ambrukkan tubuhnya di lantai. dinding yang menjadi penopang tubuhnya yang seperti tak mempunyai bobot badan lagi. Ia kini terisak. Airmata yang sudah ia tahan se

  • Karma(penyesalan)   Ketakutan Herman

    Herman kini melajukan mobilnya kembali. Ia menuju kantor polisi, berniat untuk melaporkan kehilangan istrinya. Sungguh menghilangnya Amira membuatnya hampir depresi. Sungguh aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri, andai terjadi sesuatu pada dirimu Amira!" lirih Herman dalam hatinya. Ia terus melajukan mobilnya dengan sangat cepat. Kini, ia sudah sampai di Kantor polisi. Dengan cepat ia masuk kedalamnya. Terdapat dua orang polisi yang sedang berjaga disana. "Maaf pak, selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang polisi disana."Aku mau melaporkan tentang kehilangan pak," "Kehilangan apa?" "Aku kehilangan istriku pak, dari sejak pagi dia pergi, namun sampai sore begini ia tak kunjung pulang, dan aku mencoba menghubungi ponselnya. Namun tak aktif pula," jelas Herman dengan nada penuh harap. Polisi itu dengan seksama mendengarkan penjelasan Herman. "Tunggu sebentar, istri bapak pergi dari rumah sejak pagi tadi? ini baru jam 5 sore pak, apa bapak sudah menc

Bab terbaru

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

  • Karma(penyesalan)   Menyambut Adinda

    Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"

  • Karma(penyesalan)   Welcome Adinda

    Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal

  • Karma(penyesalan)   Ikhlas Walaupun Berat

    "Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang

DMCA.com Protection Status